Tuesday, November 15, 2016

Sama Seperti Asmara, Jangan Lawan Politik dengan Kebencian

Tumbangnya Calon Presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat Hillary Clinton melawan Donald Trump, mengingatkan saya pada masalah asmara para manusia-manusia galau. Bahwa sejatinya terlalu benci itu tak bagus, karena itu justru menyiksa dan membuat kalah.




Begini alasannya, biarkan saya yang pengamat politik dan percintaan abal-abal ini menjelaskan. Orang bilang lawan cinta itu adalah benci, menurut teori saya tidak. Lawan cinta adalah tidak peduli. Ketika kamu benci mantan pacarmu, artinya masih cinta karena ada peduli lewat segala perkepoan dengan nasibnya setelah kalian berpisah. 

Melawan cinta dengan benci sampai di ubun-ubun justru menyakitimu. Apalagi kalau melihat mantan pacarmu sudah move on dengan pasangan yang lebih dari segalanya, apa kamu ndak kian terpuruk di sini hingga menggigil palung hati. Artinya kamu masih cinta dengannya.

Tapi kalau kamu mengabaikannya, ndak ngintip facebooknya lagi, ndak njelek-njelekin lagi, melainkan fokus menyambut calon pacar baru. Meyakinkan diri dan publik kalau gebetanmu itu lebih baik dari mantanmu, saya yakin kamu akan memenangkan segala kegalauan dalam hati dan pikiran. Kamu bakal lebih cepat move on.

Baiklah, daripada kian nglantur, jadi inilah yang sebenarnya membuat Hillary Clinton kalah suara dibanding Donald Trump. Pembenci Donald Trump terlau berapi-api menjelekan Calon Presiden dari Partai Republik sampai lupa mengenalkan apa sih bagusnya Nyonyah Clinton itu. Koar-koar misuhi Trump di medsos juga percuma, malah nambah popularitas bapaknya Ivanka yang demplon itu makin meroket.

Sewaktu Hillary Clinton dihajar isu ritual aneh spirit cooking yang melibatkan darah, daging, air susu perempuan, dan sperma (hayo pikirannya jangan ngeres), juga tidak ada tuh yang mati-matian mengcounter atau minimal ditumpuk dengan positifnya mantan ibu negara. Isinya njelek-njeleki Trump terus. Itu artinya di dalam hati para pembenci Trump tak benar-benar cinta dengan Clinton.

Seperti yang ada di bukunya Rhonda Byrne, hukum tarik-menarik bekerja karena pikiran dominan yang ada di benak kita. Kalau di otak kita pengen kaya, kemudahan bakal terus ngalir. Tapi sebaliknya, ketika yang dominan dalam benak kita itu pikiran ndak punya duit maka yang bakal hadir adalah kesulitan finansial. Meski kita tentu tak berharap.

Seharusnya pembenci Trump belajar ke kasus pendukung Prabowo di Pemilu Presiden 2014. Ketika itu, pendukung Prabowo lebih sibuk hina-hina sampai bikin isu aneh-aneh soal Jokowi, mereka lupa ada Prabowo yang lebih perlu dikenalkan. Isu PKI, antek liberal, antek komunis, non-muslim, disematkan ke Jokowi sementara tim-nya Jokowi sibuk menangkis dan sikat miring. Sampai akhirnya kabar calon nomor urut dua lebih menggema daripada pasangan nomor urut satu.

Tidak heran, capres yang mendominasi di otak pendukung kedua pasangan calon adalah Jokowi. Sebagaimana hukum tarik menarik, yang banyak dibicarakan adalah yang banyak menang. Bisa jadi alasannya karena pemilih mengambang menjadi iba dan jadinya membela. Kalau yang tetap benci, jangan-jangan salah coblos  sewaktu milih. Bukannya penduduk Indonesia itu gampang terbawa suasana. Buktinya, orang lebih kenal Tapasya dibanding Ichcha di Uttaran. Saya rasa begitu juga dengan di Amerika sana.

