Saturday, May 18, 2019

Renungan Ramadhan: Sampah yang Mesti Dibuang

When I find myself in times of trouble, Mother Mary comes to me
Speaking words of wisdom, let it be
And in my hour of darkness she is standing right in front of me
Speaking words of wisdom, let it be
- The Beatles-



'Jangan memungut sampah orang lain terus menyimpannya ke dalam rumah kita'

Saya tak ingat siapa yang pertama kali mengajarkan tentang ini. Sampah merupakan analogi emosi negatif orang lain. Ketika sampah itu dilempar ke kita, bagaimana cara menanggapinya?

Yang pasti, ketika kita tanggapi dengan emosi negatif yang serupa, sampah itu beralih menjadi milik kita. Kunci mengatasinya adalah Let it be.

Lantas, bagaimana kalau perlakuan orang lain terhadap kita justru memunculkan sampah di rumah?

Ramadhan kali ini, saya berusaha mengatasi  sampah yang muncul di rumah. Sampah itu bernama, kekecewaan, kebingungan, dan hasrat ingin melampiaskan marah.

Bermula dari salah perencanaan akhirnya berujung 'nanti seterusnya mau makan apa?'. Akibat ada yang menikung di belokan. Buyar semuanya. Mau marah tapi sama siapa? Tepukan mendadak dari belakang rasanya membuat kepercayaan diri saya luruh.

Saya tipe orang yang mendendam di hati dalam bidang pekerjaan atas perlakuan buruk orang lain tanpa jelas mengatakan secara lisan 'Saya tidak suka dengan perlakuan anda terhadap saya'.

Gaji yang dicicil separuh di kantor A. Melihat politik kantor yang memuakan di kantor B sehingga memutuskan keluar. Mendapatkan porsi bagi hasil terkecil dengan beban kerja paling besar di pekerjaan C. Nama dipakai untuk promosi tapi pekerjaan tak kunjung datang di calon garapan D. Kerja tak kerja tapi upah tetap sama di garapan E. Terakhir, membiarkan orang menarik janjinya sementara dampak tidak berlakunya janji ada di saya. Dan masih banyak lainnya.

Tau ga sih mereka orang-orang itu telah mengambil hak atau rezeki orang lain?

Its okay. Mari kita kunyah ini pelan-pelan. Akhirnya, sesak disimpan sendiri. Tentu saja ini energi negatif atau 'sampah' yang mesti dibuang.

Meskipun di samping itu saya yakin, Tuhan akan memeluk dan mencukupkan kebutuhan saya dengan cara yang tak terduga. Selama ini sih begitu. Tapi tetap saja saya lambat bergerak tanpa planing.

Ini yang mestinya saya pelajari dari Baiquni. Hidup mengalir. Mungkin itu pula yang menyebabkan kita saling memilih karena bisa saling tambal.

Ramadan kali ini, membantu saya menata hati untuk membiarkan sesuatu yang tidak diharapkan terjadi. Ramadan membantu saya mengurangi sampah-sampah di hati dan membuangnya di tempat yang tempat agar tak mengganggu orang lain.

And when the night is cloudy there is still a light that shines on me
Shine until tomorrow, let it be
-The Beatles-

Pic source of desert flower: shutterstock

Tuesday, April 30, 2019

Tersisa dari Indonesia Development Forum 2019

Akhir April 2019, saya resmi tidak tergabung dalam tim digital Indonesia Development Forum 2019 lantaran ini fokus ke tesis. Sebenarnya cuma pledoi dari kemalasan ngerjain tesis aja, Sis. Pulang malam, sampai rumah sudah tepar. Akhir pekan, sibuk liburan.


Nah, sebelum kelupaan, saya mau mendata tulisan apa saja yang pernah saya tulis sepanjang bulan Januari-April 2019. Untuk IDF 2018, tulisan bisa dilihat di sini

Januari 2019

1. Industri 4.0: Perguruan Tinggi Di Tengah Gempuran Revolusi Pasar
2. Visi Indonesia 2045, Peluang Millenials untuk Pembangunan Lebih Inklusif
3. Membuka Peluang Inklusif Penyandang Disabilitas

Februari 2019
1. Kewirausahaan Sosial, Peluang Pemuda Mampu Raup Rp19,4 Milliar
2. IDF 2019, Temukan Solusi Kerja Layak dan Produktif
3. Tumbuhkan Bibit Kewirausahaan Sosial, Ini Cara Pemerintah
4. Road to IDF 2019: Capai Rp69,59 trilun, Ini Langkah Batam Memikat Investasi
5. Meet the Leader. CEO GE Indonesia Handry Satriago: Dari Tukang Ketik Menuju Puncak dengan Kursi Roda
6. Ditolak Kerja Ratusan Kali, Teman Tuli Ajarkan Bahasa Isyarat Lewat Secangkir Kopi
7. Modal Rp 10 Ribu, Putus Sekolah Kejar Sarjana Hingga Siap Kerja

Maret 2019
1. Bintang dari Timur, Ini Cita-Cita Baru Anak Papua Berkat Internet
2. Perempuan Kuasai Ekonomi Kreatif, Ini Kunci Suksesnya
3. Meet the Leader: Ligwina Hananto, Bermula dari Ratusan Penawaran dan Tertawaan
4. Survei CWI, Hanya 23 Persen Jabatan Tinggi PNS yang Diduduki Perempuan
5. Bakar Uang Menguntungkan Ala Startup
6. Road to IDF 2019: Dari Industri Hingga Pasar Unik, Ini Cara Jawa Tengah Atasi Pengangguran
7. Tak Perlu Jago Masak, Gurihnya Usaha Kuliner Ciptakan 7,5 Juta Tenaga Kerja

