Friday, October 21, 2016

Silampukau yang Memukau


-2009-
Kharis Junandharu. Laki-laki itu tampak sibuk menyiapkan aneka tetabuhan untuk teater gapus. Badannya kurus lincah hilir mudik ke sana kemari. Wajahnya tak terlalu jelas, pencahayaan terlalu gelap. Padahal tujuan kemari adalah mengamati rupa empunya hati adik kos waktu itu. Tentu, niat utama adalah menikmati pertunjukan. 

Sumpah, aku penasaran dengan wajahnya akibat setiap hari mendengarkan cerita yang berbunga-bunga dengan mata yang menerawang dan muka yang tersipu. Setiap gerak gerik Kharis terlihat mempesona di hadapan adik kos. Sebut saja Diya, bagian dari nama lengkap tapi bukan panggilannya.  

"Oh, Mas Kharis," ujarnya 

Seulas senyum Kharis saat papasan di kantin akan membuat Diya melayang. Seucap sapaan selalu akan dikenang. Cerita tentang Kharis tentu tak membuat Diya bosan, tapi aku jadi penasaran. Seperti apa rupanya?

Dan hari ini, aku bisa melihat jelas wajahnya setelah pagelaran usai. Kacamata bingkai tepat di atas hidung. Kaos oblong tampak sedikit kebesaran. Kharis tak terlalu rupawan. Tapi sesuai dengan namanya, dia memang punya kharisma tersendiri. 

"Oalah, iki tha sing nggawe koen edan," bisikku. Dari Diya pula, aku tahu Kharis punya grup musik bernama Silampukau, alias burung kepodang. 

Ngomong-ngomong, Mas Kharis, kalau sampeyan membaca blog ini. Diya, adik kosku yang pernah naksir berat sama kamu waktu itu, entah sekarang, adalah adik tingkatmu. Diya anak Sastra Indonesia Unair angkatan 2007. Kini, gelar pascasarjana sudah dia sandang. Kosnya di Karang Menjangan. Tebak sendiri ya, mas. Kalau ternyata pernah naksir juga, lamar aja sekarang. Diya masih jomblo.


2016
Ingatan soal Kharis kembali lagi setelah menonton Net 3.0. Band indienya, Silampukau, masuk ke dalam satu nominasi. Melihat itu, aku kembali terbayang dengan kisah cinta platonis antara Diya dan Kharis. Tawaku pecah. 

Perjumpaan kembali nama Silampukau dan tentu dengan Kharis Junandharu membuatku kembali penasaran. Tapi kali ini beda, aku tak tertarik dengan Kharis tetapi lebih pada Silampukau. Pencarian di youtube pun dimulai. 

Dan ternyata, aku terpukau dengan lagu Silampukau. Lirik cerdas dan nakal, dengan instrument sederhana yang malah memunculkan rasa kangen dengan Surabaya. 

Beberapa kosakata di dalam lirik justru menambah perbendaharaan kata. Kamu akan menemukan istilah baru seperti "matrimoni" setelah mendengar lagu "Sang Pelanggan."  Sejumlah syair kadang menjadi katarsis saat sedang sedih, jenuh, dan kecewa dengan keadaan, Sambil berujar "ini aku banget". 

Berikut ini beberapa lirik lagu Silampukau yang paling sering didengar. 


1. Lirik "Cinta Itu"

Cinta bukan soal pengorbanan
Dengan tulus tak terasa beban
Biarlah yang terbaik jadi manis
Dan pahit takkan jadi tangis

Cinta memang tak perlu berbalas
Tak usah mengemis dan memelas
Biarlah yang terbaik jadi manis
Dan pahit takkan jadi tangis

Cinta itu buat kapan-kapan (kapan?)
Kala hidup tak banyak tuntutan
Biarlah yang terbaik jadi manis
Dan pahit takkan jadi tangis


Lagu "Cinta Itu" terasa menyidir anak zaman sekarang yang suka galau. Kadang, seperti menelanjangi saat mengingat zaman-zaman dulu. Bodoh sekali aku waktu itu. 


2. Lirik "Balada Harian" 

Tik-tok jam. Dering alarm.
Pagi tak terhindarkan.
Tik-tok jam. Dering alarm.
Impian pudar perlahan. Diam-diam,
pagi tak terhindarkan.

