Tuesday, November 1, 2016

Cerpen: TAK ADA KOPI UNTUK BAPAK

Dua pagi terakhir ini, tak ada kopi untuk Bapak. Emak tetap menjerang air namun tanpa gula, tiada bubuk kopi.  Ekonomi keluarga semakin terpuruk membuat Emak berhati-hati membelanjakan uang. Lebih baik membeli beras dan biaya sekolah daripada kopi. Bapak mengalah.

Padahal, sejatinya secangkir kopi bagi Bapak setiap pagi lebih dari sekadar minuman. Mencium aromanya dan menyecap rasanya mampu menumbuhkan optimisme  sang tulang punggung keluarga. Kopi membuat Bapak semangat berangkat menguli, memanggul semen, menimbun pasir seraya berharap ada uang untuk esok hari. Tapi tak apalah, pikir Bapak, esok, siapa tahu ada rezeki membeli kopi.

Jangan  kira, kopi yang diinginkan Bapak seperti yang dinikmati di cafe, atau franchise multinasional ternama. Secangkir kopi yang harga termurahnya lebih mahal dibanding telur sekilo. Tidak, kopi yang biasa bapak minum  dibeli curah di pasara. Emak menyangrainya di atas wajan dengan campuran beras atau jagung kering agar hasilnya lebih banyak.

Disangrai sampai menghitam di atas kompor kayu yang menghasilkan asap, membuat mata pedas. Setelah hitam, susah payah Emak menggunakan alu dan lumping untuk menumbuk. Tak halus memang dibandingkan menggunakan  mesin penggiling tapi rasanya lebih kuat dan setidaknya tak mengeluarkan uang lagi.

Kini, uang membeli kopi tiada lagi. Semenjak Emak tak bisa lagi jadi buruh tani, keuangan keluarga kian sulit. Pembangunan  perumahan tapak dan susun telah menggusur sawah-sawah di desa. Perempuan tabah  itu kini menganggur. Praktis, hanya mengandalkan penghasilan Bapak dari menguli. Bapak menjadi tukang bangunan di apartemen baru yang tak pernah sanggup mereka beli.

Tak mengapa. Emak sudah cukup bersyukur meski  tinggal di rumah berdinding bambu dan lantai dari campuran pasir dan semen, setidaknya mereka bisa berteduh.  Cita-citanya sederhana, punya warung kecil di depan rumah. Tempat menjual kopi, gorengan, dan indomie rebus. Membantu suami mencari nafkah sembari momong si bungsu yang baru gemar berjalan.

Emak meletakkan segelas air hangat di meja depan Bapak.

“Pak,” panggil Emak.

Bapak menoleh. Dia sudah menerka istrinya pasti akan meminta sesuatu, permintaan sama seperti kemarin.

“Tole, sudah ndak mau sekolah. Kemarin masih bisa Emak bujuk, tapi sekarang tidak,” lanjut Emak.

 “Masih soal sepatu?” tanya Bapak.

“Iya, katanya malu diejek. Sepatunya jebol sampai kelihatan jempol,”

Bapak menghela nafas. Disruputnya segelas air hangat perlahan. Air mengalir dari rongga mulut hingga ke perut, tapi rasanya tak cukup melegakan, pikirannya semakin buntu. Berbeda saat menikmati kopi, pahitnya justru meringankan beban. Mungkin kalau yang dia cecap saat ini adalah  kopi, otaknya mungkin akan menghasilkan solusi.

Si sulung sebenarnya bukanlah anak yang penuntut.  Masih kelas empat SD, tapi sangat pengertian. Sepulang sekolah, anak pertamanya hampir tak pernah bermain.  Lekas membantu ibu, dia mengumpulkan kayu untuk memasak. Badannya kurus tapi gempal karena terbiasa membawa beban. Kaki kapalan hingga duri tak bisa melukai lagi. Kadang, sulungnya itu membantu mencari rumput pakan kambing tetangga. Tak dipakai jajan, uangnya malah diserahkan ke orang tua.

Bapak menyesal. Semestinya uang itu tak pernah dia gunakan sebagai tambahan belanja beli beras, lauk pauk, kadang bayar listrik. Jerih payah  merumput itu semestinya ditabung untuk beli sepatu baru. Seharusnya, dia bisa menghemat lebih keras lagi dengan upah  nguli lima puluh ribu sehari. Bapak sudah lama tak merokok, kopi juga sudah tak rutin dibeli. Kini, pengeluaran apalagi yang harus direduksi?

Ditandaskan segelas air hangat. “Doakan , semoga hari ini ada rezeki lebih, entah dari mana,” pukul tujuh pagi, Bapak segera bergegas.

Emak mengangguk. Diciumnya tangan suami takzim. Guratan kasar di telapak menunjukan lelakinya seorang pekerja keras, hanya saja mungkin kurang beruntung.

“Hati-hati,” jawabnya saat  melihat suami beranjak pergi.

***

Sepanjang jalan, pikiran Bapak tak pernah berhenti mencari solusi. Bagaimana cara mendapatkan uang halal? Dia tak ingin mencuri, apalagi mengambil yang bukan haknya. Bapak masih punya harga diri.

