Thursday, April 12, 2018

Kece Sejak Lahir?




Jumat pekan lalu, saya menghadiri pertemuan klub diskusi di bilangan Cikini. Salah seorang senior yang waktu itu belum hadir mengirim pesan, "Ada cicitnya Tirto Adi Suryo yang mau ikut,"

Spontan saya berujar, wah Tirto Adi Suryo, idola saya tuh. Saat itu, di ruangan hanya ada tiga orang, saya dan mbak senior, serta mas-mas yang saya lupa namanya setelah berkenalan. Penyakit ini saya alami juga saat bertemu pertama kali dengan suami, wajah dan nama sama sekali tak ingat.

Mas-mas di ruangan itu  enak banget diajak ngobrol. Informasi yang saya tampung, dia dosen filsafat budaya di UNUSIA. S1 nya di ISIP dan UIN, pernah kuliah juga di Sadra. Sedangkan S2 nya di FIB UI, satu almamater tapi beda fakultas dan tahun masuk keluar. Lulus SMA tahun 2004, setahun di atas saya.

Kami bercerita tentang seteru Filsafat UI dan Filsafat UGM. Dia juga bercerita tentang teman-temannya di Pascasarjana yang tak bisa membedakan mana cultural studies mana studies of cultural. Dan dia mengaku orang cultural studies.

Sebagai orang kontruktivis, ini tentu menarik mempelajari pola pikir orang. Saya sempat berseloroh ketika dia ngobrol dengan mahasiswanya. "Eh di sini ga ada posisi dosen dan mahasiswa ya, sama aja," katanya

"Iya, mas," jawab mahasiswanya.

"Kelihatan ya, mana yang dominan mana yang sub waktu kalian ngobrol," ujar saya.

Menjelang pukul 6 sore, saya pamit menuju kampus. Dalam perjalanan, senior saya japri di WA. "Ndari, itu yang ngobrol sama kamu tadi namanya Okky Tirto, cucunya Tirto Adi Suryo,"

Ya Tuhan, kenapa si masnya bermuka lempeng saat saya antusias bilang kalau ngefans sama Tirto Adi Suryo? Langsung saya jelajahi google untuk mengetahui sepak terjangnya. Selain dosen, ternyata dia aktivis dan mantan wartawan serta pernah melakukan advokasi ke beberapa kelompok. Nama lengkapnya pun ternyata masih terlihat "ndoronya".

Sejatinya, saya tak terlalu berkesan dengan keturunan aristokrat namun saya terkesan dari segi pemikirannya. Dan entah kenapa para orang-orang kece itu kebanyakan terlahir dari keluarga yang kece juga?

Seorang teman di Tempo berhasil menulis berita kriminal tentang kasus pembunuhan Raafi Aga Winasya Benjamin secara lengkap dan utuh mulai dari kronologis detik per detik penusukan sampai siapa sosok Raffi dan pihak yang menusuknya. Padahal waktu itu,  sang teman masih Calon Reporter. Kece bukan. Siapa dia? Ananda Badudu yang ketika ditelusuri ternyata adalah cucunya JS Badudu yang pakar bahasa itu.

Teman kuliah di Unair, waktu di kampus suka bisnis online shop dengan omzet yang lumayan sampai bisa foya-foya. Eh ternyata orang tuanya pebisnis sukses di kotanya.

Fenomena ini bukan satu-dua orang saya temui, tapi banyak banget. Istilahnya buah memang jatuh tak jauh dari pohonnya. Di sini saya percaya adanya faktor genetik yang membuat orang-orang itu kece dari lahir.

Ada satu yang penting, memang ada orang tua yang langsung beri modal nyoh duit nyoh nyoh kayak Bu Dendy tapi bukan berarti ke-kece-an mereka berasal  dari akses orang tua karena itu tak menjamin. Saya banyak menemukan orang tua kece tapi anak-anaknya biasa-biasa saja, malah ada yang underrate.

Kebanyakan kekecean mereka itu diturunkan dari pola pikir. Anak yang dibesarkan di lingkungan yang berpikiran terbuka, melihat orang tua menghasilkan karya baik benda terlihat atau pemikiran pasti akan terbiasa. Si anak belajar kebiasaan orang tuanya ini dari bayi lahir ceprot tanpa mereka sadari.

Misalnya Rain Chudori yang dibesarkan di ibu wartawan senior dan penulis novel pasti biasa dengan kegiatan menulis dan berdiskusi akhirnya dia menjadi penulis. Leila Chudori pun ternyata tak akan seperti sekarang bila bukan keturunan Muhammad Chudori, pendiri Jakarta Post.

Selain lingkungan yang membentuk juga akses. Dia akan terbiasa bertemu dengan teman-teman orang tuanya, yang otomatis teman orang tua menjadi teman mereka juga. Kalau pintar, di sini bisa memanfaatkan jaringan untuk mewujudkan 'mimpi-mimpi' mereka. Bukan KKN lho ya, tapi ini ngomongin trust.

Sisi ga enaknya, anak-anak yang punya orang tua kece adalah banyak orang SKSD biar bisa dikenalin ke orang tuanya. Dia juga harus siap bila orang lain membanding-bandingkan dengan orang tuanya. "Kok ga sekeren bapaknya ya?" Berusaha tidak menjadi bayang-bayang padahal dia tak mendapatkan jaminan bakal berhasil, jatuh bangun juga saat meraih mimpi. Ini curhatan teman yang bapaknya kece, untungnya dia juga kece.

Lantas bagaimana dengan kita yang terlahir bukan dari golongan aristokrat karena keturunan, kekayaan, atau pola pikir? Ya artinya kita harus kerja keras berkali-kali lipat dibandingkan mereka sudah kece dari lahir. Bila yang 'kece dari lahir itu' mengeluarkan usaha 10 untuk sampai titik itu, kita harus lebih dan lebih.

Menulis ini bukan maksud menyesal lahir dari keluarga biasa. Oh tidak, saya bersyukur dilahirkan dari orang tua yang bekerja keras sebagai identitas. Kerja keras dan ikhlas, nerima ing pandum. Tiga pekan yang lalu Bapak kecelakaan waktu nukang. Nadinya kena girindra sampai dibawa ke rumah sakit. Eh sepekan kemudian udah balik nukang lagi.

Saya baru tahu dua pekan setelah kejadian karena memang bapak menolak cerita biar ga kepikiran. "Emang duit pensiunan (PNS) kurang, kenapa dipaksain kerja lagi?" tanya saya.

"Engga, malah lebih. Kemarin baru beli motor cash. Mau utang tha? Tabunganku lho banyak," pamer.  Ih, menyebalkan.

Suami saya membela, "Biasa pensiunan, ga apa apa, nanti kalau kita tua juga bakal kayak gitu, cari kerjaan buat ngisi waktu."

Balik lagi ke unsur keturunan, kami sepakat untuk membangun diri sebagai orang yang kece meski tidak dari lahir. Kalau dari kekayaan dan kemahsyuran belum sampai, mungkin dari pemikiran terlebih dahulu. Berusaha menempa diri menjadi semakin baik. Banyak belajar, banyak bertemu dengan orang-orang baru, berdoa.

Kelak kalau Tuhan sudah menitipkan buah hati ke kami, saya harap mereka terlahir sebagai anak-anak yang kece dari lahir. Dari lahir, sudah keren. Amin.


Sumber foto: Lil Rascal

No comments:

Post a Comment