Tuesday, September 20, 2016

Jomblowan yang Ditindas Pengusung Poligami

Memahami nasib para jomblowan di zaman sekarang membuat saya mengelus dada. Ya, nasib jomblowan saat ini lebih naas dibanding waktu lampau. Para laki-laki jomblo tak hanya harus bersaing dengan para lajang tetapi juga pengusung poligami. Tentu saja, ini membuat kemungkinan keberhasilan mereka mendapat pasangan semakin kecil.


Source: Koel 


Sejatinya, para jomblo harus bersaing dengan para laki-laki beristri sudah sejak dulu. Tapi, tingkat keberhasilan jomblo kala itu lebih tinggi karena masih banyak perempuan lajang. Saat ini, perbandingan laki-laki dan perempuan nyaris seimbang.

Tentu saja, saya ngomong seperti itu menggunakan data empiris. Jangan percaya pembenaran para pro-poligami yang mengatakan jumlah perbandingan laki-laki dan perempuan itu satu banding empat.

Badan Pusat Statistik membuat laporan dari Survei Sosial Ekonomi Nasional 2014 dan 2015, jumlah peduduk 254,9 juta jiwa. Mohon Bang Haji Rhoma Irama merevisi seratus tiga lima juta jiwa menjadi dua ratus lima lima juta jiwa. Dari total tersebut, penduduk laki-laki mencapai 128,1 juta jiwa sementara perempuan hanya sebanyak 126,8 juta jiwa.

Rasio jenis kelamin, BPS menuliskan bahwa dari 100 penduduk perempuan terdapat 101 penduduk laki-laki. Artinya, dari 100 pasangan akan ada satu laki-laki kesepian. Angka itu belum diperparah dengan mensaling-silangkan rasio jenis kelamin dan usia. Jumlah lansia perempuan lebih besar daripada laki-laki. Jumlah lansia perempuan mencapai 10,77 juta sementara laki-laki hanya 9,74 juta lansia. Jumlah perempuan di usia yang baik dinikahi jelas lebih sedikit.

Inilah yang membuat saya berkata, para jomblowan mengalami penindasan dari para pengusung poligami. Jatah istri direbut dengan ponggah dan mereka ditinggalkan tanpa solusi. Apalagi kampanye poligami yang mengatakan lebih baik poligami daripada zina seolah mengatakan semua laki-laki penganut monogami adalah zina.

Nah, menurut saya ada sesat pikir di sini. Lawan poligami adalah monogami bukan zina. Laki-laki penganut poligami belum tentu bisa menghindari zina, begitu pula monogami.

Kembali ke nasib para jomblowan. Mereka selalu dihina dina dengan kelajangannya, dirongrong untuk segera menikah padahal stock perempuan lajang kian berkurang akibat poligami.

Apa yang mesti para jomblowan tanah air lakukan agar dapat merasakan cinta? Mencari perempuan dari negara lain? Rusia misalnya. Karena di negara Om Putin Penunggang Beruang itu jumlah perempuan lebih banyak dibanding laki-laki, 7,8 juta berbanding 7,4 juta untuk kategori 15-24 tahun.

Tapi para jomblowan jangan buru-buru gembira. Negara tetangga di bawah Rusia, China, jumlah laki-laki lebih banyak daripada perempuan. Rasio perbandingan laki-laki dengan perempuan mencapai 116 berbanding 100. Sampai-sampai di sana mempunyai desa khusus jomblowan. Jadi, daripada LDR ke Indonesia, tentu perempuan Rusia lebih memilih ke China, lebih murah diongkos.

Para jomblowan juga harus bersaing dengan negara lain. Karena ternyata, masalah jomblo ini bukan hanya masalah di Indonesia tetapi juga global. Di Swedia, rasio antara anak laki-laki dan perempuan mencapai 123 berbanding 100. Memangnya, para Jomblowan Indonesia siap bersaing dengan laki-laki lajang dari negara lain yang hidungnya mancung, mata belo, dan tentunya lebih mapan?

Cara lain adalah menikahi nenek-nenek, karena janda perempuan di sektor inilah yang mayoritas penganut poligami enggan sentuh. Benarkah ini misi mulia para jomblowan untuk mengentaskan nasib nenek menopause? Saya rasa tidak. Nanti kalau pasangan ini tidak bisa melahirkan, kembali kita rongrong dengan pertanyaan “Kapan punya anak?”