Kasus kemenangan Donald Trump dan Jokowi di pemilihan masing-masing semakin meyakinkan saya benci itu tak akan berjaya di politik. Abaikan dan cintai calonmu sepenuh hati. Apakah ini bakal terbukti di Pilgub Jakarta 2017? Kalau pemenangnya Ahok berarti masuk itu barang. Tak ada calon gubernur di Indonesia yang paling banyak dimaki selain Ahok. Tapi kalau prediksi salah, sebagai pengamat politik dan percintaan abal-abal, saya perlu belajar lagi.


Pada ujungnya, saran ini tak hanya ditujukan kepada pembenci calon kepala-kepala yang bakal dipilih di pemilu, tetapi juga para jomblo yang barusan putus dan masih sakit hati. Cepat move on, fokus ke calon gebetan.  Ingat ya, stock jomblo berkualitas kian menipis. Terbukti, gebetan yang dulu kamu tolak sudah punya pasangan. Kamu kapan?

Monday, November 14, 2016

Menguasai Dunia dengan Nasi Padang

Lagi-lagi masyarakat Indonesia dibuat terpukau dengan sekelompok bule Norwegia, Audun Kivltan dan teman-temannya yang gemar makan nasi Padang. Padahal ya, saya rasa tak aneh kalau warga dunia menyukai makanan yang ada di warung nasi Padang. Rendang, misalnya, yang merupakan salah satu lauk unggulan Warung Kapau, diakui sebagai makanan terenak di dunia versi CNN.

Sejatinya bukan hanya rendang menu masakan Padang yang membuat orang tergila-gila.

Ada dendeng balado dengan irisan cabe merah, baik basah maupun kriuk, nikmat disantap dengan nasi panas mengepul. Gulai kikil sapi yang kenyal dengan kuah lezat untuk dicecap. Ayam pop yang enak dikrokoti hingga tersisa tulang. Gulai kepala ikan kakap yang bumbunya mubadzir bila tersisa setetes pun. Mari kita jilati sisa kuahnya yang berlumuran di tangan…

Onde mande, lamak bana! Tambuah ciek, Da!

Kita tentu bangga ada orang asing yang menyukai makanan Indonesia, salah satunya nasi Padang. Tapi sebagai pewaris feodalisme dan inferioritas kompleks turun temurun, fenomena bule suka makanan Padang hanya dijadikan sekadar kebanggaan. Padahal lebih dari itu, sebenarnya kita bisa menggunakan menu nasi Padang menjadi alat untuk menguasai dunia.

Kalau Korea terkenal dengan K-popnya, saya sarankan Indonesia merebut hati publik global lewat perut. Berikut cara menggunakan nasi Padang untuk menguasai dunia.

Waralaba Warung Padang

Sulit dipungkiri, franchise makanan yang paling menguasi dunia adalah berasal dari Amerika Serikat. Mulai dari kakek ayam, badut ayam, raja burger, sampai kedai kopi ikan duyung, semuanya milik Abang Sam. Coba hitung, pasti banyak rupiah yang sudah dibawa ke sana hanya untuk memuaskan isi perut.

Padahal, makanan siap saji tersebut jelas jauuuuhhh kalah nikmat bila dibandingkan cita rasa nasi kapau. Selain lezat, kekayaan rempah dalam bumbu masakan Padang juga bisa menjadi trademark Indonesia di mata dunia: Indonesia yang beragam. Jadi mengapa tak dirikan saja warung Padang di seluruh dunia?

Ayam pop tentu bisa menyaingi ayam goreng tepung. Dendeng balado kriuk jelas lebih mantap dibanding kentang goreng. Sebagai lawan mayonise dan saus pedas, sajikan kuah gulai dan sambal cabe hijau. Kurang? Tenang, gulai itiak belum disebut. Juga karupuak sanjai dan kalio dagiang. Oh masih ada lagi: sate Padang!

Setelah merasakannya, masyarakat dunia akan setuju dengan nyanyian Audun. “It's the best thing you will ever taste. If you never tasted, there is a big disgrace. I am your biggest fan. Just remember one thing You need to eat with your hand." Mereka pasti ketagihan.

