Monday, June 27, 2016

Mukena yang Tak Pernah Terbeli untuk Diri Sendiri *)

Biasanya berwarna putih. Mayoritas muslimat Indonesia menggunakannya sewaktu beribadah. Ada yang menjelujur dari atas ke bawah. Ada juga yang terdiri dari dua bagian, atas dan bawah. Hanya seraut muka yang ditampakkan bermeter-meter jahitan kain ini. Bordiran, sulaman pita, lukisan tangan, atau bunga-bunga cetak printing menambah cantik penampilannya. Ya, dialah mukena.

Mukena dipakai setiap hari. Namun, ramai dibeli menjelang Bulan Ramadhan dan Idul Fitri. Mayoritas muslimat pernah membelinya, tetapi tidak bagi saya. Dari kecil  sampai detik ini, saya tak pernah membeli mukena untuk diri sendiri, selalu hadiah dari kerabat atau teman.

Mukena pertama, saya peroleh sewaktu balita. Ibu menjahit sendiri. Bentuknya sederhana. Hanya dari sehelai kain putih dengan ujung bawah dan bagian kepala diberi renda. Hanya atasan saja, tetapi panjangnya sampai menyapu lantai.

Beranjak Kelas 3 Sekolah Dasar, mukena itu tak mampu menutupi semua kaki. Tubuh kian memanjang, akhirnya ibu membuat bawahan dari kain sarung bekas kakak laki-laki. Warnanya hijau daun, dengan motif batik di atasnya. Mukena putih dan sarung hijau saya pakai hingga awal SMP.

Menginjak SMP, sepupu menghadiahkan sebuah mukena menjelang hari raya. Warnanya putih, seluruh atasan dan bawahan dilapisi brokat putih dan dihiasi renda serta pita. Biasanya, saya menggunakan mukena ini saat bepergian . Sedangkan di rumah, selalu berbagi dengan mukena ibu. Hingga sekarang, masih saya pakai di rumah orang tua.

Mukena cantik ini menjadi perlengkapan sehari-hari sampai kuliah. Dia memperoleh teman pengganti untuk bepergian ketika 6 Oktober 2007. Saya ingat sekali tanggal itu, karena birthday surprise dari senior-senior di GMNI Fisip Unair berujung sekotak kado berisi mukena. Tak dilupakan, setelah dini hari sampai subuh dikerjain, mulai amukan sampai godaan membawa emosi, hingga guyuran air kembang menjelang sahur.

Kado dari mas-mas dan mbak-mbak ketemu besar saya pakai dan bawa sampai ke Jakarta. Bentuk mukena berbahan parasut tapi bukan seperti biasa. Kain parasutnya sangat lembut dan ringan dibanding yang dijual di pasar-pasar. Dihiasai sulaman benang berwarna merah muda berbentuk bunga.

Mukena ini sudah saya bawa ke mana-mana. Tak hanya di Jakarta, tetapi di pelosok Indonesia ketika meliput pelbagai berita. Sedihnya, mukena ini hilang tertukar ketika dilaundry. Berganti mukena butut dengan karet pinggang yang sudah melar. Kecewa ke jasa laundry percuma, mukena hadiah tak pernah kembali. Peristiwa ini terjadi di tahun 2013.

Sedih kehilangan mukena yang penuh dengan cerita menyenangkan, saya akhirnya memosting di media sosial. Hingga seorang Humas Kementerian Tenaga Kerja   menghubungi. Dia bercerita, istrinya bagi-bagi mukena menjelang puasa, apakah saya mau menerima? Ya, dengan senang hati saya terima.

Esoknya, saya ke Kementerian Tenaga Kerja dengan membawa buku anak-anak. Rasanya kurang afdhol menerima tanpa memberi. Akhinya, saya mempunyai mukena bali untuk kali pertama. Motifnya, bunga anggrek unggu yang menyebar di kain atasan dan bawahan.

Tak diduga, seorang Tenaga Ahli Legislator RI juga memberi mukena. Rupa mukena itu, bawahannya batik berwarna coklat dengan atasan kain putih direndai kain batik senada. Praktis, mukena bali dan mukena batik saya gunakan pergantian hingga sekarang.

Mukena selanjutnya, saya peroleh dari suami. Masih berwarna putih, mukena bali dengan motif yang dilukis tangan. Sampai sekarang, mukena mas kawin pernikahan ini belum pernah saya pakai.