Belum lagi, sosial budaya di Indonesia masih menjunjung tinggi patriarki. Di mana perempuan itu idealnya mengurusi dapur, sumur, dan kasur suami. Apa tega nenek yang harusnya istirahat di usia senja tapi malah masih berkutat membuat masakan, cuci piring, cuci baju, beserta melayani suami yang masih segar bugar di ranjang?

Sering tak ada jalan lain, para jomblowan memilih berpasangan dengan jomblowan lain. Tak apalah sama jenis kelamin, asal setia. Ternyata juga malah menimbulkan masalah baru. Kita akan umpat dan kutuk mereka sebagai kaum laknat yang dimurkai Tuhan, seperti Sodom dan Gomora.   

Terus jomblowan harus bagaimana? Benar jodoh di tangan Tuhan, tapi kalau tak berusaha dan tak punya peluang, mungkinkah Tuhan berbaik hati? Jodoh mereka ternyata bidadari surga, jadi terima saja nasib sebagai jomblo di dunia.

Jadi para penganut dan pengusung poligami, cobalah sedikit berkasihan dengan para jomblo. Karena itu salah satu mengkahiri penderitaan para laki-laki lajang agar segera mendapatkan pasangan.


Saya rasa syarat adil bagi poligami tak hanya untuk para perempuan yang dinikahi melainkan juga untuk nasib laki-laki lain. 

Thursday, September 15, 2016

Review: Warkop DKI Reborn dan Pop Corn yang Tak Renyah

Warkop DKI Reborn bagian pertama. Rasanya, inilah salah satu film yang mesti ditonton dengan penuh perjuangan mendapatkan tiket. Bayangkan, di bioskop tempat saya menonton, film ini diputar dengan lima layar. Saya sengaja berencana nonton di hari ketiga karena yakin hari pertama dan kedua akan kehabisan dan sulit mendapatkan posisi yang uenak.



Ternyata salah. Membeli di hari ketiga tetap tak mendapatkan posisi tengah. Meski membeli dua jam sebelumnya, posisi yang saya dapatkan nomor empat dari bawah. Tapi tak apalah, saya terima asal film ini sesuai dengan ekspektasi.

Penjualan tiket  film yang dibesut Anggy Umbara ini memang benar-benar gilaan. Di hari ke enam sejak premier pada 8 September 2016, 2,8 juta tiket ludes terjual. Saya yakin, akhir perolehan akan mampu melampaui Ada Apa Dengan Cinta 2 yang perolehannya mencapai 3,6 juta tiket. Maaf ya, Mbak Dian dan Mas Nico, tolong minggir dulu.

Promo gila-gilaan, tentu membuat penggemar Warkop DKI semakin penasaran. Di commuter line saya temui iklannya, nyalakan TV juga ada promosi, buka facebook dan twitter ada lagi, beli tiket hari pertama dapat CD lagu gratis. Sulit tak tergoda.

Tak hanya penggemar Warkop DKI, para perempuan juga tertarik menonton karena ada tiga papah muda rupawan, Abimana Aryasatya, Vino G. Bastian, dan Tora Sudiro. Terutama pemeran Dono, yang meski wajahnya dijelek-jelekin dengan mrongosnya, tetap tampan.

Promosi gencar, pemain terkenal berakting paten, tentu membuat saya ingin menonton dengan ekspektasi tinggi. Saya sadar, film ini bukan film serius melainkan pop corn movie yang bisa ditonton tanpa kapasitas otak buat mikir. Tapi paling tidak, Warkop DKI digarap dengan lebih segar dan kekinian.

Namun ternyata harapan saya jauh panggang dari pada api. Warkop DKI masih dengan formula yang sama, cewek seksi dan komedi slaptick. Padahal, saya berharap DKI Reborn menjadi lawakan cerdas tanpa harus mengumbar paha Nikita Mirzani dan dada Hannah Al Rasyid.