Tik-tok jam. Kubayangkan,
hari begitu panjang.
Tik-tok jam. Lalu-lalang,
derum dan bising jalanan.
Kuberbaring, membayangkan
hari pasti ‘kan panjang.

Di luar pagar sana, kawanku,
kehidupan memanggilmu.
Tapi tahun kian kelabu.
Makna gugur satu-satu,
dari pengetahuanku,
dari seluruh pandanganku,
pendengaranku,
penilaianku.

Mentari tinggal terik bara tanpa janji.
Kota tumbuh,
kian asing, kian tak peduli;
dan kita tersisih di dunia yang ngeri,
dan tak terpahami ini.

Tik-tok jam. Dering alarm.
Pagi tak terhindarkan.
Tik-tok jam. Kini ku paham,
waktu sekedar hitungan yang melingkar,
kekal di kehampaan.

O, bocah riang di jiwaku,
di manakah dirimu?
Tahun-tahun masih menunggu,
kembalilah kepadaku.


Mendengar lagu ini membuat aku ingat untuk kembali mengorek-orek sisa mimpi. Semakin dewasa, kita sering kehilangan rasa jenaka, terlampau serius hingga sulit menikmati hidup. Bekerja seperti mesin, melupakan obsesi. Terimakasih Mas Kharis dan Mas Eki, maaf namanya baru disebut di bagian ini. Semoga belum terlambat. 


3. Lirik "Puan Kelana" 

Kau putar sekali lagi Champs-Elysees.
Lidah kita bertaut a la Francais.
Langit sungguh jingga itu sore,
dan kau masih milikku.

Kita tak pernah suka air mata.
Berangkatlah sendiri ke Juanda.
Tiap kali langit meremang jingga,
aku ‘kan merindukanmu.

Ah, kau Puan Kelana,
mengapa musti ke sana?
Jauh-jauh Puan kembara,
sedang dunia punya luka yang sama.

Mari, Puan Kelana,
jangan tinggalkan hamba.
Toh, hujan sama menakjubkannya,
di Paris atau di tiap sudut Surabaya.

Rene Descartes, Moliere, dan Maupassant.
Kau penuhi kepalaku yang kosong;
dan Perancis membuat kita sombong,
saat kau masih milikku.

Kita tetap membenci air mata.
Tiada kabar tiada berita.
Meski senja tak selalu tampak jingga,
aku terus merindukanmu.

Ah, kau Puan Kelana,
mengapa musti ke sana?
Jauh-jauh Puan kembara,
sedang dunia punya luka yang sama.

Mari, Puan Kelana,
jangan tinggalkan hamba.
Toh, anggur sama memabukkannya,
entah Merlot entah Cap Orang Tua .

Aih, Puan Kelana,
mengapa musti ke sana?
Paris pun penuh mara bahaya dan duka nestapa,
seperti Surabaya.


Satu-satunya lagu tentang cinta, puitis tapi tak romantis. Puan dan Tuan, ada harga yang harus dibayar mahal setiap pengembaraan.


4. Lirik "Lagu Rantau Sambat Omah"

Waktu memang jahanam,
kota kelewat kejam,
dan pekerjaan menyita harapan.

Hari-hari berulang,
diriku kian hilang.
Himpitan hutang. Tagihan awal bulan.

O, demi tuhan, atau demi setan,
sumpah aku ingin rumah untuk pulang!

Tujuh tahun yang lalu,
impian membawaku ke Surabaya: berharap jadi kaya.

–hanya bermodal baju dan seratus ribu, nasib ini kuadu—

Tujuh tahun berlalu,
impianku tersapu di Surabaya: gagal jadi kaya.

–kota menghisapku habis, tubuh makin tipis, dompetku kembang-kempis—

O, demi tuhan, atau demi setan,
sumpah aku ingin rumah untuk pulang.

“Rindu menciptakan kampung halaman tanpa alasan.”

Burung pulang ke sarang, ketam diam di liang,
dan di lautan ikan-ikan berenang.

O, demi tuhan, atau demi setan,
sumpah aku ingin rumah untuk pulang.

“Uang bawa ‘tualang sesat di jalan, menjauhi pulang.”


Rasanya, lagu ini lebih cocik untuk kaum urban Jakarta. Bayangkan, saat berdesak-desakkan di commuter line atau Transjakarta, berangkat tepat saat matahari terbit, pulang saat sudah terbenam, di antara ngantuk atau lelah, kemudian lagu ini diputar. Nelangsa atau justru tertawa. Kerja keras, menghabiskan waktu, untuk bayaran yang tak seberapa. Sumpah Tuhan, pasti ingin pulang.  