April 2019
1. Gotong Royong Era Digital, Pemerintah Siap Online-kan 59,4 Juta UMKM
2. Dianggap ‘Murahan’, Sakdiyah Ma’ruf Tepis Lawan Stigma Negatif Komedian Tunggal Perempuan
3. Mau Ekonomi Kreatif Mendunia, Ini Cara Indonesia Kejar K-Pop
4. Derita TKI Ilegal: Berangkat Miskin, Pulang Miskin
5. Melati Arum, Pilot yang Menerbangkan Cita-Cita Anak Perempuan Indonesia
6. Meet the Leader: Agung Bezharie, Dari Dikira Maling Hingga Bangun 1200 Warung Modern
7. Preview Road to IDF: Sorong Memantik Peluang Masa Depan Inklusif di Indonesia Timur
8. Batik Girl, Boneka yang Memotivasi Ribuan Anak Penderita Kanker dan Disabilitas

Sampai jumpa di IDF 2020, semoga menjadi presenter bukan panitia lagi.
#IDF2019
#KerjaLayak
#PekerjaProduktif

Friday, March 22, 2019

Matinya Si Belang dan Penaklukkan Anak Kucing

Sudah sepekan si belang tak mampir. Biasanya, kucing jantan warna belang abu-abu itu selalu menyambut di depan rumah sewaktu aku pulang. Bila tak dibukakan pintu, dia akan memanjat dinding hingga ke atap lalu sudah tahu jalan masuk lewat saluran air.


Belang Sr yang flamboyan dan tak tahu malu sedang di rumah tetangga (Credit: Mbak Eno). 

Belang satu-satunya kucing yang berani masuk rumah dan tak mempan diusir. Kucing lain segarang apapun di kompleks, pasti langsung kabur saat kami pulang.

Belang bukanlah kucing piaraan kami. Kisahnya bermula ketika kaki belakangnya luka setelah bertarung entah dengan pejantan yang mana. Kami bawa masuk ke rumah, lukanya dirawat dengan obat merah, dan Whiskas untuk dia mamah (belakangan saya baru tahu, Felibite lebih murah). Sejak itu, Belang selalu menganggap rumah kami sebagai tempat tinggalnya.

Ketika kami berangkat kerja atau pergi keluar, Belang pun akan melancong entah ke mana. Tapi ketika melihat salah satu di antara kami pulang, dia bergegas menghampiri. (Kecuali kalau sedang asyik dengan kucing betina, cuekin deh)

Belang tahu terima kasih. Dia piawai menangkap tikus, memisahkan kepala dari badan, sampai rumah kami tak disatroni hewan pengerat itu  lagi. Pernah sekali dia buang kotaran hingga saya marah bukan kepalang. Belang tak pergi, tapi dia lekas belajar bahwa kalau mau buang kotoran mesti keluar rumah.

Belang itu kucing cap playboy tapi penakutnya setengah mati. Dia selalu kalah berantem dengan kucing jantan --minus si boy, kucing kalem punya tetangga. Tapi urusan ngejar cewek, dia nomor satu di Casa Gardenia.

Betina yang baru melahirkan beberapa hari saja sudah digoda. Sering kami melihat dia bercumbu dan bermain cinta di depan rumah.

Saya sering berkelakar ke Baiquni.

"Nanti kalau ada tetangga minta tanggung jawab ke kita karena kucingnya dihamili Belang gimana?"

Satu yang bikin risih, Belang sering minta dimanja tanpa lihat situasi. Dia ndusel ketika melihat saya tanpa peduli apakah sedang sibuk atau tidak. Padahal, Belang sering saya kerjain. Ekornya sering saya tali dengan pita atau kresek. Badannya sering saya semprot dengan kisspray karena dia susah sekali dimandiin.

Hingga suatu ketika, Belang tak pulang padahal dia mau disunat. Tak ada firasat, paling juga nanti balik lagi atau sedang  menginap ke rumah tetangga buat hamilin kucing betina. Biarlah, toh beberapa hari lagi akan dikebiri.

"Mbak, Belang aku lihat luka. Kalau luka ga bisa disunat," kata tetangga.

Ketika luka, saya pikir dia akan ke rumah. Tapi ternyata tidak. Belang lenyap pergi dan tetangga tidak ada yang tahu.

"Kelihatannya Belang ga selamat, pas aku lihat lukanya parah, Mbak," prediksi tetangga.

Baiklah, mungkin sudah nasib Belang. Tapi ternyata ada yang hilang setelah Belang pergi. Tidak ada lagi yang menyambut waktu pulang. Tak ada lagi ndusel yang menganggu. Tak ada lagi dapur berantakan, bunyi glodakan, saat dia sibuk mengejar tikus. Saya kehilangan.

Hingga suatu ketika, waktu beli daging ayam, saya melihat dua anak kucing bermain, salah satunya punya bulu dan raut muka seperi Belang. Awalnya, tukang daging meminta saya mengadopsi keduanya agar gak rewel. Tapi saya menolak, dengan alasan susah bawanya dan ribet perawatannya.

Dalam keadaan hujan, saya membawa anak kucing dalam kardus yang dibungkus kresek besar merah.

Wajah dan warna bulu memang boleh sama, tapi ternyata tabiat berbeda. Anak kucing yang saya beri nama Belang Jr ini ternyata tertekan saat di rumah. Tak mau dipegang, tak mau makan. Dipegang hanya diam dengan telinga yang menekuk tanda ketakutan.

Waktu diturunkan, dia bersembunyi di pojokan gelap. Dikasih daging ayam dan Felibite juga tak keluar dari keremangan.  Muka Belang Jr ketakutan sampai matanya sembab.

Belang Jr, ketakutan di pojokan

Saya merasa bersalah.

"Kalau ketakutan gini terus, dibalikin aja, kasihan. Kamu kayak nyulik dan misahin dari keluarganya," kata Baiquni.

Baiquni benar. Sampai Ahad esok, jika Belang Jr belum ceria seperti di tempat asalnya, saya akan mengembalikan ke tempat semula. 

Wednesday, March 13, 2019

Renungan Februari: Soal Hukum, Bisakah Poligami Dinilai Setara dengan Perbudakan?



Kali ini saya sepakat dengan Partai Solidaritas Indonesia soal sikapnya yang antipoligami. Memang soal yang lain tidak? Ya, banyak hal yang tidak saya sukai dari PSI. Mulai dari remeh temeh panggilan bro-sis yang cheesy, hingga ternyata arah pergerakan yang memilih populis daripada progresif.