Tentu saja, semua bahan makanan untuk menu masakan Padang mulai dari beras, rempah-rempah, bumbu, hingga kepala ikan diekspor langsung dari Indonesia. Karena kepulenan beras Padang tak akan bisa tertandingi dengan gandum dari Eropa sekalipun.

Bila para penjajah datang ke Indonesia karena rempah-rempah, kita kuasai mereka dengan bahan yang sama. Devisa pasti menggelembungkan kas negara asal… tidak dikorupsi.

Diplomasi Lewat Nasi

Meniru Jokowi yang melakukan diplomasi lewat makan siang saat menghadapi pedagang kaki lima dan para pemrotesnya, sebenarnya cara itu bisa pula diterapkan di skala internasional. Cara ini, menurut saya, lebih efektif dibanding menyuruh diplomat cantik yang posisinya tidak terlalu tinggi untuk membalas protes pemimpin negara lain terkait persoalan HAM di tanah air.

Sekecil apapun negara pemrotes, Presiden Nauru, Presiden Kepulauan Marshall, Perdana Menteri Vanuatu, PM Kepulauan Solomon, PM Tuvalu, dan PM Tonga tetaplah kepala negara yang mesti Indonesia hormati. Pernyataan sikap ala diplomat cantik itu lebih arogan dibanding saat Raja Singosari memotong telinga delegasi Kubilai Khan. Berani kok sama negara gurem…

Usul saya, diplomasi seharusnya dilaksanakan dengan jamuan makan yang hangat dan ramah. Undang pemimpin enam negara itu menyantap makanan Padang. Disediakan air kobokan agar mereka bisa menggunakan tangan.

Di sela-sela para presiden dan perdana menteri menyecap gurihnya gulai kepala ikan sambil menyeruput teh talua, ceritakan tentang kondisi Papua dan upaya perdamaian dari Indonesia. Sewaktu pulang, sertai karipiak balado.

Berikutnya, sewaktu Diplomat Tinggi Indonesia memberi sanggahan di forum PBB, kemungkinan besar para pemimpin negara lain itu tinggal manggut-manggut setuju. Pikirannya sudah tak konsen, lidahnya berdecap, karena membayangkan nikmatnya rendang, dendeng cabe merah, dan renyahnya karipiak balado.

Siapa tahu mereka malah mengimpor pelbagai jenis menu masakan Padang. Duit lagi.

Metode diplomasi ini bisa diterapkan tak hanya untuk negara kecil, tetapi juga negara maju. Perundingan soal investasi, penambahan nilai ekspor Indonesia, kenaikan kuota haji dan beasiswa untuk mahasiswa nusantara niscaya akan kian mudah dengan nasi Padang.

Spionase Karet Gelang

Saya luar biasa heran, mengapa Indonesia mempersilakan Kantor Kedutaan Besar Amerika Serikat berlokasi di ring satu, bilangan Jalan Medan Merdeka. Kantor perwakilan itu berseberangan Istana Kepresidenan, sebelah Istana Wakil Presiden, sejalan dengan Balaikota Jakarta, dan dekat dengan kementerian strategis lainnya. Begitu mudahnya Amerika memata-matai kita.

Sedangkan Kantor Kedutaan Indonesia di negara lain sulit mendapatkan lokasi utama. Tapi tak apalah, semua itu bisa diatasi cukup dengan membuka warung nasi Padang di dekat kantor presiden atau perdana menteri negara lain. Pekerja kantor kepresidenan pasti akan sering membeli makan di kapau kita.

BIN bisa menempatkan agen-agen terbaiknya sebagai pelayan atau petugas delivery order warung Padang. Daripada mereka sering memata-matai rakyat sendiri, lebih baik BIN mencari tahu kelemahan negara lain dan bagaimana cara menguasainya. Lebih berguna dan bermartabat.

Ditambah lagi kalau kampus-kampus, LIPI, dan badan penelitian lain bisa menemukan alat sadap yang unik dan tak kentara. Misalnya saja alat sadap berbentuk karet gelang, kertas nasi, kotak nasi, bisa disusupkan saat mengantarkan makanan ke kantor kepresidenan. Jokowi bisa menyuruh Pindad untuk menggandakannya.