Apalagi Anggy Umbara, terkenal sutradara dengan unsur-unsur fantastis, selalu ada keributan dalam keramaian di setiap filmnya, sinematografi yang komikal. Ciri ini juga ternyata ada di Warkop DKI Reborn. Mobil dan motor terbang, motor yang menerjang kaca hingga menimbulkan serpihan, hingga dikejar penduduk karena dikira menyebarkan uang palsu. Saya merasa terlalu banyak bumbu di film ini.

Beralih ke jajaran pemain. Hannah Al Rasyid tak ubahnya seperti bidadari Warkop yang dulu, cantik tapi kurang memberi arti. Kecuali Ence Bagus dan Mudy Taylor yang sanggup mengocok perut penonton, para pemain stand up comedy bertebaran di mana-mana sekadar numpang lewat.

Beranjak ke pemeran utama. Satu-satunya yang berperan bagus di antara tiga orang adalah Abimana Aryasatya meski tak seratus persen mirip. Secemerlang saat menjadi Elang di “Belenggu”, Abimana mampu menghadirkan akting yang memorable. Celetukan “Ini muka lho, Kas” masih terngiang-ngiang di telinga dibanding saat Vino mengatakan “Gila lu, Ndro”. Padahal yang terakhir lebih dulu terkenal.

Akting Abimana juga sukses membuat saya terbahak. Misalnya saat menimpali Mudy Taylor yang sedang bernyanyi lagu “Dasi dan Gincu” atau sok bicara Bahasa Perancis. Meski susah ngomong karena gigi palsu, tampaknya akting Abimana tidak terlalu terganggu.

Sedangkan Vino G. Bastian terlalu ngotot menjadi Kasino yang justru membuat aktingnya tak alami. Oiya, kostum yang dikenakan Vino sedikit gangges, kemeja dengan kancing yang dibuka sampai perut bagian atas. Bukannya seksi atau lucu malah terlihat norak.
Untuk Tora, dia terlalu bermain datar. Aktingnya tertolong oleh Indro Warkop yang asli. Coba tak dibantu kehadiran Indro entah sebagai malaikat dan iblis, atau dirinya yang datang dari masa depan, scene bagian Tora bakal kurang greget.

Satu yang saya sesalkan, sindiran atau lawakan politik justru diberikan Indro Warkop dan tokoh lain, bukan tiga pemeran utama. Padahal, awal kemunculan Warkop DKI di radio karena celetukan cerdas dan sindiran nyrempet politik.  Entah apa niat Anggy Umbara sebenarnya. Ditambah alur yang terseret-seret, membuat serasa menonton lawakan di televisi. Lucu sih, tapi kurang berkesan.


Namun, nilai film komedi sangat relatif tergantung penontonnya. Bagi saya garing dan tidak lucu, bisa jadi membuat orang lain ngakak terguling-guling. Pada akhirnya banyaknya ‘bumbu’ tak membuat Warkop DKI Reborn menjadi pop corn yang gurih dan renyah.

Monday, September 12, 2016

Andai Risma Beradu “Pisuhan” Dengan Ahok

Seperti kita ketahui bersama, bahwa Indonesia memang diberkahi keanekaragaman hayati dan pisuhi. Karenanya, suasana tegang antara Ahok dan Risma ini sangat cocok dijadikan sebagai ajang perkenalan kosakata-kosakata pisuhan dari pihak yang bersangkutan. Jika Ahok sudah memperkenalkannya sejak lama, maka rasanya, inilah saatnya bagi Risma untuk tampil dan memperkenalkan kosakata pisuhan alias umpatan khas Surabaya.


Tanggal 11 Agustus kemarin, emboke arek-arek Surabaya murka. Walikota Surabaya Tri Rismaharini merasa kotanya direndahkan oleh Basuki Tjahaja Purnama. Risma tak terima Surabaya dinilai hanya seluas Jakarta Selatan, padahal wilayahnya mencakup separuh Ibu Kota.

Risma membandingkan APBD Surabaya yang hanya Rp 7,9 triliun dibanding Jakarta Rp 64 triliun. Dia juga mengklaim mampu menerapkan manajemen pemerintahan dengan uang yang hanya sebesar itu untuk membangun trotoar, sekolah gratis, kesehatan gratis bahkan memberi makan orang-orang jompo setiap hari.

