Sunday, January 15, 2017

Cadar Mbak Dian dan Fobia Atribut

Beberapa hari yang lalu, seorang teman berkunjung ke rumah. Di antara kudapan ala kadarnya, rumpi-rumpi cantik basa basi, saya bertanya bagaimana upayanya kemari menggunakan kereta commuter? Berkisahlah dia tentang kejadian selama perjalanan.


“Sebelah gue tadi cewek bercadar. Jadi sepanjang perjalanan bawaannya takut kalau-kalau dia bawa bom,”

Lu aja yang parno, jangan dikait-kaitin cadar sama teroris. Jangan Islamfobia lah,” jawab saya.

“Ga Islamfobia, gue cuma wahabi fobia,” kilahnya nyengir sambil membenarkan letak kerudung.

Fobia yang wajar, terlebih tempat dia tinggal hanya berjarak 10 kilo meter dari lokasi penangkapan Dian Yulia Novi di Bekasi. Mbak Dian yang wajahnya senantiasa ditutup cadar dituding sebagai “calon pengantin” peledakan bom panci yang konon daya ledaknya mencapai radius sekian ratus meter.

Teman saya semakin senewen, keinginan berlibur ke rumah saya di Bogor, malah mempertemukannya dengan seorang beratribut yang menakutinya, sebelahan lagi. Perjalanan Bekasi-Bogor yang seharusnya tak terlalu jauh membuat dia seperti sedang menempuh perjalanan Sleman-Banyuwangi.

Meski tak setuju dengan pendapatnya, cerita teman saya ini mengingatkan pengalaman empat tahun yang lalu.

Sewaktu masih menjadi wartawan di sebuah media massa nasional, saya meliput laporan jemaat Gereja Taman Yasmin, Bogor, yang mengadu ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia.

Di antara jemaat terdapat sejumlah anak kecil. Mereka beringsut ketakutan setelah melihat saya sembari memeluk orang dewasa di sebelahnya. Saya mengernyit, sebegitu mengerikankah wajah saya? Memang, saya tak secantik Raline Shah. Tapi kalau punya wajah mengerikan tidaklah, buktinya saya laku. Saya punya pacar, artinya wajah saya nggak creepy-creepy amat lah ya.

Perempuan dewasa di sebelah anak jemaat Gereja Taman Yasmin yang ketakutan itu lantas meminta maaf. Dia bercerita bahwa sejumlah anak memang mengalami ketakutan dengan atribut seperti kerudung, gamis, atau hal-hal yang mengingatkan mereka pada kekerasan pengusiran saat beribadah. Kebetulan yang mengusir mereka adalah laki-laki bersorban atau berkerudung bila perempuan.

Saya paham, kerudung saya membuat anak-anak jemaat Gereja Yasmin ketakutan. Dan tentu, saya perlu meminta maaf kepada jemaat GKI Yasmin atas kelakuan saudara seiman saya itu. Begitu pula dengan cadar yang dikenakan perempuan di kereta commuter teman saya tadi. Sungguhpun saya tak bermaksud jahat, begitu pula dengan perempuan bercadar mungkin tak bermaksud buruk dengan penumpang di seluruh kereta.

Atribut memang sering dikaitkan dengan penilaian terhadap orang lain, ia menimbulkan stigma tentang suatu hal. Meski stigma sendiri, kalau katanya Goffman, membuat individu kehilangan kepercayaan dan dapat menjadi suatu hal yang menakutkan. Jadi urusan stigma dan atribut berkelindan seperti bolah ruwet yang tak jelas ujungnya.

Saya termasuk yang paling kenyang dengan stigma-stigma buruk karena atribut yang disandang. Saya pernah dikira komunis gara-gara bergabung di GMNI —yang saat itu, melalui broadcast massal yang mengatasnamakan Kivlan Zen, sempat dituding sebagai penyaruan PKI baru dan perlu diberangus. Awalnya emosi, tapi setelah saya pikir dengan agak jernih, tak perlu lah berdebat dengan asu-asu itu.

Saat bekerja di Tempo, saya dituding anti-Islam, wartawan media kafir, karena waktu itu Tempo gencar memberitakan petinggi salah satu partai berbasis agama yang tersangkut kasus korupsi. Untuk yang soal ini abaikan saja. Tak apalah mereka menuduh kafir. Toh kalaupun saya kafir, saya tinggal baca syahadat lagi.

Tapi bila menyangkut kelajangan, saya wajib protes keras hingga pelaku minta maaf. Seorang narasumber bertanya di sela-sela wawancara apakah saya sudah menikah. Jawaban saya belum waktu itu.