"PSI itu seperti PRD zaman dulu ga sih? tanya saya.

"Oh tidak, kita tidak seperti PRD yang radikal," jawab salah seorang teman yang kebetulan kader PSI.

Padahal, mungkin akan saya pilih kalau PSI seperti PRD, terjun ke masyarakat, advokasi buruh tani dan kelompok minoritas langsung di lapangan.

Anyway, tulisan ini bukan tentang PSI tapi tentang poligami. Sebelumnya, saya pernah menulis tentang para jomblo yang ditindas oleh praktisi poligami. Bacanya di sini

Saya banyak belajar dari buku, mendengarkan ceramah, dan mengelaborasi itu dengan pikiran saya sendiri. Bila,  ketemulah beberapa jawaban di bawah ini. Saya tidak akan berpanjang lebar kali tinggi saat menjelaskan pendapat. Disclaimer-nya, monggo bila beda pendapat.

Ingin berdiskusi juga silakan. Hanya saja, saya tidak mau terima diskusi yang sifatnya ad hominem. Contoh, "Dasar liberal,  masuk neraka," dan sebagainya. Serang argumen bukan orangnya. Sip ya...

Poligami diijinkan karena jumlah perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Perbandingannya perempuan dan laki-laki 4:1. 
Jumlah laki-laki justru lebih banyak dibanding perempuan. Data PBB (2015) menunjukkan bahwa perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 101:100. Kalau ada 100 orang hetero berjodoh, pasti ada 1 laki-laki jomblo.   Tapi kalau melewati usia produktif, di atas 65 tahun, jumlah nenek di dunia lebih banyak daripada kakek. Jadi kalau mau poligami, nikahilah perempuan berusia 65 tahun ke atas. Begitu pula yang terjadi di Indonesia. Ga percaya? Cek aja BPS. Jumlahnya 101,3 laki-laki banding 100 perempuan.  

Poligami itu sunnah nabi karena dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW
Ada banyak beda pendapat soal ini. Mengutip dari KH Marzuki Wahid,  kalau pernikahan poligami yang 8 tahun itu sunnah. Apa kabar pernikahan monogami Rasul dengan Khadijah yang sampai 28 tahun? Apakah bisa dikatakan monogami itu wajib? Atau sunnah yang lebih diutamakan daripada poligami? Setelah Khadijah meninggal, Rasul sempat menduda 1-3 tahun (beda-beda tahun berdasarkan literasi yang saya baca). Jadi menurut saya, poligami itu mubah atau boleh. 

Kalau poligami mubah, kenapa mesti ditolak? 
Karena poligami, selain yang dicontohkan nabi, jauh dari asas keadilan. Keadilan bagi istri, keadilan bagi anak (ini yang jarang sekali dipertimbangkan oleh para pelaku poligami, perasaan dan hak anak), tentu juga keadilan bagi laki-laki pecari jodoh seperti poin pertama. Manusia sulit berbuat adil karena itu "Nikahilah satu saja!" (an-Nisa: 3)

Tapi kan ga apa-apa, mending mana poligami atau selingkuh atau zina?
Ngelus dada kalau ada yang pendapat seperti ini. Antitesis poligami adalah monogami. Sedangkan antitesis selingkuh adalah setia. Kalau menganggap bahwa antitesis selingkuh adalah poligami, mungkin kita perlu belajar mengenai ilmu logika lagi. Banyak kok laki-laki setia dengan satu istri bahkan ketika pasangannya sudah meninggal. #LirikBokap


Nafsu laki-laki kan lebih gede daripada perempuan?
Katanya, laki-laki punya 9 akal satu nafsu sementara perempuan sebaliknya. Masak kesembilan akal itu ga bisa mengendalikan satu nafsunya. 

Kalau istrinya lagi mesntruasi terus suami lagi 'pengen'? Kalau istri lagi capek tapi suami 'pengen'?
Kalau istri lagi mentsruasi tapi suami 'pengen', kan bisa pakai tangan. Sini istrinya aku ajarin. --Sensor--. Lagian ya, dibalik, kalau suami lagi capek terus istri lagi pengen gimana? masak istri boleh nambah suami? Tidak bukan?

Kalau istri mandul?
Coba pertanyaan ini dibalik. Kalau suami yang mandul? Pulangkan saja, aku pada ibuku atau ayahku... (lagu karaoke di bus) Berdasarkan riset dokter, keberhasilan punya anak atau tidak itu dipengaruhi oleh faktor istri (30%), faktor suami (30%) dan sisanya adalah eksternal yang sulit didefinisikan. 

Jadi maumu apa? Mau menolak hukum Tuhan?
Pertanyaan ini dilontarkan oleh seseorang setelah saya berargumen panjang lebar seperti di atas. Mau saya adalah memandang hukum poligami seperti hukum perbudakan. Islam tidak melarang perbudakan, sampai dibikin bahasa alus  'hamba sahaya'. Tapi zaman sekarang, slavery kan dilarang. Begitu pula dengan poligami. Atas dasar kemanusiaan dan keadilan, poligami mestinya dianggap seperti itu. Itu istrimu, Qs ar-Rum ayat 21 menyebut istri adalah zauj yang artinya 'pasangan' bukan 'bawahan'. 

Saya kutip sebuah tulisan lepas yang pernah saya cantumkan jua di tulisan lama pertengahan 2018 lalu. 


"... Ya, memang benar, kesaksian perempuan pada zaman Nabi ‘hanya’ diberikan bobot setengah dari kesaksian laki-laki. Namun perlu dicatat, sebelum agama Islam datang, kesaksian perempuan sebelumnya sama sekali tidak dianggap.

Ya, memang benar hak waris anak perempuan pada zaman Nabi ‘hanya’ dihitung setengah dari hak waris anak laki-laki, namun perlu digarisbawahi, sebelum agama Islam datang, anak perempuan bahkan tidak mempunyai hak waris sama sekali.