Kelak, melalui karet gelang canggih ini, dunia tak akan lagi mengenal agen rahasia bernama James Bond. Ia akan kalah keren dengan Robert David Chaniago.

Nah, itulah seklumit cara awal untuk menguasai dunia dengan nasi Padang. Metode ini bisa dipakai pula dengan menggunakan tongseng, sate, rujak, dan sederet makanan enak Indonesia lainnya. Maka, lupakan sudah bule Norwegia itu. Sebab melalui selera nusantara, kita bisa menggengam dunia.

Sumber foto: seputarmakan.com
Tulisan ini pernah ditayangkan di Mojok.co http://www.mojok.co/2016/10/menguasai-dunia-dengan-nasi-padang/

Kalian Para Lelaki, Carilah Istri yang Berkarakter Gerwani

Dari film Pengkhianatan G-30 S-PKI yang saya tonton waktu kecil, saya mengenal Gerwani, Gerakan Wanita Indonesia. Di tontonan propaganda itu, saya percaya bahwa Gerwani adalah perempuan laknat, maniak seks, dan suka menyiksa laki-laki. Gerwani bahkan tega memperkosa Piere Tendean yang tampan, yang membuat penggemar boyband Korea dan ganteng-ganteng serigala lupa idolanya, yang gagah rupawan, yang mirip Mas Agus Harimurti, Cagub Jakarta yang pensiun dini dari TNI itu.


Saya masih ingat adegan seorang perempuan yang disinyalir Gerwani sedang mengambil silet yang terselip di dinding anyaman bambu lalu menyayat muka lelaki di hadapannya, dia berkata “Darah itu merah, Jenderal.” Sejak itu, saya menilai Gerwani sebagai organisasi perempuan keji.

Kata Gerwani semakin mengalami peyorasi di pikiran saya ketika sekolah dasar. Sewaktu saya menampar teman laki-laki, dia mengolok-olok dengan sebutan Gerwani. Padahal mereka yang salah. Siapa suruh memasang kaca di atas sepatu demi melihat cawat teman perempuan. Entah merah, biru, nila, atau ungu, harusnya mereka tak perlu tahu.

Tapi ejekan Gerwani yang saya terima jelas menghantam sanubari. Saya takut dan waswas kelak tak ada laki-laki yang memperistri seorang perempuan karena dianggap sejahat Gerwani.

Waktu lantas terus berlalu. Ketakutan dan ke-waswas-an saya akan ketidaklakuan perempuan yang dianggap Gerwani semakin hari semakin luntur.

Menginjak bangku kuliahan, bahan bacaan saya kian beragam. Beruntung ngampus setelah era reformasi, akses informasi tentang 65 terbuka luas. Saya jadi tahu, Gerwani tak seburuk yang saya sangka. Mencermati sosok mereka, saya justru menilai para anggota Gerwani mendekati ideal sebagai sosok seorang istri. Saya tak bercanda soal hal ini. Saya punya beberapa alasan yang ampuh dan mumpuni mengapa anggota Gerwani adalah sosok ideal seorang istri.


Cerdas dan Melek Informasi

Kata orang, di balik kesuksesan laki-laki, ada istri yang hebat yang selalu mendampingi. Pasangan hebat biasanya cerdas dan berpandangan ke depan. Tentu saja, istri yang hebat bisa dimintai pendapat.

Kriteria perempuan cerdas ada di sosok Gerwani. Mereka mempunyai agenda besar memberantas buta huruf dan memberikan pendidikan bagi perempuan miskin seperti buruh dan petani.

Dari sini kita lihat, anggota Gerwani tentu sangat layak untuk memenuhi kriteria sebagai istri yang hebat. Bila perempuan zaman sekarang ahli membentuk alis yang presisi, para anggota Gerwani piawai memberi solusi. Maka, inilah jaminan terhebat demi kesuksesan suami yang meningkat pesat.