Risma dan Ahok memang tengah menjadi sorotan media massa dan jejaring sosial terkait perebutan kursi Gubernur Jakarta. Salah satu persamaan dari keduanya adalah cepat marah. Namun, saya melihat ada yang kurang dan berbeda marahnya Risma kemarin dibanding Ahok.

Ahok terkenal dengan kosakata umpatan atau makian yang khas seperti “taik”, “pemahaman nenek lu”, “bodoh”, hingga “brengsek”. Ini membuat Ahok di atas kertas unggul dalam kosakata emosi. Nah, agar berimbang dan “pertarungan” tetap seru, Risma agaknya perlu melawan dengan kata-kata yang punya konteks serupa tetapi lebih nyurabaya.

Seperti kita ketahui bersama, bahwa Indonesia memang diberkahi keanekaragaman hayati dan pisuhi. Karenanya, suasana tegang antara Ahok dan Risma ini sangat cocok dijadikan sebagai ajang perkenalan kosakata-kosakata pisuhan dari pihak yang bersangkutan. Jika Ahok sudah memperkenalkannya sejak lama, maka rasanya, inilah saatnya bagi Risma untuk tampil dan memperkenalkan kosakata pisuhan alias umpatan khas Surabaya.

Nah, Sebagai orang yang pernah jadi penduduk Surabaya selama lima tahun dan ndilalah pernah mencecap kepemimpinan Risma selama satu setengah tahun, saya akan membantu beliau mendata dan mengenalkan beberapa pisuhan Surabaya kepada khalayak luas. Siapa tahu, setelah beliau menjadi Gubernur Jakarta nanti #eh, saya dipanggil ke Balai Kota untuk menjadi tim humas atau minimal penulis naskahnya Risma. Ngarep ga apa-apa kan, bu?

Jancuk 

Jancuk merupakan kosakata umpatan Surabaya yang paling terkenal di daerah luar. Ada banyak versi tentang asal mula kata Jancuk, salah satu yang paling populer adalah Jancuk berasal dari kata jaran ngencuk, alias kuda yang sedang berhubungan badan.

Jancuk sering digunakan waktu marah dan diartikan selaku kata “brengsek”, “sialan”, “ngehe” dan sejenisnya. Namun sejatinya, kata jancuk mempunyai arti lebih dari itu.

Kata jancuk bisa mempunyai arti seperti “what” di kalimat “What a wonderful world” atau “What a handsome boy”. Arek Surabaya sering menggunakan ini ketika melihat gadis cantik, “Jancuk, ayune rek, mboke nyidam opo?!”

Bagi orang Jawa kebanyakan, kata Jancuk itu termasuk kata yang cukup tabu dan kasar untuk diucapkan karena memang punya konotasi yang negatif. Namun, penduduk Surabaya, Gresik, Malang, dan sebagian daerah Jawa Timur justru menggunakan kata tersebut sebagai identitas komunitas mereka, sehingga kata “Jancuk” kemudian memiliki perubahan makna ameliorasi (perubahan makna ke arah positif).

Saya jadi teringat cerita ketika teman-teman saya asal Surabaya kuliah ke Yogyakarta. Setiap kali mereka di warung makan, Ibu pedagang nasi selalu memasang wajah takut atau mungkin was-was saat mendengar percakapan mereka.

“Cuk, koen athe mangan opo?” tanya salah satu teman dengan logat Surabaya.

“Podo ae, cuk. Melok,”

Ibu penjual nasi ini mungkin khawatir bakal terjadi perkelahian di warungnya. Padahal pertanyaan itu bila diartikan berbunyi, “Bro, mau makan apa?”

Nah, jika diaplikasikan pada “perseteruan” Risma-Ahok, kata jancuk ini bisa digunakan Risma untuk menegur Ahok. “Cuk, lek athe ngomong dipikir disik,”

Tembelek kingkong

Tembelek artinya tahi. Bayangkan melihat tahi kingkong, bau dan ukurannya. Penggunaan idiom tembelek kingkong ini tak mutlak digunakan, bisa digantikan jenis binatang lain. Orang Surabaya sering menggantinya dengan tembelek gajah, tembelek sapi, asal binatang yang mempunyai ukuran badan dan tai yang besar.