Ada satu cara memperoleh uang lebih. Beberapa hari yang lalu, Mandor menawarinya tugas baru memasang  plafon di ballroom apartemen. Selama ini, dia hanya betugas mengangkut semen, pasir, dan membuat adonan adukan beton dengan  mesin  molen. Saat awal bekerja, Bapak meminta kompensasi tidak disuruh memanjat. Bukan karena malas, dia takut ketinggian. Orang menyebutnya fobia.

Kemarin, salah satu  kuli bagian  plafon  mengundurkan diri, belum ada ganti. Bapak bertekad menerima tawaran  Mandor. Upahnya lumayan, dua kali gajinya yang sekarang. Bapak masih takut ketinggian. Tapi bayangan sepatu untuk si sulung, modal warung istri, dan mencecap secangkir kopi setiap pagi menepis segala keraguan.

Dengan mantap, Bapak menghadap Mandor. Diutarakan keinginannya. Dia bersedia di posisi baru.

“Kapan kamu siap?” tanya Mandor.

“Hari ini juga, Pak,” jawab Bapak.mantap.

Mandor menunjukan tugas-tugas yang harus dikerjakan.  Ballroom mempunyai  tinggi tujuh meter. Tugas Bapak membantu tukang utama memasang rangka plafon yang terbuat dari baja ringan. Para pekerja plafon harus bekerja dengan teliti dan presisi. Keliru sedikit, plafon tak terpasang rapi.

Bapak takut salah. Rasanya, perlu minuman yang membuatnya berkonsentrasi. Membayangkan secangkir kopi, dia menelan ludahnya sendiri.

Pekerjaan dimulai. Langit-langit yang akan dipasang plafon telah dibersihkan. Penggantung plafon sudah dipasang. Perlahan, Bapak mulai naik di atas stager. Rangka plafon akan dipasang  ke tiang penggantung.

Bapak tak sendiri, tugasnya pun menunggu arahan temannya yang lebih ahli. Sementara yang lain memasang rangka, Bapak sekadar memegang agar tak goyah. Namun, Bapak gugup setengah mati. Jantungnya berdebar, baru kali ini dia berdiri setinggi ini. Keringat dingin mulai mengucur.

“Jangan lihat bawah, jangan lihat,” Bapak mensugesti dirinya sendiri.  Tangannya mulai gemetar. Dia teguhkan hatinya, tenangkan pikirannya.

“Argh,” tiba-tiba teman kerjanya berteriak. Belum sempat Bapak mencerna, tangannya tersengat listrik entah berapa besar arusnya. Dia hilang keseimbangan, kesadaran semakin lama kian berkurang. Suara keributan sayup-sayup mulai menghilang, yang ada tinggal kesunyian.

***

“Kami tak menyangka langit-langit bakal plafon belum benar-benar bersih. Suami ibu dan lima rekan lainnya terkena aliran listrik yang bocor. Listrik mengenai setelan kuda-kuda yang dipakai untuk memasang rangka plafon ballroom.Kemudian terjatuh  dari ketinggian enam meter,” kata Mandor menjelaskan.
   
“Ini mohon diterima. Besarnya memang tak bisa pernah mengganti kehadirannya suami Ibu. Semoga bisa membantu,” lanjut Mandor sembari menyerahkan uang dalam amplop.

Emak  terdiam. Matanya nanar memandang suaminya yang telah dimandikan dan terbungkus kain kafan putih. Uang sepuluh juta pemberian perusahaan kontraktor tempat Bapak bekerja memang bisa digunakan untuk membeli sepatu sulungnya, bahkan cukup sebagai modal usaha warung. Tapi bagaimana Emak sanggup mengarungi hidup dan membesarkan dua anak tanpa Bapak. Sandaran hatinya telah pergi. Air mata kembali mengairi  pipi Emak.


“Silahkan diminum,” suara kerabat memecah keheningan. Tiga cangkir kopi disajikan untuk Mandor dan dua tamu  laiinya. Secangkir kopi, minuman kegemaran suami Emak. Dan kini, Bapak tak lagi bisa menikmati kopi.***

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO danNulisbuku.com


10 comments:

  1. bagus mba,dari sebuah kopi bisa membangun empati kehidupan sekitar yang belum tentu bisa menikmati secangkir kopi.Secangkir kopi bukan sekedar minuman, tapi di dalamnya ada ketenangan, kerinduan, kasih sayang, semangat, optimis, dan keyakinan

    ReplyDelete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  3. ini tulisan calon juara

    saya penikmat kopi dan saya juga pekerja bangunan, membaca tulisan ini jadi berasa deket dengan keseharian saya dan temen temen... tks

    ReplyDelete
  4. ini tulisan calon juara

    saya penikmat kopi dan saya juga pekerja bangunan, membaca tulisan ini jadi berasa deket dengan keseharian saya dan temen temen... tks

    ReplyDelete
  5. Mengalir, enak dibaca n menyentuh.. saya yakin juara. sukses Mbak Ndari...

    ReplyDelete