Mukena yang saya pakai keluar rumah malah berasal dari saudara suami sebagai kado pernikahan. Berbahan katun dengan motif batik kawung coklat untuk bawahan, sementara atasan putih direndai batik yang sama. Mukena batik ini, Insya Allah akan saya gunakan salat Idul Fitri 2016.

Apakah tahun depan saya akan membeli mukena untuk diri sendiri? Entahlah, saya tidak tahu. Masih ada dua mukena yang belum pernah saya pakai selain pemberian suami. Dua mukena itu pemberian dari Ibu Mertua. Mukena pertama berbentuk lurusan, model kesukaan almarhum ibu kandung dan ibu mertua. Mukena terusan itu diberikan karena khawatir saya menampakan tangan bagian dalam waktu salat.

Memang tak semua dapat menggunakan mukena dua bagian dengan benar. Tapi tentu saya tahu triknya. Setelah melihat bagaimana salat, Ibu Mertua memberi mukena dua bagian. Benar lho, saya seolah dites apakah cara solat  benar atau salah, sudah tumakninah atau belum, bagaimana posisi sujudnya.  Kekhawatiran beliau tak terbukti. Alhamdulilah tak ada yang perlu dikoreksi.

Justru saya kesulitan memakai mukena terusan karena kepala serasa dijambak ke belakang. Agar kaki tak kelihatan, saya selalu menginjak bagian belakang bawahan kuat-kuat. Jadi bukannya alergi, mukena terusan memang tak cocok untuk saya. Tiga mukena ini mungkin bisa membuat saya tak perlu membeli baru hingga sepuluh tahun.

Bagi saya, mukena pemberian orang itu lebih indah dan tak ternilai dibandingkan yang pernah saya jual atau beli untuk orang lain. Saya percaya, ketika kita membelikan hadiah untuk orang lain, sejatinya hati yang kita beri.

Di jahitan mukena pertama, ada cinta dan kasih dari Ibu saya. Di mukena dari teman-teman, ada perhatian dan sayang dari mereka. Di mukena dari suami, ada tanggung jawab untuk meluruskan urusan ibadah saya. Mukena dari Ibu Mertua, ada perhatian yang mungkin tak didapatkan oleh semua menantu di dunia ini. Dan di sebuah kain yang bernama mukena, ada bahagia yang saya dapatkan.



*) Gambar Mukena Menyusul

Friday, June 24, 2016

Parsel Indomie dan Kreativitas Tiada Henti


Pernah bekerja di Tempo memang menyisakan sejuta kenangan manis, asam, asin.  Saya akui, Tempo sangat memahami pekerjanya ketika saat Bulan Puasa dan Lebaran.  Di luar nasi kotak rutin, jajanan pasar dan kolak/dawet/es buah/biji salak selalu tersaji di meja redaksi selama puasa. Tak hanya itu, THR diberi di pekan pertama bulan Ramadhan plus ditambah hammpers alias parsel.

Saya ingat, parsel yang diberi Tempo setiap tahun mirip, dan cenderung sama. Isinya satu kaleng Wafer Tango, sebotol sirup, dan Indomie satu kardus. Sebotol sirup warna merah yang saya lupa mereknya itu selalu saya hibahkan ke orang. Bukan karena baik, tapi saya kurang suka dengan segala yang namanya sirup kecuali Nutrisari.

Ngomong-ngomong tentang Indomie satu kardus, saya akui ini ransum berguna selama puasa (dan sisanya untuk hari biasa). Satu kardus isi 40 bungkus. Saya jarang berbagi dengan teman kos, lhawong banyak orang Tempo. Indomie satu kardus yang diterima semua karyawan Tempo mempunyai rasa yang sama. Alih-alih berbagi, mungkin kami akan saling lempar.

Saya bersyukur mendapatkan Indomie satu kardus, tapi sekaligus pusing. Bagaimana caranya agar saya tidak lekas bosan dengan 40 bungkus Indomie dengan rasa yang sama? Sedikit keberuntungan kalau Indomie yang diterima rasa ayam bawang. Jenis ini mempunyai rasa yang cenderung plain dan cocok dengan tambahan apa saja.

Di bawah ini berbagai bahan yang bisa ditambahkan dengan semangkuk Indomie rasa ayam bawang:

1. Bon Cabe di Dalam Mie
Penyuka pedas bisa menggunakan campuran ini. Lebih nikmat bila ditambah dengan sayuran dan lauk lain. Caranya, cukup taburkan saja di semangkok Indomie anda.