Bila Ahok sering menggunakan kata “taik” untuk mengumpat, Risma bisa memakai tembelek kingkong atau tembelek gajah. Ukuran tai binatang jelas lebih besar dan menjijikkan daripada kotoran manusia.

Bisa dibilang, “taik”-nya Ahok itu nggak ada setaik-taiknya “tembelek”-nya Risma…

Makmu kiper

Makmu kiper, artinya ibumu penjaga gawang. Di permainan anak-anak kampung Surabaya, biasanya penjaga gawang dipilih karena tak ahli menggocek bola. Kiper kerap ditempati anak-anak kecil yang tak punya kemampuan tapi ingin ikut bermain. Kalau ibumu dianggap kiper, artinya dianggap tak capable mengelola sesuatu.

Makmu kiper ini bisa digunakan untuk melawan Ahok saat sang petahana berkata “Pemahaman nenek lu”. Karena sama-sama menyangkut harkat dan martabat keluarga, perlu dibela sepenuh harga diri.

Dengkulmu sempal

Saya tak bisa membayangkan bagaimana rasanya mempunyai dengkul yang tak presisi, alias sempal. Idiom “dengkulmu sempal” itu setara dengan “otakmu dipakai tidak”, “matamu ditaruh mana”, dan lain sebagainya. Penggunaan di Surabaya bisa diganti dengan kata lain asal melibatkan anggota tubuh. Bentuknya seperti “matamu suwek”, “untumu njepat”. Jujur saya sendiri juga bingung mengartikan idiom-idiom ini ke dalam Bahasa Indonesia. Bagaimana bentuk mata yang sobek atau gigi yang melenting ke atas?

Risma bisa menggunakan ini ketika Ahok lagi-lagi dianggap meremehkannya Kota Surabaya. “Dengkulmu sempal, Hok, masak Surabaya dianggap kota kecil.”***

Tulisan ini pernah dimuat di Mojok.co tertanggal 13 Agustus 2016

Tips Punya Rumah Bagi Pasangan yang Baru Menikah

Masalah para jomblo tak akan selesai setelah menikah. Benar, ratusan problematika bermunculan dalam rumah tangga. Salah satunya mau tinggal di mana, ngontrak, beli rumah, atau tinggal di pondok mertua indah. Perkara rumah adalah perkara yang umum bagi pasangan yang baru saja menikah, tentu selain perkara momongan alias anak.


Pertanyaan soal anak, biasanya langsung membuat saya mengkeret tinggal beberapa centi di pojokan. Tapi kalau soal rumah, setidaknya masih bisa bernafas lega. Sebagai pasangan muda tapi tidak berbahaya, saya dan suami, di usia pernikahan kurang setahun sudah punya rumah mungil meski nyicilnya hampir separuh orde baru. Mandiri, tanpa sumbangan orang tua dan mertua, bukan hasil saweran nikahan. Pastinya juga bukan hasil jalean alias amplopan wartawan. Sorry ya, bro, itu haram bagi kami. Prinsip!

Sebagai pasangan muda yang baru saja menikah, entah mengapa, saya kok ya merasa punya beban moral untuk sekadar berbagai tips kepada pasangan muda lainya untuk bisa punya rumah sendiri.

Nah, berikut ini adalah tips punya rumah (meski tak mewah) untuk pasangan muda yang baru menikah.

Pertama, Tentukan Skala Prioritas

Nasehat yang sangat klise tapi manjur. Coba hitung pakai kalkulator, berapa gaji kita? Idealnya, kebutuhan cicilan maksimal adalah sepertiga gaji gabungan. Kalau mau ambil rumah, artinya cicilan KPR tak boleh lebih dari itu. Pentingnya menentukan skala prioritas, kalau pengen rumah tak usah melirik-lirik kebutuhan yang lain.

Seorang teman punya gaji di atas sepuluh juta setiap bulan, belum terhitung lembur. Dengan gaji sebesar itu mestinya sudah bisa menyicil rumah tanpa menggabung penghasilan pasangan. Nyatanya, dia selalu mengeluh keinginnanya punya rumah. Pantas saja, penghasilannya habis untuk nyicil mobil dan sewa apartemen di bilangan Kuningan, Jakarta. Iya Kuningan, salah satu lokasi paling ngehits di Jakarta yang sewa kamar sempit saja bisa habis Rp 2 juta per bulan. Ini kisah nyata lho.