“Pantas ya, Tempo sering nyinyir sama kita, ternyata wartawannya belum menikah. Apa perlu kami kirimkan ikhwan-ikhwan untuk menikahi para jurnalis perempuan di Tempo,” tanyanya.

Sekilas memang seperti bercanda tapi ini adalah pelecehan. Tak ada hubungan kekritisan dan kenyinyiran dengan status pernikahan seseorang. Agus Mulyadi atau Puthut EA, kekritisan mereka tak ada hubungannya dengan statusnya yang sudah nikah atau belum. Sakit hati hayati, Bang. Lebih sakit daripada ditinggal selingkuh mantan.

Setelah mau menikah, saya sempat dianggap kurang beragama oleh sebagian calon keluarga karena dukung Jokowi di Pemilu 2014. Sia-sia sudah ngaji kitab kuning waktu remaja. Semua ilmu akan musnah ketika saya memilih Jokowi. Begitu kesimpulannya.

Rentetan stigma yang disematkan seharusnya memang tidak membuat kita memperlakukan hal yang sama kepada orang yang berbeda. Betapa tidak enaknya dianggap buruk orang lain semestinya tak membuat kita memperlakukan hal yang sama.

Itulah kenapa saya selalu berkeyakinan bahwa tak perlu lah kelompok pengguna cadar menilai buruk pemakai rok mini, begitu pula sebaliknya. Tak enaklah kelompok yang dituding liberalis menuding balik dengan sebutan wahabis. Kalau kau murka dianggap aksi 212 berbayar, kenapa kau tuduh 412 begitu juga? Jika anggapan ibu pekerja tak peduli anak membuatmu kesal, lantas mengapa kau tuding ibu yang hanya di rumah sebagai perempuan suka ngerumpi? Berlaku adilah sejak dalam pikiran. Tak ada hujjah yang tepat untuk membenarkan perilaku deskriminasi kita.

Sungguh tak patut kita menerka-nerka orang lain hanya dari atributnya saja. Robert Langdon di Lost Symbols bahkan menyadarkan mahasiswanya bahwa ritual kelompok freemason pada titik tertentu sama mengerikannya dengan upacara agama atau kepercayaan lainnya.

Open your minds, my friends. We all fear what we do not understand.

----
Tulisan ini pernah diterbitkan di  Mojok Dot Co
Sumber foto: Huffpost.com

Wednesday, January 11, 2017

Bakmi Mewah Vs Indomie Real Meat, Siapa yang Menang?

Saya jarang sekali makan mie instan dengan alasan menghindari. Dalam sebulan, paling sekali makan mie andalan kos-kosan itu.

Makan mie biasanya karena coba-coba kalau ada varian baru. Rasa rendang, dendeng balado, soto lamongan, kira-kira semirip aslinya tidak ya. Enak, tapi ternyata tetap saja lebih nikmat yang asli.

Nah, sampai suatu ketika saya tergelitik dengan iklan Bakmi Mewah dari Mayora yang kelihatannya porsi besar ditambah toping daging ayam asli di atasnya. Indi Barends berhasil mempengaruhi saya.

Sampai di minimarket terdekat, saya juga menemukan kompetitor bakmi mewah yaitu Indomie Real Meat. Keduanya sama-sama mengandalkan daging asli.


"Pasti Indomie ngeluarin varian ini untuk menghadang penetrasi Bakmi Mewah," pikir saya waktu itu. Baiklah kita coba keduanya dan bandingkan. Berhubung Indomie Real Meat ada dua jenis, rendang dan ayam jamur, saya pilih yang terakhir untuk membandingkan dengan Bakmi Mewah.

1. Harga
Dari segi nominal rupiah, Bakmi Mewah lebih murah dibanding Indomie Real Meat. Bedanya cuma gopek, alias Rp 500. Dibanding dengan mie instan biasa, harganya 3-4 kali lebih mahal.

2. Kemasan
Namanya juga kompetitor, bungkusnya dibuat sama-sama dari kotak kertas. Kedua kemasan menggambarkan mie lengkap, kelihatannya enak dan besar.

3.Porsi
Berat Bakmi Mewah dan Indomie Real Meat sama-sama 110 gram. Ukurannya kelihatan lebih besar dibanding indomie atau mie instan normal yang sekitar 85 gram.