2. Mie rebus ala kantin kampus
Nah, cara ini lazim digunakan di warung-warung. Saya pertama kali menjumpai metode ini di Bu Dalno, pemilik kantin FISIP Unair. Caranya, mie direbus dengan campuran sawi dan ceplokan telur. Rasa telur yang bercampur dengan kuah  menambah cita rasa.

3. Mie rebus jadi mie goreng
Cukup separuh saja. Setelah direbus, masukkan dalam penggorengan dengan sedikit minyak lalu tumis. Campur dan masukkan bumbu-bumbu bawaan dan kecap manis. Jangan menggunakan bumbu bubuk seluruhnya karena rasanya akan sangat tajam.

4. Omelet mie
Di daerah lain, cara memasak jenis ini disebut dengan pizza mie atau martabak mie. Caranya rebus mie, tiriskan. Campurkan dengn telur, aduk, lalu goreng. Tambahan seperti daun bawang, bawang bombay, cabe, atau jenis lain, bisa digunakan sesuai selera.


5. Mie Nyemek Bumbu Telur Asing
Jujur, penampilannya akan sedikit kemproh. Cara memasak seperti biasa, hanya saja airnya dikurangi setelah matang. Kemudian telur asin dicacah kasar, campurkan ke dalam mie, dan aduk. Hmmm, yummy.

6. Makan sebagai Nasi
Masak seperti biasa kemudian tinggal ditambah dengan lauk yang kita beli. Ayam goreng tepung di Pasar Kebayoran waktu itu masih Rp 5000. Jadi masih terhitung murah, khan?

7. Indomie Bakso
Cukup campurkan bakso saat merebus Indomie. Tambahan lain juga berlaku untuk kornet, sosis, dan lain-lain.

Resep di atas hanya berlaku untuk Indomie rasa ayam bawang. Saya tidak menjamin kelezatannya bila diterapkan di rasa yang lain. Apalagi "rasa yang pernah ada", "rasa yang telah terlupa", bahkan "rasakan pembalasanku".

Kini, setelah hampir dua tahun lulus dari Tempo, saya kembali merindukan parsel Indomie satu kardus. Tentu saja, juga rindu dengan kreatifitas saya.

Friday, June 17, 2016

Sundari, Jangan Rendah Diri



Bapak telah pulang dari Kantor Dinas Kependudukan Kota Kediri seusai mendaftarkan kelahiran putrinya.

Sesampai di rumah, belum selesai melepas semua kancing baju, Ibu bertanya, "Bapak kasih nama apa?"

"Sundari," jawab Bapak.

"Oalah Pak, kok ga pakai nama yang aku usulkan," Ibu geram.

"Simbok yang nyuruh," kilah Bapak.

"Kasihan, anak lahir di tahun 80-an tapi kok dikasih nama tahun 60-an," sesal Ibu. Nama anak pertamanya, ia

juga harus mengalah dengan mertua. Sekarang anak kedua, Ibu juga tak kuasa.

Ibu khawatir, nama yang terlampau singkat dan klasik, kalau tak boleh dikata kuno, akan membuat putrinya

rendah diri. Padahal dia sudah menyiapkan sebuah nama. Terdiri dari tiga suku kata. Biarlah dia akan

menceritakan kepada  Ndari saat protes nanti.

Iya, Sundari. Ini kisah nama saya. Awalnya tak pernah minder, namun tanggapan orang mengenai nama Sundari membuat hati saya jatuh ke bawah. Akhirnya, protes terselubung kepada Ibu. Berceritalah tentang orang-orang memandang nama saya.

Salah satunya, respon guru Bahasa Indonesia kelas 1 SMA. Guru yang juga mahir Bahasa Jerman itu spontan mengatakan nama saya terlalu jadul. "Saya tidak akan pernah memberi nama anak dengan nama yang tak sesuai tahun kelahirannya. Anak saya lahir tahun 90-an, masak saya kasih yang tahun 80-an, apalagi 70-an," ujarnya.

Saya langsung mencelos, tak bisa berkata, hanya memandang anting-anting panjang guru Bahasa Indonesia yang berayun saat bicara. Itu pertama kali saya malu dengan nama Sundari. Sebelumnya, saya sandang dengan percaya diri.

Menginjak kuliah, ada di suatu titik periode yang terlihat cantik dibandingkan masa yang lain. Mengikuti banyak organisasi dan aktivitas, berujuang memiliki teman lintas universitas dan kota bahkan provinsi. "Cantik-cantik kok namanya Sundari," kata seorang teman baru. Saya kembali tersentak.