5. Lirik "Doa" 

Duh Gusti, dulu kala semasa ‘ku remaja,
“nothing else matters,” katanya Metallica.
Sebab hidup, Gusti, kadaluarsa jika
hanya berisi nasehat mama-papa.

Sering, Gusti, aku bertanya-tanya sendiri,
kenapa sih mama tenggelam di televisi,
mengunyah iklan menelan mimpi.
Sabar, mama, tunggu aku masuk ke layar tivi.

Dan inilah nyanyianku.
Semoga mama belum tua saat aku mencapainya.

Duh Gusti, aku kesasar di jalur indie.
Terima sablon kaos dan kadang gantungan kunci.
Musisi, Gusti, musisi,
bukan jadi penjaga distro kayak gini.

Duh Gusti, pernah ‘ku mencoba peruntungan,
dana pas-pasan pokoknya bikin rekaman.
Kuliah, Gusti, kutelantarkan
atas nama musik dan hidup yang penuh kebebasan.

Dan inilah nyanyianku.
Semoga usia belum tua saat mencapainya.

Duh Gusti, kini ‘ku mulai lelah jadi musisi.
Jiwaku remuk terteror televisi.
Aku cemas, Gusti, suatu nanti,
aku berubah murahan seperti Ahmad …

Janggalkah, Gusti, perasaan marah ini
saat nalarku direndahkan televisi?
Lihat itu, Gusti, lihat itu,
b’rapa harga tawa mereka di balik layar tivi?

Dan inilah nyanyianku.
Semoga usahaku lancar, berkembang, ber-cuan,
perlahan aku bisa mewujudkan
ziarah ke tanah suci, tanah impian.

Dan inilah nyanyianku.
Semoga terkenal, terpandang, dan banyak uang.


Curhatan anak band indie. Tapi saya suka lagu ini karena ada sindiran ke salah satu musisi besar asal Surabaya yang sekarang jadi murahan. Iya, Ahmad yang itu, yanng setelah digugat cerai istri pertama jadi seperti sekarang. Hidupnya ala Kadarshian, lebih suka bikin sensasi daripada karya yang menginspirasi. 

Itu tadi Silampukau, band aliran musik indie folk. Kalau sempat, aku akan membuat tulisan tak penting lagi seputar band indie. Selain Silampukau, aku juga suka Banda Neira, Float, dan Payung Teduh. 

Untuk yang ingin lebih tahu tentang Silampukau, silahkan meluncur ke sini http://silampukau.com/ .

Sumber foto: silampukau.com

Tuesday, October 4, 2016

Brangelina dan Barisan Anti-Pelakor

Tidak ada kabar yang paling menyedihkan akhir-akhir ini selain gugatan cerai Angelina Jolie terhadap suaminya, Brad Pitt. Apalah arti dicampakannya Heru oleh Ahok setelah CLBK dengan Djarot. Bukan pula tentang kebijakan Menko Maritim Luhut Binsar Pandjaitan meneruskan reklamasi Teluk Jakarta. Atau kabar putusnya penyanyi cantik Raisa dengan pacarnya yang gagah rupawan serta mapan.


Berita yang menunjukan tanda-tanda Brangelina akan segera berakhir tentu menyesakkan jiwa banyak orang, maklum, keduanya dianggap sebagai salah satu pasangan paling ideal di muka bumi ini. Bagaimana tidak, Brad dan Angelina sama-sama dikaruniai paras mempesona. Hidup mereka tampak penuh berkah, makmur sentosa, serba berkecukupan dengan enam orang anak, tiga kandung dan sisanya adopsi. Mereka berdelapan terlihat kompak serta harmonis. Nilai tambah diberikan ke Brangelina karena pasangan ini aktif di sejumlah kegiatan sosial kemanusiaan. Kalaupun ada cela dari pasangan ini, paling hanya karena mereka tidak ikut program KB andalan. Sudah, itu saja. Sisanya… Istimiwir….

Kurang apa lagi coba? Cantik, tampan, kaya raya, sejahtera, rukun, dan tentu baik hati. Brangelina were the great Hollywood couple. Empat hari yang lalu.