Tapi percayalah, Bakmi Mewah dan Indomie Real Meat sama-sama tak kenyang dimakan. Entah mengapa, saya lebih kenyang makan mie instan biasa campur telur ceplok dibanding dua varian yang diklaim lengkap itu.

4. Kelengkapan Mie
Berhubung keduanya menjual ide tambahan daging asli, tentu saja ada dagingnya. Dagingnya sedikit lebih banyak Bakmi Mewah. Keduanya sama-sama ada minyaknya, bumbu, bubuk cabe, dan sayuran kering yang saya duga cacahan seledri dan daun bawang. Sayuran dari kedua merek itu jelas tak segar.

5. Rasa
Nah ini yang ditunggu. Rasa Bakmi Mewah otentik, saus tiramnya terasa. Tapi kayak nanggung, kurang bawang dan bawang putih. Ditambah lada sedikit, mungkin rasanya lebih enak.

Sementara Indomie Real Meat, rasanya khas seperti mie instan dengan merek yang sama lainnya hanya ada tambahan daging ayam (atau rendang kalau jenisnya rendang). Bagaimana ya menjelaskannya? Saya bingung.

Begini, setiap kali makan Indomie varian apapun entah itu mie keriting goreng spesial yang katanya terenak di dunia, mie goreng spesial yang selalu menduduki puncak penjualan, mie kare yang masih kalah dengan milik Mie Sedap, rasa Indomie mempunyai benang merah. Nah itu yang saya rasakan ketika mencicipi Indomie Real Meat. Rasa dan aroma khas Indomie.

Daging ayam dan jamur dari keduanya dicacah kecil. Dagingnya sama-sama empuk. Jamur dan daging bisa menyerap bumbu dan minyak pelengkap.

Enak mana? Tergantung selera. Suami saya menyebut Indomie Real Meat lebih enak dibanding Bakmi Mewah. Sedangkan saya sebaliknya.


Setelah membandingkan kedua jenis mie instan dengan daging lengkap, mana yang akan saya beli kembali? Tidak ada. Karena porsinya nanggung dan harganya tak menjamin rasa.

Mending mie ayam bakso dekat rumah, Rp 12.000 sudah kenyang dan enak. By the way, maaf tidak menyertakan foto. Saya sudah mencoba dua mie ini Desember lalu dan tidak kepikiran difoto.**

Sumber foto: dari produsen masing-masing

Monday, January 9, 2017

Anggaran Makan Dua Orang Sehari Kurang Rp 20.000, Bisa?

Teman-teman sering berjengit ketika saya bercerita rata-rata biaya makan kami, saya dan suami, sehari bisa kurang dari Rp 20.000. "Emang bisa?" Tinggal di Bogor, bekerja di Jakarta tapi dengan pengeluaran yang setara dengan sekali makan di Jakarta?


Bisa, kalau kami disiplin masak. Sayangnya, disiplin masak itu membutuhkan effort yang luar biasa dan kerja tim yang solid. Beneran, ini tak berlebihan.


Baiklah, akan saya rinci bagaimana mulanya melakukan penghematan untuk kebutuhan perut. Setiap bulan, pekan pertama setelah gajian, kami selalu pergi ke supermarket langganan yang ada tagline "Wholesale".  Selain karena konsepnya ga pakai tas kresek setelah dihitung di kasir, alasan lain memilih karena harganya lebih miring dibanding retail modern lainnya.

Soal makanan, belanja bulanan yang selalu ada adalah beras 5 kg, telur 2 kg, bakso 500 gram, garam, gula 1 kg, kecap manis dan kecap tiram, sirup bubuk, kopi, minyak goreng kelapa 2 liter (kami sudah menghindari beli minyak sawit sejak Maret 2016 dengan alasan ekologi) dan teh. Ditambah dengan sabun, detergen, pembersih lantai, odol, toilet, kapur barus, shampo, sabun cuci, perlengkapan pribadi kayak deodorant, handbody, parfum dan tetek bengek lainnya. Total jenderal bulanan kami maksimal Rp 400 ribuan, paling sering Rp 300 ribuan. Kunci hematnya adalah #1 pilih ukuran besar jadi tiap bulan tak harus beli baru lagi.

Artinya, anggaran Rp 20.000 per hari itu di luar yang sudah saya beli di supermarket tadi. Jadi lebih mudah kan ngaturnya.

Selanjutnya, untuk sayur dan lauk lain, belilah di pasar tradisional atau warung sayuran karena harganya lebih murah. Beli di sini bukan berarti saya bisa nawar--silakan karena nawar itu tak dosa-- tapi kita bisa kenalan sama penjualnya sekaligus mengusung ekonomi kerakyatan.