Berjiwa Sosial dan Rela Berkorban

Anggota Gerwani dituntut peduli dengan keadaan sekitar. Di desa-desa, Gerwani memperjuangkan kaum tani seperti hak atas tanah, pembagian hasil panen, penetapan harga panen, dan lain sebagainya. Polemik sosial hingga sandang pangan sudah menjadi makanan sehari-hari bagi program Gerwani. Bahkan saat pembebasan Irian Barat, Gerwani juga ikut mengirimkan anggotanya untuk menjadi sukarelawan.

Karenanya, sebagai seorang istri, Gerwani tentu lebih perhatian. Orang lain saja disayang, apalagi suami sendiri. Hal ini tentu punya efek yang sangat besar: Para lelaki tak akan diabaikan gara-gara sinetron Uttaran.

Mau Hidup Susah

Berjiwa sosial, sering masuk keluar pelosok kampung mengajar rakyat dan mengadvokasi buruh tani, artinya Gerwani mau diajak hidup susah. Layaknya petugas SPBU, mereka bersedia memulai hidup dari nol. Dengannya, suami akan bersama-sama meniti rumah tangga dari tak punya apa-apa hingga bisa kaya raya.

Laki-laki tak akan was-was istrinya tergoda pria lain yang mengiming-imingi tas Hermes atau sepatu Louboutin. Tas kresek atau sandal jempit tak masalah, asal tetap setia.

Tak Benar-Benar Menentang Poligami

Ini poin yang terpenting. Banyak yang mencatat bahwa Gerwani menentang poligami. Tapi saya rasa itu sekadar retorika saja, masih bisa diperdebatkan. Terbukti saat Soekarno poligami, Gerwani tak menentangnya. Ini artinya, ada celah untuk para lelaki beristrikan Gerwani yang ingin menikah lagi.

Kata Pramoedya, semua lelaki memang kucing berlagak kelinci. Sebagai kelinci dimakannya semua daun, sebagai kucing dimakannya semua daging. Meski sudah beristri, banyak laki-laki yang ingin nambah lagi.

Kalau istri menentang, pintar-pintarlah merayu. Meski Gerwani, semua perempuan pasti suka dirayu.

Nah, itulah poin-poin karakter Gerwani yang seharusnya bisa dipertimbangkan masak-masak oleh para lelaki dalam mencari istri. Karakter yang hebat dan unggul, namun sudah mulai langka dan sukar ditemui, terlebih di jaman yang serba materialistis seperti sekarang ini.

So, Wahai kalian para lelaki, jika kalian mencari istri yang sebenar-benarnya istri, maka carilah yang berkarakter Gerwani, percayalah, ia bisa jauh lebih menyenangkan dan menentramkan ketimbang wanita berkarakter Syahrini.

Tulisan ini pernah dimuat dalam Mojok.co pada tanggal 30 September 2016. http://www.mojok.co/2016/09/istri-berkarakter-gerwani/

Tuesday, November 1, 2016

Cerpen: TAK ADA KOPI UNTUK BAPAK

Dua pagi terakhir ini, tak ada kopi untuk Bapak. Emak tetap menjerang air namun tanpa gula, tiada bubuk kopi.  Ekonomi keluarga semakin terpuruk membuat Emak berhati-hati membelanjakan uang. Lebih baik membeli beras dan biaya sekolah daripada kopi. Bapak mengalah.

Padahal, sejatinya secangkir kopi bagi Bapak setiap pagi lebih dari sekadar minuman. Mencium aromanya dan menyecap rasanya mampu menumbuhkan optimisme  sang tulang punggung keluarga. Kopi membuat Bapak semangat berangkat menguli, memanggul semen, menimbun pasir seraya berharap ada uang untuk esok hari. Tapi tak apalah, pikir Bapak, esok, siapa tahu ada rezeki membeli kopi.

Jangan  kira, kopi yang diinginkan Bapak seperti yang dinikmati di cafe, atau franchise multinasional ternama. Secangkir kopi yang harga termurahnya lebih mahal dibanding telur sekilo. Tidak, kopi yang biasa bapak minum  dibeli curah di pasara. Emak menyangrainya di atas wajan dengan campuran beras atau jagung kering agar hasilnya lebih banyak.