Kedua, Tegas dan Teliti

Dua hal ini perlu, tak sekadar memilih pacar atau pasangan, tetapi juga untuk memilih rumah. Istilahnya ya, rumah itu seperti jodoh. Pastikan ingin rumah pertama yang seperti apa, lokasinya, harganya, lingkungannya, lantas cari yang sesuai. Teliti sebelum membeli.

Bila semua sudah memenuhi kriteria, tunggu apa lagi? Jangan menunda-nunda. Berbeda dengan tingkat kerupawanan kita yang selalu menurun tiap tahun, harga rumah selalu naik dan kian mencekik. Belum tentu tabungan kita saat ini mencukupi uang muka tahun depan.

Ketiga, Lokasi Menentukan Prestasi

Harga rumah tengah kota jelas lebih mahal dibanding pinggiran. Tak masalah memilih di pinggir kalau isi kantong hanya cukup segitu. Asal, akses transportasi mudah, dekat stasiun kereta atau terminal. Lokasi jin buang anak bisa menjadi pilihan. Para jin bakal tergusur kalau perumahan manusia menjamur. Siapa tahu beruntung, rumah yang kita beli harganya melonjak seiring adanya pembangunan.

Seorang kerabat membeli rumah di lokasi jin buang anak, bilangan Cinere, tahun 2011. Awalnya membeli dengan harga Rp 500 juta untuk dua lantai. Sejauh mata memandang, hanya pohon bambu di kanan kiri halaman. Seiring perkembangan zaman, harganya melonjak menjadi Rp 3,5 miliar karena gerbang kompleks tepat berada dekat pintu tol Depok-Antasari.

Percayalah, Dengan tekad dan riset yang cermat. Kavling dan tanah selalu punya takdirnya masing-masing.

Keempat, Nikmatnya Uang Halal

Cari uang yang halal dan jujur, biar hidupnya barokah. Serius, bukan bercanda. Tuhan itu sering lucu, sering kasih kejutan kalau kita berbuat baik. Tips ini bukan seperti cara ustadz yang bilang kalau ingin cepat kaya harus banyak sedekah. Ada samanya, sih, tapi tidak persis-persis banget, semuanya tergantung niat.

Sebenarnya rasional, ketika bekerja dengan giat dan jujur, akan banyak orang yang percaya. Niscaya, akan semakin banyak order dan sumber pemasukan.

Kelima, Pasrah

Ini bagi yang sudah tak bisa berbuat apa-apa. Gaji cuma dibawah UMR, cari sabetan kanan kiri ga dapat. Apalagi solusinya selain pasrah seraya berdoa, “Ya Tuhan, kapan saya punya rumah?”

Tuhan pasti tahu yang terbaik. Jangan-jangan tak bisa beli rumah karena memang disuruh menemani orang tua. Belum boleh beli rumah, siapa tahu sebentar lagi dapat undian atau warisan.

Pada akhirnya, punya rumah adalah seperti sebuah pernikahan. Memilikinya belum tentu membuat bahagia. Begitulah pledoi jomblo dan tuna wisma dalam menghibur diri. Dan tak ada salahnya kita mencoba menghibur diri kita dengan penghiburan yang sama dengan mereka***

Tulisan ini pernah dimuat di Mojok.co tanggal 4 Agustus 2016

Jelita Mengalahkan Jelata

Perempuan cantik memang selalu lebih menarik. Begitu juga cerita putri cantik Wakil Ketua DPR Fadli Zon, Shafa Sabila Fadli. Ia membuat gempar jagad maya setelah bocornya surat berkop Sekretariat Jenderal DPR berisi permintaan fasilitas untuknya. 


Isi surat tersebut adalah meminta KBRI Washington DC memfasilitasi kunjungan Shafa di New York. KBRI juga diminta koordinasi sama KJRI agar memberikan “penjemputan dan pendampingan” untuk Shafa. Entahlah, penjemputan dan pendampingan apa yang dimaksud. Bahasa birokrasi memang punya banyak sayap.