Setelah sekian lama menjalin kemistri yang begitu luar biasa, akhirnya Angelina minta pisah. Publik terkejut. Sedih, marah, menyayangkan, pasangan maha ideal ini mesti berpisah. Media massa riuh ramai memberitakannya dengan berbagai angle. CNN Indonesia sampai membuat topik khusus “Akhir Dongeng Cinta Brangelina”. Entah salah atau benar, terendus orang ketiga yang menyebabkan perpisahan mereka. Tudingan ditujukan kepada Marion Cottilard, lawan main Brad di film Allied.

Di antara sedu-sedan itu, tentu saja ada yang tertawa. Siapa lagi kalau bukan penggemar Jennifer Aniston dan barisan anti-pelakor. Bagi mereka, Angelina adalah pelakor, alias Perebut Laki Orang. Maklum, Kebersamaan Brad Pitt dan Angelina memang dimulai ketika Brad masih berstatus sebagai suami Jennifer Aniston. Mangkanya, banyak yang mengaitkan perceraian Brangelina sebagai sebuah pembuktian bahwa karma itu ada.

Beruntung Angelina tidak tinggal di Indonesia. Dia luput dari serbuan barisan anti-pelakor yang ganas dan berbahaya.

Barisan anti-pelakor selalu berdiri di pihak istri sah. Membela Maia Estianty dari Mulan Jameela, Halimah dari Mayangsari, atau yang terbaru Nagita Slavina dari Ayu Ting Ting. Mereka bukan para feminis partikelir, melainkan orang-orang yang berempati dengan korban perselingkuhan. Mayoritas perempuan, tetapi tak menutup kemungkinan laki-laki. Slogannya mirip ucapan Bung Karno saat berkonfrontasi dengan Malaysia, “Ganyang Pelakor”.

Bentuk pengganyangannya tentu berbagai macam, mulai dari mblejeti aib pelakor, sampai membully di akun media sosial. Tak percaya? pantau saja medsos Mulan Jameela. Tentu kita bisa menilai julukan pelakor terhujat sepanjang masa pantas disandangnya.

Jangan coba-coba membela orang yang dituduh sebagai pelakor kalau tidak ingin dicari kekurangannya. Teori mutlak mereka, pembela pelakor sama saja seperti pelakor itu sendiri.

Entah kebetulan atau tidak, tapi yang pasti, ramainya perseteruan Mario Teguh dengan ‘anaknya’ bermula ketika Linna Teguh memberi dukungan kepada Ayu Ting Ting lewat instagram awal tahun ini. Penyanyi yang kebingungan cari alamat ini sedang menghadapi serangan barisan anti-pelakor karena dituding menggoyang rumah tangga Raffi Ahmad-Nagita Slavina.

Barisan anti-pelakor langsung mencari cerita buruk masa lalu Linna Teguh yang ternyata istri kedua. Tak tanggung-tanggung, kelompok ini memberikan bukti surat perceraian Mario dengan istri pertama dan akta lahir Kiswinar ke akun instagram @Lambe_turah, akun yang khusus membongkar gosip underground. Dan, Voila, jadilah gosip konsumsi publik yang berkepanjangan hingga saat ini.

Angelina Jolie beruntung tidak menjadi artis di Indonesia. “Aksi” merebut Brad Pitt dari Jennifer Aniston tak akan berimbas di karir atau jadwal manggung. Publik terlupa seiring dengan cerita cinta Brangelina. Tak akan ada petisi boikot di change.org seperti yang dilakukan barisan anti-pelakor kepada Mulan Jameela dan Ayu Ting Ting.

Begitulah nasib para pelakor di nusantara. Berbeda perlakuan, para pria yang direbut lebih minim hujatan daripada para pelakor. Bambang Triatmojo, Ahmad Dhani, atau yang dituding seperti Mario Teguh dan Raffi Ahmad, mereka masih bisa leyeh-leyeh tanpa banyak yang menghakimi.

Di sisi lain, para barisan anti-pelakor terus berharap keadilan bagi istri sah yang terkhianati. Mereka merindukan masa di zaman Tien Soeharto, saat selingkuhan terpaksa rela rumahnya disemprot tinja. Era saat para pelakor tak bisa menyombongkan hasil rampasannya.

Mungkin bila masih hidup, Tien Soeharto akan berkata “Piye kabare, enak jamanku tho?” sambil memperbaiki letak konde.

Bersyukurlah, Angelina, anda tidak tinggal di Indonesia.