Ya, adalah benar poligami diperbolehkan oleh Nabi dengan batasan 4 orang istri, namun mohon juga dicermati bahwa sebelum agama Islam datang, seorang perempuan dapat ‘dimiliki’ dengan jumlah yang tidak terbatas oleh suaminya.

Catatan-catatan sejarah di atas mungkin baru sedikit dari sekian banyak catatan perbaikan yang dibawa oleh Nabi lewat ajaran agama Islam. Adalah tidak adil jika kita tidak menganggap sekian banyak torehan catatan sejarah tersebut sebagai bentuk pergerakan menuju kebaikan yang diperjuangkan oleh Nabi lewat ajaran agama Islam.

Apakah kondisi perempuan muslimah zaman Nabi lantas dianggap sudah sempurna? Jika kesempurnaan hanyalah milik Allah, proses menuju sempurna adalah ikhtiar umat manusia. Alih-alih bersikap apologetic, maka tantangan yang dihadapi Islam dalam menjawab pertanyaan terkait kedudukan dan peranan perempuan di dalamnya harus dihadapi dengan kritis dan terbuka. Dengan berani memilah nilai-nilai Islami mana yang bersifat transendental, mana yang bersifat temporal. Mana yang merupakan peninggalan tradisi kebudayaan Arab, mana yang merupakan esensi moral dari Islam itu sendiri..." 

Sekian, semoga kita menjadi bagian orang yang penuh rasa empati dan mengasihi kepada sesama. Seperti tulisan saya bulan lalu, celotehan ini disponsori oleh otak yang ga jalan ketika ngerjain tesis dan kerjaan tapi seketika lancar ketika mikirin yang macam-macam.**

Semua gambar di sini diambil dari shutterstock

Friday, January 25, 2019

Renungan Januari: Apa kabar masa lalu?

Januari belum berakhir tapi sudah bikin renungan, yo'opo seh. Tapi renungan ini disponsori oleh there is nothing i can think about my thesis saking buntunya otak mau mulai dari mana.

Monkey Majik, jenis musiknya kayak Float, genre campur baur (foto: Toronto Sun)

Sesuatu yang membuat hamba merenung di bulan Januari adalah unduhan aplikasi spotify di laptop dan telepon genggam. Awalnya tidak ada niat mengunduh meski Baiquni 'ngompor'. Ngapain, buang-buang data internet buat sesuatu yang ga efisien? Ya kan... 

Tapi nyatanya kesehatan jiwa ga ada hubungan dengan efektif dan efisiennya sesuatu. Pusing mikirin pekerjaan dan tugas kuliah sementara sudah teramat bosan dengan daftar lagu yang tersimpan di laptop, akhirnya memutar dari spotify dengan memanfaatkan laptop Baiquni untuk mutar dan laptop sendiri buat kerjaan.

Lah malah ga hemat listrik dan internet kan. Diketawain sama Bojo. Ya udah ya, unduh sendiri saja. Voila, saya bisa mendengarkan lagu tanpa batas,  penyanyi favorit di zaman dahulu kala termasuk Monkey Majik dan Clazziquai.

Namun saya baru sadar, ada efek lain dari mendengarkan lagu kesuakaan selain kegembiraan dan menenangkan. Seperti memandang hujan yang menyisakan genangan dan kenangan, begitu pula lagu. Genangan nada dan syair, serta kenangan yang tak segaja tersesap.

Maliq & d essentials-nya Korea (Foto: Hello K-Pop)

Bapak psikoanalisis, Sigmund Freud (tuh kan, nyebut nama ini orang dan dengerin lagu sontak membuat saya teringat mas Psikologi Unair 2006 yang pernah ngobrol bareng dan saya taksir tapi Tuhan lebih menyanginya dibanding para perempuan yang jatuh cinta padanya) emosi yang tertahan bisa menyebabkan ledakan emosi berlebihan, maka dari itu diperlukan sebuah penyaluran atas emosi yang tertahan tersebut. Penyaluran emosi yang konstruktif ini disebut dengan katharsis.

Nah, mendengarkan lagu itu katharsis. Mengeluarkan emosi-emosi terpendam. Kenangan masa lalu yang belum tuntas dan selesai.

Lagu-lagu lama di spotify mengantarkan saya ke gerbang masa lalu yang terekam di otak. Tentang kesalahan-kesalahan masa lalu, apa yang saya lakukan di Surabaya, di Kediri, bahkan ketika masih di Jakarta. Saya teringat kantor-kantor lama, saya luapkan kerinduan ke beberapa teman dari mantan kantor.

"Aku sebenarnya pengen banget tetap di sini, tapi aku ga mampu kalau harus pulang pergi 4 jam dari rumah di Bogor dan kantor di Palmerah. Aku udah ga punya nyali buat ngotot ngejar berita sampai berani ngehadangin motor di depan gerbang rumah pensiunan jenderal. Aku udah ga berani keluar sendirian di atas jam sebelas malam. Aku sudah ga seperti dulu" dan Alfiyah, teman kantor lama, mengangguk mahfum.

Lagu-lagu lama juga mengingatkan pada mantan yang dari sepuluh tahun lalu belum pernah ketemu. "Aku berharap ga ketemu dalam keadaan sendirin, harus ada Baiquni. Kalau ga, aku jadi pengen ngaplok," kata saya.

Bukan karena kangen atau masih cinta, tapi kemarahan di masa lalu ternyata belum benar-benar surut. Dan ada kejadian di bulan Januari yang membuat emosi itu meluap lagi, selain spotify pastinya. Tika, teman kuliah saya dari Surabaya yang tahu kisahnya langsung tergelak.

Harusnya teori "Karena terlalu dekat, kita tidak pacaran"nya Pengabdi Setan tak boleh dilanggar. Karena bisa runyam.

Jadi mengapa sebuah lagu bisa membuat kita terkenang masa lalu?