Disangrai sampai menghitam di atas kompor kayu yang menghasilkan asap, membuat mata pedas. Setelah hitam, susah payah Emak menggunakan alu dan lumping untuk menumbuk. Tak halus memang dibandingkan menggunakan  mesin penggiling tapi rasanya lebih kuat dan setidaknya tak mengeluarkan uang lagi.

Kini, uang membeli kopi tiada lagi. Semenjak Emak tak bisa lagi jadi buruh tani, keuangan keluarga kian sulit. Pembangunan  perumahan tapak dan susun telah menggusur sawah-sawah di desa. Perempuan tabah  itu kini menganggur. Praktis, hanya mengandalkan penghasilan Bapak dari menguli. Bapak menjadi tukang bangunan di apartemen baru yang tak pernah sanggup mereka beli.

Tak mengapa. Emak sudah cukup bersyukur meski  tinggal di rumah berdinding bambu dan lantai dari campuran pasir dan semen, setidaknya mereka bisa berteduh.  Cita-citanya sederhana, punya warung kecil di depan rumah. Tempat menjual kopi, gorengan, dan indomie rebus. Membantu suami mencari nafkah sembari momong si bungsu yang baru gemar berjalan.

Emak meletakkan segelas air hangat di meja depan Bapak.

“Pak,” panggil Emak.

Bapak menoleh. Dia sudah menerka istrinya pasti akan meminta sesuatu, permintaan sama seperti kemarin.

“Tole, sudah ndak mau sekolah. Kemarin masih bisa Emak bujuk, tapi sekarang tidak,” lanjut Emak.

 “Masih soal sepatu?” tanya Bapak.

“Iya, katanya malu diejek. Sepatunya jebol sampai kelihatan jempol,”

Bapak menghela nafas. Disruputnya segelas air hangat perlahan. Air mengalir dari rongga mulut hingga ke perut, tapi rasanya tak cukup melegakan, pikirannya semakin buntu. Berbeda saat menikmati kopi, pahitnya justru meringankan beban. Mungkin kalau yang dia cecap saat ini adalah  kopi, otaknya mungkin akan menghasilkan solusi.

Si sulung sebenarnya bukanlah anak yang penuntut.  Masih kelas empat SD, tapi sangat pengertian. Sepulang sekolah, anak pertamanya hampir tak pernah bermain.  Lekas membantu ibu, dia mengumpulkan kayu untuk memasak. Badannya kurus tapi gempal karena terbiasa membawa beban. Kaki kapalan hingga duri tak bisa melukai lagi. Kadang, sulungnya itu membantu mencari rumput pakan kambing tetangga. Tak dipakai jajan, uangnya malah diserahkan ke orang tua.

Bapak menyesal. Semestinya uang itu tak pernah dia gunakan sebagai tambahan belanja beli beras, lauk pauk, kadang bayar listrik. Jerih payah  merumput itu semestinya ditabung untuk beli sepatu baru. Seharusnya, dia bisa menghemat lebih keras lagi dengan upah  nguli lima puluh ribu sehari. Bapak sudah lama tak merokok, kopi juga sudah tak rutin dibeli. Kini, pengeluaran apalagi yang harus direduksi?

Ditandaskan segelas air hangat. “Doakan , semoga hari ini ada rezeki lebih, entah dari mana,” pukul tujuh pagi, Bapak segera bergegas.

Emak mengangguk. Diciumnya tangan suami takzim. Guratan kasar di telapak menunjukan lelakinya seorang pekerja keras, hanya saja mungkin kurang beruntung.

“Hati-hati,” jawabnya saat  melihat suami beranjak pergi.

***

Sepanjang jalan, pikiran Bapak tak pernah berhenti mencari solusi. Bagaimana cara mendapatkan uang halal? Dia tak ingin mencuri, apalagi mengambil yang bukan haknya. Bapak masih punya harga diri.