Saya paling ga bisa kalau harus cincai cincai nawar bawang, kangkung, cabe, dan sayuran lain ke pedagang. Kalau ternyata harganya lebih tinggi daripada pasaran, dada bye bye, besok-besok saya ga akan beli lagi di situ. Artinya tips #2, belilah sayur di pasar/warung tradisional.

Sering kali saya tak sampai habis Rp 10.000 saat beli  bahan makanan di warung langganan. Misalnya mau bikin sayur bening bayam + ikan tongkol fillet, hanya menghabiskan Rp 7000 saja. Sop+lauk tempe, paling cuma Rp 10.000 saja. Dan ini bisa dimakan berdua.

Anda tahu, toge seperempat kilo hanya 2000, itupun bisa dipakai dua hari dengan menu yang berbeda. Daun bawang Rp 2000 itu sudah cukup untuk campuran goreng telur dadar tiga hari berturut-turut kalau ga bosan.

Tips #3, ada bumbu yang dibeli pakai ukuran. Saya rutin beli bawang putih dan bawang merah 1/4 kg per transasksi. Itu pun dua pekan kadang masih sisa. Cabe merah dan cabe rawit masing-masing 2 ons. Sering telah menjadi kering karena terlalu lama.

Membeli eceran dengan menyebut nominal rupiahnya, jatuhnya akan lebih mahal. "Bawang Rp 5000 saja," dapatnya cuma seuprit, kadang hanya cukup sekali masak.

Satu lagi, soal bumbu, faktor membuat saya bisa irit adalah karena kemurahan hati kerabat dan Tuhan. Kami sering mendapatkan kiriman bawang merah dan bawang putih dari kampung. Kadang juga dapat merica bubuk, sambal pecel, kemiri, empon-empon. Saking banyaknya, sudah tiga bulan berlalu belum habis dan terpaksa ditanam karena keluar tunas.

Kami juga pernah mengalami panen cabe rawit yang pohonya cuma sebiji. Sehari bisa belasan sampai akhirnya memutuskan dibagi ke tetangga sebelah. Kalau bukan kemurahan Tuhan, apa coba? Alhamdulilah. (Tapi mengapa ya pas cabe mahal, itu pohon sudah mati? yeiks).

Tips #4 jangan beli bahan makanan yang lagi mahal. Seperti sekarang, cabe lagi mahal, ya jangan beli cabe. Di pasar ada banyak bahan makanan yang lebih murah, pandai-pandai milih deh.

Tips #5, disipilin masak. Seperti yang saya bicarakan di awal, ini butuh tekad baja yang luar biasa dan kerja super tim kami sebagai suami istri. Di rumah, kami hanya punya waktu pukul 20.00-07.00 per hari kerja. Itu belum dikurangi makan, tidur, dan lain sebagainya.

Kapan masaknya? Ada waktunya, nonton TV sambil tangan gerak. Biasanya, saya sengaja memilih menu yang gampang diolah dan cepat. Apa itu? sejenis tumis-tumisan, sop, sayur bening, penyetan, dan semacamnya.

Untuk bekal makan siang keesokan harinya, saya sudah siapkan di malam hari. Paginya, tinggal masak nasi dan cuci piring selama suami mandi. Gantian saat saya mandi, suami yang meneruskan masak. Jadi bersyukurlah kalau mendapatkan pasangan yang ga malu bawa bekal plus suka masak.

Sehari, kami cuma makan dua kali, siang dan malam. Sarapan, biasanya kami ganti buah. Soal buah, pintar-pintar juga cari di pasar. Indonesia mengenal musim buah setiap bulan, beli yang selagi murah.

Apakah cara itu membuat kami kelaparan? Tidak. Buktinya jarum timbangan kami terus bergerak ke kanan. Duh.

Nah, masalah terbesar anggaran melebihi budget adalah ketika kami malas masak. Itu, namanya keuangan sudah tidak karuan, susah dikendalikan. Seporsi nasi uduk ayam goreng lalapan di pinggir jalan saja sudah seharga Rp 15.000 paling murah. Warteg dengan menu ala kadarnya sekitar Rp 10.000 per porsi, setara dengan pengeluaran makan sehari.

Begitu cerita ga penting, ga jelas, seputar anggaran makan sehari-hari. Kalau ada permintaan cara mengatur anggaran bulanan, kapan-kapan akan saya share. Semoga bermanfaat.**

Sumber foto: Shutterstock