Istvandity (2015) membuat makalah berjudul "The lifetime soundtrack: Music as an archive for autobiographical memory". Isinya menjelaskan bahwa seluruh atribut yang ada di lagu seperti lirik, suara estetika, teknologi, dan entrainment memang berfungsi dengan cara  sebagai arsip untuk memori. Karena itulah banyak pendidikan yang terselip di lagu anak.

 "Seperti dendam, rindu harus dibayar lunas" Eka Kurniawan. 

Thursday, December 27, 2018

Semua Karya untuk Indonesia Development Forum 2018.



Selama 99 hari di tahun 2018, saya membantu Indonesia Development Forum untuk membuat berbagai tulisan. Key message-ny adalah 'mengatasi kesenjangan'.

Tulisan terbagi menjadi hardnews, indepth news, dan artikel saduran dari best paper atau terjemahan. Hardnews ketika acara berlangsung di tanggal 10-11 Juli 2018. Ada banyak typo di sini, mohon dimaklumi.

1. IDF 2018, Ikhtiar Mengatasi Kesenjangan Wilayah Indonesia
“IDF 2018 akan mengangkat tema ‘Pathways to Tackle Regional Disparities Across The Archipelago’, “ kata Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang P.S. Brojonegoro dalam Peluncuran IDF 2018 sekaligus Peluncuran Call for Paper IDF 2018, Kamis, 22 Maret 2018 lalu.

2. Program Keluarga Harapan (PKH): Solusi Atasi Ketimpangan Ekonomi
Graduasi mandiri atau keluar dari kepersertaan PKH secara sukarela, merupakan bentuk kesadaran diri dari Keluarga Penerima Manfaat yang sudah sejahtera.

3. Pakar Ekonomi: Indonesia Timur Butuh Infrastruktur Konektivitas
Infrastruktur yang dibangun oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat itu dianggap mempermudah akses mobilitas masayarakat sehari-hari.

4. IDF 2018, Bincang Temu Partisipatif Atasi Kesenjangan Antar-Wilayah Nusantara
Pada IDF tahun ini, perangkat pemerintah, para peneliti, pelaku bisnis, masyarakat umum, para pemuda dan para pemangku kepentingan lainnya dalam sektor pembangunan dapat saling berinteraksi dalam dialog terbuka mengenai tantangan kesenjangan antarwilayah dan mencari solusi terbaik berbasis bukti untuk mengatasinya serta memetakan pendekatan-pendekatan baru dan inovatif.

5. Di IDF 2018, JK Beberkan Cara Atasi Kesenjangan
Kesenjangan di Indonesia berkaitan dengan pelayanan dasar yang kurang merata, kualitas pendidikan yang berbeda, dan sistem ekonomi yang kurang merata

6. Kepala Bappenas: IDF 2018, Referensi Baik Bagi Kepala Daerah Terpilih
Contoh sukses daerah lain menjalankan pembangunan bisa diperoleh dari Indonesia Development Forum 2018. Di IDF 2018

7. IDF 2018, Gubernur Soekarwo dan Bupati Hasto Paparkan Inovasi Air Minum
Ada kesamaan topik menarik dua kepala daerah tersebut yaitu terkait inovasi air minum daerah.

8. Teknologi Digital Atasi Kesenjangan di Indonesia
Teknologi digital ini tak hanya meningkatkan perekonomian tetapi juga memberikan akses informasi, kemudahan layanan keuangan, berpromosi, hingga, mendapatkan pekerjaan.

9. Peluang Ekonomi di Pembangunan Kebudayaan
-Indikator keberhasilan pembangunan tak hanya dilihat dari aspek pertumbuhan ekonomi melainkan juga perkembangan kebudayaan.

10. Kreatif, Hasil Diskusi IDF 2018 Dijelaskan di Mural
 Seperti tahun lalu, hasil IDF 2018 kali ini juga dituangkan dalam bentuk grafis mural di lokasi pembukaan dan penutupan, Ballroom 1 dan 2, Hotel Ritz Carlton, Jakarta.

11. Atasi Kesenjangan di Indonesia Timur dengan Pembangunan Budaya
"Pembangunan ekonomi memang berjalan terus. Tapi kalau budaya diabaikan, akan menjadi problematika," kata Hilmar

12. Pasar Ide IDF 2018: Berkumpulnya Para Inovator dari Pelosok Negeri
Hampir seratus orang inovator ini mempunyai ide dan gagasan jitu mengatasi kesenjangan di Indonesia.

13. Perluas Akses Kesehatan Lewat Sektor Swasta
Kesenjangan  di bidang kesehatan ditandai dengan  perbedaan jumlah fasilitas kesehatan antara daerah satu dengan daerah lain.

13. Kepala Bappenas: Pembangunan Daerah Butuh Kearifan Lokal
Keberhasilan pembangunan daerah di Indonesia tergantung pada kepala daerah melihat potensi di wilayahnya.

14. Penutupan IDF 2018, Kurangi Pengangguran Jadi Tema Tahun Depan
Topik ini mencakup  upaya mengatasi pengangguran, peningkatan pendapatan, bonus demografi, pendidikan vokasi, skema pensiun, hingga partisipasi kalangan muda.

15. Indonesia Luncurkan Indeks Pembangunan Ekonomi Inklusif di IDF 2018
Meski petumbuhan ekonomi tinggi dan tingkat kemiskinan rendah, nyatanya belum menunjukkan pembangunan inklusif yang baik.

**
Sementara tulisan indepth news dibuat lebih panjang dan dalam. Namun karena ini dibuat untuk website, tentu tak sedalam koran atau majalah. Saya sertakan cuplikan tulisan, siapa tahu ada yang tertarik membaca.

1. Surya Sahetapy: “Kurikulum khusus pelajar tuli dari TK sampai SMA setara dengan TK-SD umum”
“Kurikulum khusus pelajar tuli dari TK sampai SMA setara dengan TK-SD umum,” ujar Surya saat ditemui akhir April 2018 lalu.

20 Tahun Reformasi dan Upaya Atasi Kesenjangan
 Pertumbuhan ekonomi yang konstan ini tak hanya menciptakan kesenjangan pendapatan melainkan juga ketergantungan. Inilah yang terjadi selama pemerintahan Orde Baru.

