Tumbangnya Calon Presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat Hillary Clinton melawan Donald Trump, mengingatkan saya pada masalah asmara para manusia-manusia galau. Bahwa sejatinya terlalu benci itu tak bagus, karena itu justru menyiksa dan membuat kalah.
Begini alasannya, biarkan saya yang pengamat
politik dan percintaan abal-abal ini menjelaskan. Orang bilang lawan cinta itu
adalah benci, menurut teori saya tidak. Lawan cinta adalah tidak peduli. Ketika
kamu benci mantan pacarmu, artinya masih cinta karena ada peduli lewat segala
perkepoan dengan nasibnya setelah kalian berpisah.
Melawan cinta dengan benci sampai di ubun-ubun
justru menyakitimu. Apalagi kalau melihat mantan pacarmu sudah move on dengan
pasangan yang lebih dari segalanya, apa kamu ndak kian terpuruk di sini hingga
menggigil palung hati. Artinya kamu masih cinta dengannya.
Tapi kalau kamu mengabaikannya, ndak ngintip facebooknya lagi, ndak njelek-njelekin lagi, melainkan
fokus menyambut calon pacar baru. Meyakinkan diri dan publik kalau gebetanmu
itu lebih baik dari mantanmu, saya yakin kamu akan memenangkan segala kegalauan
dalam hati dan pikiran. Kamu bakal lebih cepat move on.
Baiklah, daripada kian nglantur, jadi inilah yang
sebenarnya membuat Hillary Clinton kalah suara dibanding Donald Trump. Pembenci
Donald Trump terlau berapi-api menjelekan Calon Presiden dari Partai Republik
sampai lupa mengenalkan apa sih bagusnya Nyonyah Clinton itu. Koar-koar misuhi Trump di medsos juga percuma,
malah nambah popularitas bapaknya Ivanka yang demplon itu makin meroket.
Sewaktu Hillary Clinton dihajar isu ritual aneh spirit cooking yang melibatkan darah,
daging, air susu perempuan, dan sperma (hayo
pikirannya jangan ngeres), juga tidak ada tuh yang mati-matian mengcounter atau minimal ditumpuk dengan positifnya
mantan ibu negara. Isinya njelek-njeleki Trump terus. Itu artinya di dalam hati
para pembenci Trump tak benar-benar cinta dengan Clinton.
Seperti yang ada di bukunya Rhonda Byrne, hukum
tarik-menarik bekerja karena pikiran dominan yang ada di benak kita. Kalau di
otak kita pengen kaya, kemudahan bakal terus ngalir. Tapi sebaliknya, ketika
yang dominan dalam benak kita itu pikiran ndak
punya duit maka yang bakal hadir adalah kesulitan finansial. Meski kita
tentu tak berharap.
Seharusnya pembenci Trump belajar ke kasus
pendukung Prabowo di Pemilu Presiden 2014. Ketika itu, pendukung Prabowo lebih
sibuk hina-hina sampai bikin isu aneh-aneh soal Jokowi, mereka lupa ada Prabowo
yang lebih perlu dikenalkan. Isu PKI, antek liberal, antek komunis, non-muslim,
disematkan ke Jokowi sementara tim-nya Jokowi sibuk menangkis dan sikat miring.
Sampai akhirnya kabar calon nomor urut dua lebih menggema daripada pasangan
nomor urut satu.
Tidak heran, capres yang mendominasi di otak
pendukung kedua pasangan calon adalah Jokowi. Sebagaimana hukum tarik menarik,
yang banyak dibicarakan adalah yang banyak menang. Bisa jadi alasannya karena
pemilih mengambang menjadi iba dan jadinya membela. Kalau yang tetap benci,
jangan-jangan salah coblos sewaktu
milih. Bukannya penduduk Indonesia itu gampang terbawa suasana. Buktinya, orang
lebih kenal Tapasya dibanding Ichcha di Uttaran. Saya rasa begitu juga dengan
di Amerika sana.
Kasus kemenangan Donald Trump dan Jokowi di
pemilihan masing-masing semakin meyakinkan saya benci itu tak akan berjaya di
politik. Abaikan dan cintai calonmu sepenuh hati. Apakah ini bakal terbukti di
Pilgub Jakarta 2017? Kalau pemenangnya Ahok berarti masuk itu barang. Tak ada
calon gubernur di Indonesia yang paling banyak dimaki selain Ahok. Tapi kalau
prediksi salah, sebagai pengamat politik dan percintaan abal-abal, saya perlu
belajar lagi.
Pada ujungnya, saran ini tak hanya ditujukan kepada
pembenci calon kepala-kepala yang bakal dipilih di pemilu, tetapi juga para
jomblo yang barusan putus dan masih sakit hati. Cepat move on, fokus ke calon
gebetan. Ingat ya, stock jomblo berkualitas kian menipis. Terbukti, gebetan yang dulu kamu tolak sudah punya pasangan. Kamu kapan?