Monday, May 14, 2018

Silakan Mencaci Tapi Jangan Lupa Membuka Hati #SuroboyoWani



Hari ini, di toilet kantor bilangan Senayan, saya menangis tergugu. Bom Sarinah di Jakarta, peristiwa Mako Brimob pekan lalu, hanya membuat saya marah sekaligus mengutuki para pelaku. Tapi Bom Surabaya ini beda, hati mencelos dan merana luar biasa.

Surabaya, serasa jadi rumah kedua sebenarnya setelah Kediri, bukan Jakarta tempat mencari nafkah. Bukan pula Bogor, di situ kami bertempat.

Alasan mengapa Surabaya selalu di hati sebagian sudah saya tulis di laman facebook. Namun lebih dari sekadar itu, Surabaya mematangkan seorang Ndari dari yang mentah di Kediri menjadi jauh lebih berkarakter. Di Surabaya, saya belajar bahwa atribut itu bukan masalah tapi roh di dalamnya yang lebih penting. Saya berteman dengan banyak orang mulai dari yang ber-rok mini hingga yang hanya terlihat mata saja.

Doesnt matter who you are, your religion, ethnic, tribe, the color of your skin, your gender, what choice you follow,  we're all human beings. Terserah apapun atribut yang disandang, dahulukan manusianya, manusianya. 


Pandangan-pandangan inilah yang membuat saya lolos seleksi keempat Tempo (dari 8 rangkaian seleksi). Waktu itu sang pewawancara, yang akhirnya saya ketahui bernama Mbak Ninil (Widiarsi Agustina)--ternyata kita mempunyai habitat asal yang hampir sama dan kelak dia menjadi salah satu mentor saya--bertanya. "Tanggapanmu tentang kasus penyerangan Ahmadiyah Cikeusik gimana?"

"Secara pribadi, saya tidak sepakat dengan keyakinan umat Ahmadiyah. Namun ketidaksepakatan itu bukan berarti saya setuju dengan kekerasan yang ditimpakan oleh mereka. Bagaimanapun, setiap orang di negeri ini berhak hidup, mendapatkan pekerjaan yang layak, pendidikan, akses kesehatan, dan fasilitas umum lainnya. Jadi saya mengecam tindak kekerasan terhadap umat Ahmadiyah dan berharap pelaku mendapatkan sanksi yang seadil-adilnya."

Jawaban itu berlaku juga untuk LGBT, Syiah, atau bagi kamu "hai mbak/mas yang merasa saya terlalu liberal dan patut dimusuhi. Its okay, itu hakmu." Saya bukan Tuhan yang berhak menghakimi menentukan surga neraka seseorang. Coba saya tidak pernah singgah di Surabaya, mungkin tidak akan belajar apa itu yang namanya toleransi dari orang-orang di sana.

Kisah lain, di Surabaya, saya banyak bertemu dengan orang-orang baru. Senior-senior yang menganggap saya seperti adik mereka sendiri sampai turut campur urusan hati atau pacar. "Opo'o koen, jadian ambek arek iku? Ga onok sing luwih apik tha?" salah seorang senior --sebut saja Xiemen, bukan nama sebenarnya-- yang menanyakan kenapa saya mau pacaran sama adik lettingnya di jurusan. Dan, sepekan kemudian, kami putus. Salah satu faktornya karena pertanyaan itu, faktor lain karena ada yang menurut saya lebih baik.

Teman-teman lain, banyak juga, yang sering mengantar  pulang usai rapat atau cangkruk di Cak Di, mengantarkan ke Bungurasih jam 2 pagi. Sampai sahabat-sahabat (Dkolingkerz, dll) yang menguatkan saya saat ibu meninggal. Bahkan di saat saya tak bisa cerita, mereka selalu punya cara untuk mengoreknya.

Jadi ketika Surabaya dua hari ini dihantam teror bom bertubi-tubi, hati saya yang luluh lantak. Seorang adik letting nyaris menjadi korban bila dia tidak bangun kesiangan dan terlambat pergi ke gereja. Alhamdulilah, tak ada korban dari orang-orang yang saya kenal. Tapi bukan berarti saya bisa bernafas lega.

Korban jiwa melayang dan sejumlah orang luka-luka. Naasnya lagi, teroris itu membawa anak-anak kecil, menyabukkan bom di perut buah hati mereka sendiri. Bagaimana mungkin orang tua setega itu?

Belum tuntas rasa perih, luka ini seolah dikucuri jeruk nipis ketika membaca sejumlah orang mempertanyakan kebenaran teror bom Surabaya.

"Ya Allah, mengapa Islam difitnah lagi," ujarnya

Wait, jengah, tidak ada lho yang memfitnah Islam. Bahkan sejumlah orang berusaha meluruskan bahwa Islam yang benar tidak seperti itu. Seorang Ketum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengutuk peristiwa itu --bila kecaman dari petinggi NU tetap membuatmu bergeming, saya carikan yang lain. Lha kowe iku sopo? Bukankah lebih baik mengampanyekan tafsir Islam yang rahmattan lil alamin, bahwa Islam pembawa kedamaian, Islam yang rahman dan rahim.

Ada lagi seorang teman di facebook yang memasang youtube dengan giringan kalau keluarga pelaku pengeboman itu adalah kafir yang menyaru muslim. Berhubung tidak kenal dekat, seketika saya unfriend.

Bukankah sebelum mengunggah sebaiknya mencari informasi terlebih dahulu. Keluarga ini merupakan mantan 'mujahid' pendukung ISIS yang pulang kampung ke tanah air. Mereka telah mendapatkan pendidikan soal teror dan sistem sel. Jadi masih bilang ini bukan orang Islam meski tafsir soal jihad mereka yang salah. Para WNI alumni ISIS ini jumlahnya ratusan (Baca beritanya di sini: WNI Pendukung Isis). Mestinya ini yang kita waspadai dengan cara merapatkan shaf.

Jadi alih-alih mengutuki kegelapan, bukankah sebaiknya menyalakan lilin. Daripada merasa didholimi bukankah lebih baik menyebarkan Islam yang ramah untuk orang-orang di luar golongan kita, bukan justru sebaliknya.

Pada akhirnya, sayapun tak bisa memaksa orang mempunyai pemikiran yang sama soal ini. Tapi sebelum mencaci, lebih baik kita membuka hati.

#SuroboyoWani

No comments:

Post a Comment