3. Berdaya Lewat Perhutanan Sosial
Tak hanya aspek ekonomi, ada dampak sosial dan ekologis dari pelaksanaan Perhutanan Sosial.

4. Wajan Bolic, Internetkan Kampung di Jayapura
Setelah ditambah pipa paralon di tengahnya dan dipasang USB Wireless dan kabel, jadilah sebuah antena wajan yang bisa memperkuat sinyal  internet. Itulah wajan bolic.

5. PEKKA: Perempuan Kepala Keluarga Miskin Karena Stigma
Penting bagi pemerintah untuk menjadikan perempuan kepala keluarga sebagai subjek pembangunan karena merekalah salah satu elemen yang berada pada kerak kemiskinan.

6. Pasar Kerja Inklusif, Mungkinkah?
Setiap penyandang disabilitas mampu bekerja sesuai dengan keunikan masing-masing.

7.Budiman Sudjatmiko: BUMDes Bisa Jadi Pusat Pertumbuhan Ekonomi Baru
Pembentukan BUMDesa tak hanya mampu mengatasi kemiskinan tetapi juga melahirkan kelas menengah dan entrepreneur baru di desa.

8. Raih Untung Lewat Pasar Internasional, Ekonomi Digital Geliatkan UMKM
Pasar digital yang luas dan tak terbatas lokasi inilah dianggap memberi peluang bagi Usaha Mikro Kecil dan Menengah untuk melebarkan pemasarannya.

9. Aruna dan Pasar Laut Digital: Bantu Nelayan Raih Harga Terbaik
Data dari Aruna, harga yang diterima nelayan rata-rata lebih tinggi 20 persen daripada pasar biasa.

10. Du’anyam: Menjalin Tradisi, Berdayakan Perempuan Timur
Du’anyam yang berarti ‘ibu menganyam’ ini memang sengaja memilih kelompok perempuan, bukan dari kalangan pengusaha, untuk membantu agar keluar dari masalah sosial ekonomi.

11. Mengurai Tantangan Infrastruktur Sebagai Solusi Ketimpangan Ekonomi
Pembangunan infrastruktur akan menumbuhkan kawasan-kawasan ekonomi baru.

12. Memacu Laju Ekonomi Digital Lewat #BijakBersosmed
Pengguna internet dan media sosial di Indonesia dalam jumlah besar ini mestinya menjadi modal pergerakan ekonomi berbasis digital.

13. Hijau Pembangunan Atasi Kesenjangan
Pembangunan berkelanjutan memang menjadi solusi bagi daerah yang ingin mengatasi kesenjangan tanpa menimbulkan bencana.

14. Pembangunan Inklusif, Solusi Ekonomi Timpang
Tingginya pertumbuhan ekonomi di Makasar tak mampu menekan angka pengangguran sangat tinggi yakni mencapai 12 persen.

15. Infrastruktur Membaik, Mudik Lancar
Pembangunan infrastruktur tak hanya bermanfaat bagi pemudik melainkan juga mengatasi kesenjangan, meratakan pertumbuhan ekonomi, dan memunculkan pusat pertumbuhan ekonomi baru.

16. Merajut Asa di Tanah Bekas Konflik
Yayasan ini didirikan oleh Stenley Ferdinandus, putra Ambon yang pernah menjadi korban kemanusiaan di Maluku, tahun 1999.

17. Article 33: Biaya Kesehatan Masyarakat Sekitar Tambang Lebih Tinggi
Rumah tangga yang tinggal di daerah tambang cenderung memiliki biaya kesehatan yang lebih tinggi, waktu mengumpulkan air yang lebih lama, dan kualitas air yang buruk.

18. Koalisi Seni Indonesia: Indikator Kebudayaan Sebagai Tolok Ukur Pembangunan
“Ketika ingin mengembangkan seni kita juga harus mengembangkan ekosistem seninya,” kata Aquino Hayunta, Manajer Program Koalisi Seni Indonesia

19. Morika Tetelepta: Menggairahkan Seni Budaya di Tanah Maluku
 Morika mengikuti jejak sastrawan satu daerah, Chalvin Palilaya, yang tampil pada tahun sebelumnya. Sayangnya, komunitas seni sastra di Maluku hanya berkembang sebatas ibukota provinsi, Ambon.

20. Paparisa Ambon Bergerak: Mengikis Sekat Konflik, Membangun Ekonomi Digital Maluku
Resmi berdiri tahun 2015 untuk menyatukan kelompok muda usai kerusuhan, Paparisa memang sering kali menggunakan teknologi digital sebagai media penyebar informasi dan ajakan bergabung.

21. Komitmen Inklusif IDF 2018 untuk Akses Penyandang Disabilitas
Akses untuk disabilitas harus disesuaikan dengan kemampuan penyandang

22. Gotong Royong Kabupaten Rebut Tantangan Menggoda Pasar Global
Pemerintah daerah harus mengemas potensi unggulan semenarik mungkin pada waktu yang terbatas agar investor tertarik.

23. Mengarusutamakan Kesetaraan di IDF 2018
Tak hanya membahas tentang solusi mengatasi kesenjangan antar wilayah, nyatanya IDF 2018 menunjukan komitmennya sebagai forum yang memberi kesempatan setara bagi semua kelompok untuk berpartisipasi.

24. Museum Pustaka Lontar, Berdaya dengan Kearifan Lokal
Pemberdayaan masyarakat ini diyakni menjadi solusi masalah kemiskinan dan pengangguran berbasis kearifan lokal.

25. Warung Pintar, Bersaing dengan Retail Modern
Perlengkapan warung yang dipinjamkan gratis ke mitra ini senilai Rp 30 juta.

26, Ekonomi Kerakyatan Lewat PRO-SUER,
PRO-SUER berorientasi pada pengembangan usaha mikro kecil dan menengah dengan diperkuat Community Learning Center dan Rumah Usaha Bersama.