Pernah dimuat di Mojok.co, 23 September 2016

Membela Mario Teguh

Sahabat-sahabatku yang baik, saya tuliskan catatan ini sebagai pembelaan terhadap motivator, Bapak Mario Teguh, yang telah dicemooh oleh mojoker pendengki lewat artikel berjudul: “Hidup Memang Tak Semudah ‘Cocote’ Mario Teguh”. 

Sumber:youtube.com

Sahabatku, seorang motivator pastilah menginginkan orang termotivasi untuk memandang hidup lebih mudah. Motivator tentunya mengajarkan yang baik-baik meski mungkin tak dilakukan oleh dirinya sendiri.

Tapi, tentu seorang Bapak Mario Teguh menjalankan hidup penuh konsistensi ucapan dan pikiran. Beliau adalah orang yang suskses, pernah menjadi Head Sales Citibank Indonesia. Saat bertemu dengan Bu Lina Teguh, istri yang di awal kemunculan diakui sebagai pernikahan pertama kemudian baru-baru ini diralat jadi pernikahan kedua, Pak Mario berprofesi sebagai Vice President Marketing and Organization Development.

Karena cintanya kepada Bu Lina, dua bulan setelah bertemu langsung menikah. Memang benar, sebelumnya Pak Mario dan Bu Lina mengaku menikah di awal tahun 1993. Setelah beredar surat cerai dengan istri pertama di publik, tim Pak Mario segera meralat tanggal meski tidak bisa menarik kembali video-video yang bertebaran.

Ralat ini tentunya bukan karena Pak Mario tak konsisten dengan ucapannya. Namun semua itu agar pernikahan terlihat lama, agar terlihat lebih dramatis. Bukannya masyarakat Indonesia lebih suka cerita yang fantastis.

Setelah Pak Mario menikah, pasangan emas ini memilih keluar dari pekerjaan masing-masing dan tinggal di garasi tak berpintu ukuran 2,5 x 2,5 meter. Mungkin Pak Mario saat itu belum pintar menabung sehingga tak ada sepeserpun sisa gaji untuk mengontrak yang lebih layak. Berbeda dengan saya yang pegawai rendahan, memaksa beli rumah setelah menikah.

Tak mengapa, toh Bu Lina bersedia hidup miskin demi cinta. Saking miskinnya di tahun 1994, tiap hari mereka hanya bisa makan sarden sehingga tubuhnya licin seperti ikan. Coba kalau mereka makan kerupuk dan garam, mungkin tubuh Pak Mario bisa lebih renyah.

Sahabat-sahabatku yang baik, saya tegaskan bahwa tulisan ini bukan untuk berkomentar tentang polemik yang dihadapi Pak Mario Teguh atas seorang pria yang mengaku sebagai anaknya. Saya yakin Ario Kiswinar Teguh bukanlah anak Pak Mario Teguh. Karena Kiswinar kurus dan berkumis, padahal Pak Mario tidak. Keyakinan yang sama inilah menimbulkan keraguan dengan Jokowi dan Kaesang.

Dari muda sampai tua, presiden ketujuh ini tak pernah sekekar Kaesang. Wajah mereka juga tak mirip-mirip amat. Jangan-jangan Bu Iriana selingkuh, saya sarankan Jokowi dan Kaesang melakukan tes DNA.Saya juga menganjurkan mojokers di sini untuk tes DNA kalau wajahnya tidak sama dengan orang tua masing-masing. Jangan-jangan bukan anak dan dilarang mengaku-aku.

Kembali lagi, saya berkomentar ini karena ingin menunjukkan kepada Mas Agus Nonot Supriyanto bahwa hidup itu semudahnya ‘cocote’ Mario Teguh. Coba Mas Agus nonton tayangan Sapa Indonesia di Kompas TV tanggal 9 September kemarin. Di situ dijelaskan bagaimana jalan emas menggapai kesuksesan ala Mario Teguh.

Jadilah Vice President Perusahaan Orang, Jangan Pengusaha

Sahabatku yang baik, dari tayangan Kompas kemarin, Pak Mario menyayangkan Ario Kiswinar yang berumur 30 tahun hanya menjadi CEO perusahaan main-main yang mengkaryawankan para ODHA. Padahal di umur yang sama, Pak Mario telah menjadi Head Sales bahkan Vice President di usia 30-an.

Dari sini sahabatku, kita bisa belajar bahwa apa yang dikatakan Almarahum Bob Sadino itu salah besar. Bob Sadino merupakan motivator gadungan yang menyarankan pekerja kantoran resign demi membuka usaha sendiri.

