Friday, January 25, 2019

Renungan Januari: Apa kabar masa lalu?

Januari belum berakhir tapi sudah bikin renungan, yo'opo seh. Tapi renungan ini disponsori oleh there is nothing i can think about my thesis saking buntunya otak mau mulai dari mana.

Monkey Majik, jenis musiknya kayak Float, genre campur baur (foto: Toronto Sun)

Sesuatu yang membuat hamba merenung di bulan Januari adalah unduhan aplikasi spotify di laptop dan telepon genggam. Awalnya tidak ada niat mengunduh meski Baiquni 'ngompor'. Ngapain, buang-buang data internet buat sesuatu yang ga efisien? Ya kan... 

Tapi nyatanya kesehatan jiwa ga ada hubungan dengan efektif dan efisiennya sesuatu. Pusing mikirin pekerjaan dan tugas kuliah sementara sudah teramat bosan dengan daftar lagu yang tersimpan di laptop, akhirnya memutar dari spotify dengan memanfaatkan laptop Baiquni untuk mutar dan laptop sendiri buat kerjaan.

Lah malah ga hemat listrik dan internet kan. Diketawain sama Bojo. Ya udah ya, unduh sendiri saja. Voila, saya bisa mendengarkan lagu tanpa batas,  penyanyi favorit di zaman dahulu kala termasuk Monkey Majik dan Clazziquai.

Namun saya baru sadar, ada efek lain dari mendengarkan lagu kesuakaan selain kegembiraan dan menenangkan. Seperti memandang hujan yang menyisakan genangan dan kenangan, begitu pula lagu. Genangan nada dan syair, serta kenangan yang tak segaja tersesap.

Maliq & d essentials-nya Korea (Foto: Hello K-Pop)

Bapak psikoanalisis, Sigmund Freud (tuh kan, nyebut nama ini orang dan dengerin lagu sontak membuat saya teringat mas Psikologi Unair 2006 yang pernah ngobrol bareng dan saya taksir tapi Tuhan lebih menyanginya dibanding para perempuan yang jatuh cinta padanya) emosi yang tertahan bisa menyebabkan ledakan emosi berlebihan, maka dari itu diperlukan sebuah penyaluran atas emosi yang tertahan tersebut. Penyaluran emosi yang konstruktif ini disebut dengan katharsis.

Nah, mendengarkan lagu itu katharsis. Mengeluarkan emosi-emosi terpendam. Kenangan masa lalu yang belum tuntas dan selesai.

Lagu-lagu lama di spotify mengantarkan saya ke gerbang masa lalu yang terekam di otak. Tentang kesalahan-kesalahan masa lalu, apa yang saya lakukan di Surabaya, di Kediri, bahkan ketika masih di Jakarta. Saya teringat kantor-kantor lama, saya luapkan kerinduan ke beberapa teman dari mantan kantor.

"Aku sebenarnya pengen banget tetap di sini, tapi aku ga mampu kalau harus pulang pergi 4 jam dari rumah di Bogor dan kantor di Palmerah. Aku udah ga punya nyali buat ngotot ngejar berita sampai berani ngehadangin motor di depan gerbang rumah pensiunan jenderal. Aku udah ga berani keluar sendirian di atas jam sebelas malam. Aku sudah ga seperti dulu" dan Alfiyah, teman kantor lama, mengangguk mahfum.

Lagu-lagu lama juga mengingatkan pada mantan yang dari sepuluh tahun lalu belum pernah ketemu. "Aku berharap ga ketemu dalam keadaan sendirin, harus ada Baiquni. Kalau ga, aku jadi pengen ngaplok," kata saya.

Bukan karena kangen atau masih cinta, tapi kemarahan di masa lalu ternyata belum benar-benar surut. Dan ada kejadian di bulan Januari yang membuat emosi itu meluap lagi, selain spotify pastinya. Tika, teman kuliah saya dari Surabaya yang tahu kisahnya langsung tergelak.

Harusnya teori "Karena terlalu dekat, kita tidak pacaran"nya Pengabdi Setan tak boleh dilanggar. Karena bisa runyam.

Jadi mengapa sebuah lagu bisa membuat kita terkenang masa lalu?

Istvandity (2015) membuat makalah berjudul "The lifetime soundtrack: Music as an archive for autobiographical memory". Isinya menjelaskan bahwa seluruh atribut yang ada di lagu seperti lirik, suara estetika, teknologi, dan entrainment memang berfungsi dengan cara  sebagai arsip untuk memori. Karena itulah banyak pendidikan yang terselip di lagu anak.

 "Seperti dendam, rindu harus dibayar lunas" Eka Kurniawan.