Monday, January 9, 2017

Anggaran Makan Dua Orang Sehari Kurang Rp 20.000, Bisa?

Teman-teman sering berjengit ketika saya bercerita rata-rata biaya makan kami, saya dan suami, sehari bisa kurang dari Rp 20.000. "Emang bisa?" Tinggal di Bogor, bekerja di Jakarta tapi dengan pengeluaran yang setara dengan sekali makan di Jakarta?


Bisa, kalau kami disiplin masak. Sayangnya, disiplin masak itu membutuhkan effort yang luar biasa dan kerja tim yang solid. Beneran, ini tak berlebihan.


Baiklah, akan saya rinci bagaimana mulanya melakukan penghematan untuk kebutuhan perut. Setiap bulan, pekan pertama setelah gajian, kami selalu pergi ke supermarket langganan yang ada tagline "Wholesale".  Selain karena konsepnya ga pakai tas kresek setelah dihitung di kasir, alasan lain memilih karena harganya lebih miring dibanding retail modern lainnya.

Soal makanan, belanja bulanan yang selalu ada adalah beras 5 kg, telur 2 kg, bakso 500 gram, garam, gula 1 kg, kecap manis dan kecap tiram, sirup bubuk, kopi, minyak goreng kelapa 2 liter (kami sudah menghindari beli minyak sawit sejak Maret 2016 dengan alasan ekologi) dan teh. Ditambah dengan sabun, detergen, pembersih lantai, odol, toilet, kapur barus, shampo, sabun cuci, perlengkapan pribadi kayak deodorant, handbody, parfum dan tetek bengek lainnya. Total jenderal bulanan kami maksimal Rp 400 ribuan, paling sering Rp 300 ribuan. Kunci hematnya adalah #1 pilih ukuran besar jadi tiap bulan tak harus beli baru lagi.

Artinya, anggaran Rp 20.000 per hari itu di luar yang sudah saya beli di supermarket tadi. Jadi lebih mudah kan ngaturnya.

Selanjutnya, untuk sayur dan lauk lain, belilah di pasar tradisional atau warung sayuran karena harganya lebih murah. Beli di sini bukan berarti saya bisa nawar--silakan karena nawar itu tak dosa-- tapi kita bisa kenalan sama penjualnya sekaligus mengusung ekonomi kerakyatan.

Saya paling ga bisa kalau harus cincai cincai nawar bawang, kangkung, cabe, dan sayuran lain ke pedagang. Kalau ternyata harganya lebih tinggi daripada pasaran, dada bye bye, besok-besok saya ga akan beli lagi di situ. Artinya tips #2, belilah sayur di pasar/warung tradisional.

Sering kali saya tak sampai habis Rp 10.000 saat beli  bahan makanan di warung langganan. Misalnya mau bikin sayur bening bayam + ikan tongkol fillet, hanya menghabiskan Rp 7000 saja. Sop+lauk tempe, paling cuma Rp 10.000 saja. Dan ini bisa dimakan berdua.

Anda tahu, toge seperempat kilo hanya 2000, itupun bisa dipakai dua hari dengan menu yang berbeda. Daun bawang Rp 2000 itu sudah cukup untuk campuran goreng telur dadar tiga hari berturut-turut kalau ga bosan.

Tips #3, ada bumbu yang dibeli pakai ukuran. Saya rutin beli bawang putih dan bawang merah 1/4 kg per transasksi. Itu pun dua pekan kadang masih sisa. Cabe merah dan cabe rawit masing-masing 2 ons. Sering telah menjadi kering karena terlalu lama.

Membeli eceran dengan menyebut nominal rupiahnya, jatuhnya akan lebih mahal. "Bawang Rp 5000 saja," dapatnya cuma seuprit, kadang hanya cukup sekali masak.

Satu lagi, soal bumbu, faktor membuat saya bisa irit adalah karena kemurahan hati kerabat dan Tuhan. Kami sering mendapatkan kiriman bawang merah dan bawang putih dari kampung. Kadang juga dapat merica bubuk, sambal pecel, kemiri, empon-empon. Saking banyaknya, sudah tiga bulan berlalu belum habis dan terpaksa ditanam karena keluar tunas.

Kami juga pernah mengalami panen cabe rawit yang pohonya cuma sebiji. Sehari bisa belasan sampai akhirnya memutuskan dibagi ke tetangga sebelah. Kalau bukan kemurahan Tuhan, apa coba? Alhamdulilah. (Tapi mengapa ya pas cabe mahal, itu pohon sudah mati? yeiks).

Tips #4 jangan beli bahan makanan yang lagi mahal. Seperti sekarang, cabe lagi mahal, ya jangan beli cabe. Di pasar ada banyak bahan makanan yang lebih murah, pandai-pandai milih deh.

Tips #5, disipilin masak. Seperti yang saya bicarakan di awal, ini butuh tekad baja yang luar biasa dan kerja super tim kami sebagai suami istri. Di rumah, kami hanya punya waktu pukul 20.00-07.00 per hari kerja. Itu belum dikurangi makan, tidur, dan lain sebagainya.

Kapan masaknya? Ada waktunya, nonton TV sambil tangan gerak. Biasanya, saya sengaja memilih menu yang gampang diolah dan cepat. Apa itu? sejenis tumis-tumisan, sop, sayur bening, penyetan, dan semacamnya.

Untuk bekal makan siang keesokan harinya, saya sudah siapkan di malam hari. Paginya, tinggal masak nasi dan cuci piring selama suami mandi. Gantian saat saya mandi, suami yang meneruskan masak. Jadi bersyukurlah kalau mendapatkan pasangan yang ga malu bawa bekal plus suka masak.

Sehari, kami cuma makan dua kali, siang dan malam. Sarapan, biasanya kami ganti buah. Soal buah, pintar-pintar juga cari di pasar. Indonesia mengenal musim buah setiap bulan, beli yang selagi murah.

Apakah cara itu membuat kami kelaparan? Tidak. Buktinya jarum timbangan kami terus bergerak ke kanan. Duh.

Nah, masalah terbesar anggaran melebihi budget adalah ketika kami malas masak. Itu, namanya keuangan sudah tidak karuan, susah dikendalikan. Seporsi nasi uduk ayam goreng lalapan di pinggir jalan saja sudah seharga Rp 15.000 paling murah. Warteg dengan menu ala kadarnya sekitar Rp 10.000 per porsi, setara dengan pengeluaran makan sehari.

Begitu cerita ga penting, ga jelas, seputar anggaran makan sehari-hari. Kalau ada permintaan cara mengatur anggaran bulanan, kapan-kapan akan saya share. Semoga bermanfaat.**

Sumber foto: Shutterstock

No comments:

Post a Comment