27. Potensi Minyak Kelapa Murni dari Papua
Sekarang, mama-mama Papua cukup bekerja di rumah seraya menjaga anak-anak setelah adanya mini pabrik  pengolahan kelapa dalam (cocos nucifera)

28. Atasi Kesenjangan Ekonomi Lewat Start Up
Lewat sejumlah startup yang hadir di Indonesia, UMKM bisa mengatasi kesenjangan pembangunan dan penghasilan.

29. Patungan Listrik untuk Layanan Publik
“Dulu, membantu ibu melahirkan harus pakai senter, sekarang sudah tidak lagi,” ujar Siska.

30. Rawat Lingkungan Dan Pemberdayaan Ekonomi Lewat Agroforestri
Di Cibulao, kopi dikombinasikan dengan tanaman endemik hutan yang berkayu. Hasilnya, kampung ini tak hanya bisa menghasilkan produk kopi unggulan tetapi juga pelestarian lingkungan serta sumber ekonomi baru seperti wisata alam dan edukasi.

***
Menyadur dari artikel berbahasa Inggris atau menyederhanakan bahasa penelitan bukan perkara gampang. Apalagi kalau paper yang diterjemahkan bukan topik keahlian anda.

1. Menuju IDF 2018: Terobosan Praktik Baik di Pengembangan Pusat Pertumbuhan

2. Menuju IDF 2018: Upaya Kurangi Kesenjangan Daerah Tertinggal dan Perbatasan

3. Menuju IDF 2018: Perbaikan Pelayanan Dasar Solusi Kesenjangan Wilayah

4. Menuju IDF 2018: Potensi Ekonomi Digital Dorong Pembangunan Daerah

5. Menuju IDF 2018: Perkuat Konektivitas Indonesia sebagai Negara Kepulauan

6. Menuju IDF 2018: Inovasi dalam Tata Kelola Pemerintahan Daerah

7. Menuju IDF 2018: Solusi Pengoptimalan Sumber Pendanaan Pembangunan

8. Best Paper: Analisis Konektivitas Pelabuhan-Pelabuhan Asia Tenggara dengan Big Data Global Marine Vessel Automatic Identification System
Analisis AIS menggambarkan konketivitas pelabuhan dan distribusi perjalanan maritim, bisa digunakan untuk menganalisis tol laut.

9. Best Paper: UMKM Gaptek Tetap Bisa Gunakan FinTech
Dengan jaringan internet yang minim, gawai yang terbatas, dan kemampuan menggunakan teknologi yang kurang, UMKM ternyata bisa menggunakan fintech sehingga mendukung keperluan bisnis mereka.

10. Best Paper: Berkat Pendidikan, Kemiskinan Bukan Warisan
Kondisi kemiskinan dan ketimpangan ini dirasakan tak hanya oleh orang tua tetapi juga diwariskan ke anak-anaknya.

11. Best Paper: Cara Kembangkan Kemampuan Teknologi Nasional di Zona Ekonomi
Banyak dari zona ekonomi yang hanya menawarkan tempat produksi tanpa memenuhi janji-janji FDI seperti alih teknologi.

12. Best Paper: Inovasi Daerah Tercipta dari Transparansi
Meski inovasi pelayanan (service) dan proses (administrative and technology) berperan penting namun keduanya belum mencukupi untuk menjamin pembangunan ekonomi dan pelayanan publik yang inklusif.

13. Best Paper: Mesin Stirling, Solusi Pemerataan Listrik di Papua
Implementasi dari PLT Mesin Gas memunculkan tantangan baru dimana pendistribusian bahan bakar cair masih dirasa sangat sulit untuk dilakukan.

14. Best Paper: Intervensi DPR di DAK Sebabkan Kesenjangan Daerah
Dengan membiarkan model intervensi DPR terus dipraktekkan, DAK sulit menjadi instrumen mengurangi kesenjangan.

15. Indonesia ingin ekonomi berbasis pengetahuan, ini cara mendapatkannya
Dunia berubah: pemerintah Indonesia harus beradaptasi untuk bertahan hidup.

****
Terpenting dari pekerjaan adalah bahagia, bukan gaji. Saya bahagia dan bersyukur mendapatkan pekerjaan ini karena bisa bertemu dengan banyak orang baik yang membantu orang lain tanpa pilih-pilih. Selamat berjumpa di Indonesia Development Forum 2019.

#AtasiKesenjangan
#BebasDisparitas
#IDF2018

Tuesday, December 4, 2018

Renungan November: Kisah Nenek dan Ketimpangan Gender yang Dia Rasakan

Asal tahu saja, nenek saya bukan Judi Dench


Semut ireng, anak-anak sapi. Kebo bongkang anyabrang kali bengawan

Akhir November, saya bertemu dengan saudara jauh. Kakeknya adalah adik dari nenek saya. Kami sama-sama kuliah di UI, beda jurusan dan angkatan pastinya. Bertemu saudara  tentu menyebabkan kelindan kenangan muncul kembali.

Salah satu kenangan itu adalah pola pikir orang zaman dulu mengenai pendidikan. Tulisan ini bersifat mengkritisi pola lama yang masih terjadi saat ini, tapi pasti bukan kritik terhadap personal. Bagaimanapun, kakek buyut adalah akar identitas saya pribadi. Kisah ini juga berulang kali saya diskusikan bahwa setiap perempuan berhak mendapatkan pendidikan setinggi apapun mereka mampu.

Kakek buyut, ayahnya nenek dari ibu, adalah aristokrat yang lari dari Solo karena mendapatkan gap tanggung jawab dari orang tuanya lantaran terlahir dari anak selir. Sayangnya pola pikir membeda-bedakan anak masih membelenggunya. Terbukti bagaimana dia memberi pendidikan kepada anak-anaknya.

Seluruh anak laki-lakinya mendapatkan pendidikan yang layak di era itu, zaman sebelum dan awal kemerdekaan. Anak-anak lanangnya ada yang menjadi polisi, tentara, dan guru. Sementara anak perempuan tidak di sekolahkan karena lazimnya zaman itu mereka dipersiapkan ke mahligai pernikahan, keahliannya seputar  dapur, sumur, pupur (berdandan), dan kasur.