Ada satu cara memperoleh uang lebih. Beberapa hari yang lalu, Mandor menawarinya tugas baru memasang  plafon di ballroom apartemen. Selama ini, dia hanya betugas mengangkut semen, pasir, dan membuat adonan adukan beton dengan  mesin  molen. Saat awal bekerja, Bapak meminta kompensasi tidak disuruh memanjat. Bukan karena malas, dia takut ketinggian. Orang menyebutnya fobia.

Kemarin, salah satu  kuli bagian  plafon  mengundurkan diri, belum ada ganti. Bapak bertekad menerima tawaran  Mandor. Upahnya lumayan, dua kali gajinya yang sekarang. Bapak masih takut ketinggian. Tapi bayangan sepatu untuk si sulung, modal warung istri, dan mencecap secangkir kopi setiap pagi menepis segala keraguan.

Dengan mantap, Bapak menghadap Mandor. Diutarakan keinginannya. Dia bersedia di posisi baru.

“Kapan kamu siap?” tanya Mandor.

“Hari ini juga, Pak,” jawab Bapak.mantap.

Mandor menunjukan tugas-tugas yang harus dikerjakan.  Ballroom mempunyai  tinggi tujuh meter. Tugas Bapak membantu tukang utama memasang rangka plafon yang terbuat dari baja ringan. Para pekerja plafon harus bekerja dengan teliti dan presisi. Keliru sedikit, plafon tak terpasang rapi.

Bapak takut salah. Rasanya, perlu minuman yang membuatnya berkonsentrasi. Membayangkan secangkir kopi, dia menelan ludahnya sendiri.

Pekerjaan dimulai. Langit-langit yang akan dipasang plafon telah dibersihkan. Penggantung plafon sudah dipasang. Perlahan, Bapak mulai naik di atas stager. Rangka plafon akan dipasang  ke tiang penggantung.

Bapak tak sendiri, tugasnya pun menunggu arahan temannya yang lebih ahli. Sementara yang lain memasang rangka, Bapak sekadar memegang agar tak goyah. Namun, Bapak gugup setengah mati. Jantungnya berdebar, baru kali ini dia berdiri setinggi ini. Keringat dingin mulai mengucur.

“Jangan lihat bawah, jangan lihat,” Bapak mensugesti dirinya sendiri.  Tangannya mulai gemetar. Dia teguhkan hatinya, tenangkan pikirannya.

“Argh,” tiba-tiba teman kerjanya berteriak. Belum sempat Bapak mencerna, tangannya tersengat listrik entah berapa besar arusnya. Dia hilang keseimbangan, kesadaran semakin lama kian berkurang. Suara keributan sayup-sayup mulai menghilang, yang ada tinggal kesunyian.

***

“Kami tak menyangka langit-langit bakal plafon belum benar-benar bersih. Suami ibu dan lima rekan lainnya terkena aliran listrik yang bocor. Listrik mengenai setelan kuda-kuda yang dipakai untuk memasang rangka plafon ballroom.Kemudian terjatuh  dari ketinggian enam meter,” kata Mandor menjelaskan.
   
“Ini mohon diterima. Besarnya memang tak bisa pernah mengganti kehadirannya suami Ibu. Semoga bisa membantu,” lanjut Mandor sembari menyerahkan uang dalam amplop.

Emak  terdiam. Matanya nanar memandang suaminya yang telah dimandikan dan terbungkus kain kafan putih. Uang sepuluh juta pemberian perusahaan kontraktor tempat Bapak bekerja memang bisa digunakan untuk membeli sepatu sulungnya, bahkan cukup sebagai modal usaha warung. Tapi bagaimana Emak sanggup mengarungi hidup dan membesarkan dua anak tanpa Bapak. Sandaran hatinya telah pergi. Air mata kembali mengairi  pipi Emak.


“Silahkan diminum,” suara kerabat memecah keheningan. Tiga cangkir kopi disajikan untuk Mandor dan dua tamu  laiinya. Secangkir kopi, minuman kegemaran suami Emak. Dan kini, Bapak tak lagi bisa menikmati kopi.***

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO danNulisbuku.com