Benar kata Pak Mario, ukuran kesuksesan itu bukan proses melainkan gaji yang kita terima. Moivator yang meninggikan pedagang asonan, kaki lima, online shop, usaha ecek-ecek lain dibanding karyawan papan atas sejatinya adalah motivator palsu.

Usia 30 Tahun Jangan Mengaku Anak

Sahabat-sahabatku yang baik, ketika kita berusia 30 tahun hendaknya mampu berdiri sendiri tanpa pengakuan dan doa restu orang tua. Pak Mario mengatakan usia 30 tahun itu tak lagi bisa disebut anak melainkan bapak-bapak.

Jadi buat kamu, Mblo, sadar diri bahwa saat kamu berusia 30 tahun artinya bapak-bapak meski belum punya pacar, menikah, apalagi punya anak. Kalau mau sukses janganlah mengaku anak pada orang yang kamu anggap orang tua. Raihlah kesuksesan dengan mandiri tanpa bantuan siapapun, bahkan rela menjauhkan diri dengan keluarga sekalipun.

Bencilah Mantanmu Semaksimal Mungkin

Sahabat-sahabatku, dari wawancara klarifikasi kita bisa belajar cara menghadapi musuh. Tirulah Pak Mario, ketika ada teror langsung menduga kalau itu adalah dari mantan istri. Segera dia tulis di handphonenya dan milik istrinya dengan nama “Lady Evil”. Jangan lupa sebarkan kepada seluruh masyarakat Indonesia bahwa kita mempunyai panggilan khusus untuk menamai orang yang kita benci.

Cara Pak Mario, menurut saya, sangatlah tepat. Kalau ingin sukses tentu kita harus move on. Bencilah semaksimal seseorang yang membuatmu tampak terpuruk sebagai cambukan meraih kesuksesan. Mengingat mantan pacar atau mantan istri dengan perasaan yang biasa saja tak berkembang.

Lupakan Masa Lalu, Tataplah Masa Depan yang Cerah

Sahabat-sahabatku yang baik, masa lalu yang buruk janganlah diingat karena akan menghambat kesuksesan. Masa lalu akan membuat kita terpuruk dan kian berkubang pada kegagalan. Bila perlu buatlah cerita yang menarik dan mencengangkan untuk menutupi masa lalu.

Dahulu Pak Mario selalu bercerita tentang Bu Lina yang cantik sebagai istri pertama setelah menjomblo sekian lama karena ditolak perempuan manapun. Itu menunjukkan Pak Mario benar-benar move on dari masa lalunya. Perihal nanti kepleset kan bisa diatasi dengan klarifikasi di televisi, hapus tulisan, foto, dan video di facebook dan instagram. Kemudian buat cerita yang baru.

Pesan saya buat Mas Agus untuk melaksanakan jalan emas yang telah diresepkan Pak Mario Teguh. Saya harap sampeyan, Mas, tidak lagi mengolok-olok Mario Teguh. Dia adalah motivator yang sempurna paripurna tiada cela, selalu bisa mengobarkan semangat berapi-api kepada seluruh penggemarnya, dan tentunya konsisten sedari lahir.

Meniru ucapan motivator idola saya tentang anak bungsunya, “Jangan nanti muncul, bekas anak dihajar anak,” saya tekankan Mas Agus untuk meminta maaf. Jangan sampai nanti muncul, bekas penggemar dihajar penggemar.

Pernah diterbitkan di Mojok.co 11 September 2016

Jadi, Apakah Sekarang Tempo Sudah Pro-Rokok?

Sebagai pembaca Tempo sejak zaman kuliah dan nguli tinta selama tiga tahun (2011-2014), saya kaget luar biasa ketika melihat iklan cover edisi khusus “Memperingati Kemerdekaan” yang menyorot kiprah Chairil Anwar. Sang penyair ditampilkan dengan menghisap rokok. Wah, apakah Tempo telah mengubah kebijakan redaksinya?


Saya carep Tempo generasi Velbak, Jakarta Selatan. Sepanjang yang saya tahu, kebijakan redaksi selama ini memang lebih condong ke arah anti-rokok, sehingga pemberitaan juga lebih condong ke arah itu. Ingat ya, bullshit kalau ada yang bilang media itu netral. Semua media pasti berpihak tapi tergantung ke arah mana.