Begitu pula yang terjadi pada mbah putri, nenek saya. Dia buta huruf dan menikah di usia belasan tahun dengan duda yang usianya dua kali lipat dan beranak banyak. Naas, suaminya meninggal karena sakit dan dia harus merawat tiga anak usia 6 tahun, 4 tahun, dan 3 bulan.

Dari ibu rumah tangga, nenek saya banting tulang menjadi pedagang sayur di pasar. Dia mulai belajar berhitung, mengenali uang, dan berniaga secara otodidak. Jarak rumah dan tempat sekitar 2 km, dia tempuh dengan jalan kaki sambil menggendong sayur mayur di punggung dan anak dalam gendongan, diiringi 2 anaknya yang lain.  Mungkin karena itu, anak keduanya sakit-sakitan dan terpaksa nenek saya merelakan si tole diadopsi oleh kakaknya yang perekonomiannya lebih bagus.

Mbah putri (perempuan kedua dari kiri). Belakannya adalah kakaknya pensiunan polisi. Mbah yang pakai kopyah hitam adalah adik bungsunya yang jadi kepala sekolah. 


Pengetahuan yang minim tentang kesehatan juga menyebabkan anggapan bahwa anak sakit karena keberatan nama. Sehingga selain diadopsi, nama anak keduanya juga diganti yang lebih simple. Itulah yang menyebabkan nama ibu saya yang terlahir selanjutnya juga teramat sederhana, biar tidak sakit-sakitan.

Bisa membayangkan, kisah janda muda ini? Andai dia mendapatkan pendidikan yang layak mungkin nasibnya akan lain. Bila saja dia bisa membaca, mungkin mengalami pencerahan lewat tulisan-tulisan SK Trimurti, Herawati Diah, atau mungkin pandangan Siti Soendari.

Wartawan perempuan didikan Tirto Adi Suryo yang kebetulan nama sama dengan saya itu pernah bercerita:

Apa faedahnya menyekolahkan gadis-gadis? Biar diajar terbang ke langit sekalipun, kalau tidak pandai memasak nasi dan sayur, maka suaminya tidak akan menyenanginya.”

Dengan kesal Soendari menanggapi, “Ah, ah, kalau memang demikian watak laki-laki, maka lebih baik dia kawini saja tukang masak Gubernur Jendral, pastilah setiap hari dia akan makan enak.” 

Sebenarnya, nenek saya juga ingin bersekolah. Nenek sering bercerita tentang pelatihan barisan fujinkai saat masih muda dan lagu-lagu Jepang yang dia hapal. Harapannya, saat bergabung di barisan ini dia bisa bisa membaca menulis. Namun ternyata tidak. Matanya menerawang saat bercerita. Nenek selalu menyarankan agar cucu-cucunya rajin sekolah di sela-sela suruhan membaca berita di koran.

Setelah perekonomian sedikit membaik, nenek menikah dengan kakek biologis saya. Namun kesialan muncul, kakek biologis saya suka berjudi dan main perempuan lain. Karena berdaya, kali ini nenek tidak pasrah. Tepat ibu saya berusia 7 bulan, nenek menggugat cerai.

Beberapa tahun kemudian, nenek menikah kembali saat ibu masih berusia balita. Kakek inilah yang dianggap ibu sebagai ayahnya. Ibu baru tahu tentang ayah kandungnya saat akan menikah dengan bapak. Berdua, orang tua saya mencari ayah kandung dan mengenal saudara-saudara lainnya. Fyi, kakek biologis saya mempunyai anak empat dan semuanya berasal dari ibu yang berbeda.

Kisah nenek mengajarkan saya untuk menjadi perempuan berdaya, tak takut mengejar mimpi, dan mencari pasangan yang menganggapnya partner setara bukan konco wingking. Meski berulang kali sepupu bercerita, nenek sering berhalusinasi tentang saya sebelum meninggal. Matanya menatap pohon sambil berujar, "Ndar, mudhuno Nduk. Ojo menek duwur-duwur mengko tibo," (Ndar, turunlah Nak. Jangan manjat terlalu tinggi, nanti jatuh). Saat nenek berhalusinasi, saya sedang kuliah di Surabaya. Saya yakin halusinasi itu bukan larangan supaya saya tak terlalu tinggi menggapai mimpi.


Kenangan indah tentang nenek

Nenek saya, lazimnya mbah-mbah yang lain, selalu menyayangi cucunya lebih dari anaknya. Saya ingat, setiap pagi dia memasak nasi goreng dan dihantarkan ke rumah. Sembunyi-sembunyi memberi uang saku biar tidak ketahuan ibu, akan marah kalau anak-anaknya terlalu keras terhadap cucu.

Cuplikan lirik dhandanggula di awal cerita itu adalah tembang yang selalu dinyanyikan sebelum tidur saat menginap di rumah nenek. Arti filosofi semut ireng bisa dilihat di sini.

Nenek juga sering bercerita sebelum tidur. Kisah tentang utak-utak ugel yang ingin meminum lautan untuk menghilangkan rasa hausnya, orang yang rakus dan tak pernah cukup, berakhir dengan malapetaka.

Ada satu lagu lagi, digunakan saat perut kembung masuk angin --penyakit yang sering kumat hingga saat ini. Sambil mengoleskan bawang merah dan minyak goreng ke perut, nenek menyanyikan lagi yang membuat saya tergelak.

"Jembrut metuo, ning njero dadi loro, ning njobo dadi perkoro. Jebus... plompong. Jebus... plompong." (Keluarlah kentut, di dalam menyebabkan sakit, di luar menyebabkan masalah. Puss... leganya. Puss leganya).

Apapun pandangan orang tentang nenek saya, dia tetap menjadi salah satu perempuan terkuat yang pernah saya kenal. Alhamdulilah, saya tidak dilahirkan di era yang sama, ketika perempuan penuh kekangan.

Keyong gondhang jarak sungute, timun wuku gotong wolu.