Kabar ini sontak menimbulkan keramaian. Sindiran, sumpah serapah, bertebaran mulai dari media sosial hingga obrolan ala warung kopi. Namanya orang Indonesia. Ngobrol ngalor-ngidul, ujung-ujungnya masalah yang lain-lain. Mulai dari foto seksi Shafa Fadli Zon, sampai meme yang membandingkan antara anak Fadli Zon dan anaknya Jokowi, Gibran Rakabuming.

Soal baju seksi, sebenarnya terserah Shafa juga pakai baju apa, meski ujung-ujungnya, bapaknya yang bakal kena. Ihwal meme Mas Gibran, rasanya ya kurang tepat. Gibran kos di Singapura sebelum jadi anaknya presiden. Mungkin sebaiknya gambar meme diganti Kaesang yang saat ini ngekos di kamar biasa-biasa saja meski anak presiden.

But anyway, saya nulis tidak untuk komentar soal bajunya Shafa atau memenya Gibran. Saya cuma heran, orang Indonesia kok begitu latah dan mudah sekali dialihkan perhatiannya. Satu orang bicara tentang A, yang lain ngikut. Topik berganti tentang B, yang lain juga ngikut, padahal ada bahasan yang lebih penting.

Misalnya sama-sama tentang surat, ada lho surat yang lebih urgent kita bicarakan daripada suratnya Setjend DPR RI. Apa itu? Salah satunya surat jaminan Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, Nusron Wahid untuk Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Gus Nusron pasang badan agar Ralina (baca Ralino) bisa pulang dan berlebaran bersama keluarga. Ralina ini ABK korban kecelakaan kerja di Taiwan. Dia harus dioperasi ganti dan sambung saluran pencernaan dari tenggorokan hingga usus karena rusak parah.

Namun masalahnya bukan itu. Ralina dua kali operasi dan sudah selesai perawatan sejak tiga pekan yang lalu. Dia tertahan di RSCM karena PT yang memberangkatkan tidak mau bertanggung jawab dan klaim asuransi juga limit. Tagihan di RSCM Rp 106 juta, BNP2TKI bayar Rp 50 juta, asuransi Rp 10 juta, sisanya sedang diupayakan sama Migrant Care dan BNP2TKI.

Lah, selama ini kita di mana? Sudah tiga pekan Ralina ketahan tapi kita sibuk ngurusin yang lain. Kalau Mbak Anis Hidayah, Direktur Eksekutif Migrant Care, tak pasang foto surat di facebook, pasti saya sendiri juga tidak tahu. Berita di media massa soal Ralina juga relatif sepi. Mungkin yang jelata kurang menarik bila dibandingkan yang jelita. Coba kita ikut ngobrol soal Ralina dan suratnya Gus Nusron di facebook, siapa tahu ada dermawan-dermawan yang mau nyumbang, media-media itu juga mau meliput.

Tapi sejatinya, kabar jelita mengalahkan jelata ini tak cuma kali ini saja. Banyak perbandingan serupa di waktu lalu. Misalnya tahun 2009, model cantik Manohara Odelia Pinot kabarnya disiksa dan disekap suaminya, Pangeran Kelantan Malaysia. Kasus ini lantas menjadi ramai di pemberitaan tanah air, jauh lebih ramai dibandingkan kasus-kasus mbak-mbak jelata yang disiksa saat bekerja di Malaysia.

Padahal di waktu yang berdekatan, mbak TKW yang bernama Siti Hajar disiksa majikannya sampai luka parah. Michele, majikan Hajar, menyiram dengan air panas, menyiksa dengan martil dan gunting hingga menyebabkan cacat permanen. Meski kisah Manohara ikut mendongkrak kasus Siti Hajar, tapi rasanya obrolan di media sosial lebih banyak membahas perempuan yang pertama ketimbang yang kedua. Penyebabnya sekali lagi, Siti Hajar tak sejelita Manohara. Atau kalau mau dibalik, Manohara tak sejelata Siti Hajar.

Mengutip perkataan Hatta Rajasa, itulah bedanya jelita dan jelata.***

Tulisan ini pernah dimuat di Mojok.co tanggal 1 Juli 2016

Suber gambar: Tubgit