Untuk kasus Tempo, keberpihakan biasanya setelah melewati pertempuran luar biasa mulai sekelas reporter hingga redaktur eksekutif, “bacok-bacokan” di rapat redaksi hari senin. Biasanya, seusai keputusan dibuat, siapapun harus patuh, tak peduli seberapa berdarahnya ia memegang pendapat di dalam rapat.

Kebijakan Tempo yang anti-rokok juga berimbas pada Kawasan Tanpa Rokok di kantor Velbak. Tak ada satu pun tempat diberikan di dalam gedung untuk aktivitas merokok. Perokok harus keluar gedung, atau paling banter di teras depan, hanya untuk sekadar menjadi ahlul-hisap barang sebentar.

Ketika kembali masuk ke ruangan pun, aroma rokok harus segera enyah dari pakaian. Jika tidak, kelompok mayoritas anti-rokok akan menghardik “Habis ngrokok ya, menganggu, cuci tangan dulu sana.”

Karena penegur biasanya atasan, perokok akhirnya terpaksa melipir ke kamar kecil.

Pernah ada cerita tentang salah seorang karyawan Tempo yang mencoba menghisap rokoknya saat di depan layar komputer. Sebut saja namanya JS. . JS ini asyik merokok sambil mengedit berita hingga kepergok TH  yang saat itu punya jabatan sebagai kepala pemberitaan.

Memang agak bandel tapi cerdik, JS mengelak, “Oh iya, ga boleh ya, Mas. Maaf lupa,” kilahnya. TH marah dan geram seraya terus mengimbau kepada JS agar tidak mengulangi lagi. Sampai saya masuk Tempo dan kemudian keluar, cerita ini terus diulang disertai gelak tawa JS dan redaktur se-angkatannya.

Selain kebijakan redaksi yang mempengaruhi pemberitaan hingga penerapannya di lingkungan kantor, para penggede Tempo yang anti-rokok pun akan menunjukan resistensinya terhadap produk tembakau lewat media sosial. Para penjaga gawang Mojok pasti juga tahu, salah seorang lulusan sesama Yogya yang sekarang jadi redaktur senior di Tempo, merupakan aktivis anti-rokok.   Sementara awak Tempo yang merokok, sepertinya sulit menunjukkan sikap di publik perihal rokok.

Nah, iklan cover edisi khusus “Memperingati Kemerdekaan” bergambar Chairil Anwar yang sedang menghisap sebatang rokok itu sedikit banyak mulai membuat saya berfikir tentang perubahan kebijakan di lingkungan Tempo soal rokok. Hal ini semakin menguat tatkala saya tahu bahwa gedung baru Tempo di Palmerah, Jakarta Barat, ternyata telah menyediakan area bebas rokok di lantai tiga. Sebuah area merokok dengan konsep balkon terbuka yang diisi dengan deretan kursi yang cukup untuk menampung puluhan orang.

Tapi, waktu akhirnya menunjukkan skenarionya juga. Tempo mungkin memang sudah ditakdirkan untuk senantiasa anti-rokok. Cover bergambar Chairil Anwar menghisap rokok rupanya telah dianulir. Versi majalah yang dijual adalah cover yang menampilkan Chairil Anwar tanpa rokok.

Cover Tempo Chairil Merokok

Mencoba tabayun, saya akhirnya bertanya kepada redaktur, mantan atasan saya, kebetulan seorang perokok. Dia mengatakan semestinya rokok tetap ada karena memang merupakan ciri khas yang kuat menempel ke sosok Chairil Anwar. Tapi ternyata gambar tersebut banyak menuai protes di internal Tempo.

Ketika saya tanya apakah protes itu menyebabkan turunnya gambar rokok di cover Chairil Anwar, atasan yang menjadi teman baik itu menjawab, “Memang banyak yang protes, tapi bukan karena itu. Aku juga ga tahu pastinya.” Kilahnya disertai rinai tawa yang mencurigakan.

Yah, ihwal rokok, Tempo rupanya masih seperti yang dulu saya kenal. Belakangan, saya baru tahu kalau kebijakan Tempo tak lagi menerima iklan rokok di setiap lini medianya. Apakah Tempo tak ramah dengan perokok? Pimred Tempo Arif menjawab mention-an saya di twitter “Tempo ramah terhadap semua orang.”

Pernah diterbitkan di Mojok.co , Agustus, 18 Agustus 2016