Friday, June 17, 2016

Sundari, Jangan Rendah Diri



Bapak telah pulang dari Kantor Dinas Kependudukan Kota Kediri seusai mendaftarkan kelahiran putrinya.

Sesampai di rumah, belum selesai melepas semua kancing baju, Ibu bertanya, "Bapak kasih nama apa?"

"Sundari," jawab Bapak.

"Oalah Pak, kok ga pakai nama yang aku usulkan," Ibu geram.

"Simbok yang nyuruh," kilah Bapak.

"Kasihan, anak lahir di tahun 80-an tapi kok dikasih nama tahun 60-an," sesal Ibu. Nama anak pertamanya, ia

juga harus mengalah dengan mertua. Sekarang anak kedua, Ibu juga tak kuasa.

Ibu khawatir, nama yang terlampau singkat dan klasik, kalau tak boleh dikata kuno, akan membuat putrinya

rendah diri. Padahal dia sudah menyiapkan sebuah nama. Terdiri dari tiga suku kata. Biarlah dia akan

menceritakan kepada  Ndari saat protes nanti.

Iya, Sundari. Ini kisah nama saya. Awalnya tak pernah minder, namun tanggapan orang mengenai nama Sundari membuat hati saya jatuh ke bawah. Akhirnya, protes terselubung kepada Ibu. Berceritalah tentang orang-orang memandang nama saya.

Salah satunya, respon guru Bahasa Indonesia kelas 1 SMA. Guru yang juga mahir Bahasa Jerman itu spontan mengatakan nama saya terlalu jadul. "Saya tidak akan pernah memberi nama anak dengan nama yang tak sesuai tahun kelahirannya. Anak saya lahir tahun 90-an, masak saya kasih yang tahun 80-an, apalagi 70-an," ujarnya.

Saya langsung mencelos, tak bisa berkata, hanya memandang anting-anting panjang guru Bahasa Indonesia yang berayun saat bicara. Itu pertama kali saya malu dengan nama Sundari. Sebelumnya, saya sandang dengan percaya diri.

Menginjak kuliah, ada di suatu titik periode yang terlihat cantik dibandingkan masa yang lain. Mengikuti banyak organisasi dan aktivitas, berujuang memiliki teman lintas universitas dan kota bahkan provinsi. "Cantik-cantik kok namanya Sundari," kata seorang teman baru. Saya kembali tersentak.

Belum lagi ketika menyebut nama, olok-olok kembali mendera. "Sun... Sun... Sun dong...," gurauan mereka. Saya tertawa, mungkin maksud teman-teman hanya bercanda. Tapi jujur, saya merasa dilecehkan. Apalagi saat yang mengucapkan seperti itu adalah lawan jenis.

Semua cerita itu saya ulang ke ibu saya. Tak tahu yang berkecamuk di pikirannya, Ibu meminta maaf karena tak pernah bisa membela putri tunggalnya saat penentuan nama. Ibu menuturkan sejarah dan sebuah nama yang pernah dia buat. Tiga suku kata, kata terakhir persis panggilan saya "Ndari".

Kisah ibu melegakan tapi tak menyembuhkan. Hingga suatu titik saya memilih mengambil sudut pandang lain. Nama Sundari bukanlah suatu yang buruk. Mempunyai nama Sundari membuat saya mudah dikenal dan diingat orang. Ini penting menyangkut kiprah saya ke depannya nanti.

Nama Sundari, minim membuat kesalahan nama. Mungkin, nama mempunyai andil kesuksesan ikut pelbagai ujian masuk.

Ternyata saya juga tak sendiri. Seorang teman, dengan letting setahun di bawah juga pernah mengeluh. "Aku juga pernah digituin, Mbak, masak cantik-cantik namanya Endang." Memang dia cantik dan menggemaskan sih, beda dengan saya.

Namun setidaknya, perasaan senasib akhirnya saling menguatkan. Saya tak sendirian. Tak jadi soal siapapun namamu, terpenting adalah baktimu. Jangan biarkan pandangan orang menyakitimu. Andalah yang menentukan kadar kebahagiaan.


Suatu ketika, seorang senior berbagi foto di WA. Gambar sebuah jalan setapak di tengah hutan dengan kerlip cahaya. Indah,  Sundari adalah bahasa sansekerta dari cantik. Dan, saya pun tersenyum. Terimakasih.

Sumber Gambar: blog.8.share.com

No comments:

Post a Comment