Belum lagi ketika menyebut nama, olok-olok kembali mendera. "Sun... Sun... Sun dong...," gurauan mereka. Saya tertawa, mungkin maksud teman-teman hanya bercanda. Tapi jujur, saya merasa dilecehkan. Apalagi saat yang mengucapkan seperti itu adalah lawan jenis.

Semua cerita itu saya ulang ke ibu saya. Tak tahu yang berkecamuk di pikirannya, Ibu meminta maaf karena tak pernah bisa membela putri tunggalnya saat penentuan nama. Ibu menuturkan sejarah dan sebuah nama yang pernah dia buat. Tiga suku kata, kata terakhir persis panggilan saya "Ndari".

Kisah ibu melegakan tapi tak menyembuhkan. Hingga suatu titik saya memilih mengambil sudut pandang lain. Nama Sundari bukanlah suatu yang buruk. Mempunyai nama Sundari membuat saya mudah dikenal dan diingat orang. Ini penting menyangkut kiprah saya ke depannya nanti.

Nama Sundari, minim membuat kesalahan nama. Mungkin, nama mempunyai andil kesuksesan ikut pelbagai ujian masuk.

Ternyata saya juga tak sendiri. Seorang teman, dengan letting setahun di bawah juga pernah mengeluh. "Aku juga pernah digituin, Mbak, masak cantik-cantik namanya Endang." Memang dia cantik dan menggemaskan sih, beda dengan saya.

Namun setidaknya, perasaan senasib akhirnya saling menguatkan. Saya tak sendirian. Tak jadi soal siapapun namamu, terpenting adalah baktimu. Jangan biarkan pandangan orang menyakitimu. Andalah yang menentukan kadar kebahagiaan.


Suatu ketika, seorang senior berbagi foto di WA. Gambar sebuah jalan setapak di tengah hutan dengan kerlip cahaya. Indah,  Sundari adalah bahasa sansekerta dari cantik. Dan, saya pun tersenyum. Terimakasih.

Sumber Gambar: blog.8.share.com

Thursday, June 16, 2016

Bila Hilal THR Tak Kunjung Nampak


Nurudin galau. Puasa sudah lewat sepuluh hari tapi belum ada tanda-tanda Tunjangan Hari Raya turun. Padahal, dia berencana beli gamis untuk emak dan sarung untuk bapak. Belum lagi tiket mudik kereta api ke Kendal sudah habis. Gaji ketiga belas yang belum diterima itu membuat dia kesulitan memilih armada trasnportasi.


"Sebenarnya, kapan THR turun?" tanya Nurudin ke Roffi, temannya. Roffi pun menggeleng. Dia pun tak tahu. Sudah terbayang di pelupuk matanya, baju dan sandal untuk anak istri. Entah kapan belanja sandang setahun sekali itu bisa terbeli.

Nurudin dan Roffi tak sendiri. Ribuan atau mungkin jutaan pekerja tengah menunggu THR turun. Sayangnya, tak semua pegawai atau buruh paham kapan seharusnya THR diterima. Sebaliknya, pemberi kerja berlagak amnesia dengan kebutuhan pekerja menjelang hari raya. Mereka memberi THR menjelang lebaran.

Sejatinya, pemerintah telah membuat aturan terkait pemberian THR meski tak tercantum dalam  Undang-Undang Tenaga Kerja. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 6 Tahun 2016 memuat  aturan THR harus diberikan paling lambat tujuh hari sebelum lebaran. Artinya, semua perusahaan harus memberikan THR paling lambat 29 Juni 2016. Sedangkan untuk Pegawai Negeri Sipil, bisa bernafas lega. THR untuk PNS selambatnya turun sepuluh hari sebelum hari raya. Jumlahnya tergantung gaji pokok masing-masing golongan. 


Pengusaha yang terlambat membayar THR, berdasarkan Permenaker No.6/2016 Pasal 10, akan dikenai denda sebesar 5 persen dari total THR yang harus dibayar. Pengenaan denda ini tak menghapus kewajiban membayar THR ke pekerja. Bila pengusaha menolak membayar THR, akan dikenai sanksi sampai hukuman pidana kurungan maupun denda. Aturan ini termuat dalam Undang-Undang Nomoor 14 Tahun 1969.

Tentunya, denda dan sanksi tak akan mungkin dikenakan kalau anda, sebagai pekerja, tak mengadu ke Dinas Tenaga Kerja setempat. Pekerja juga bisa menggugat ke Pengadilan Hubungan Industrial di provinsi tempat bekerja. Namun, bukannya mematahkan semangat, proses ke pengadilan akan memakan waktu panjang dan melelahkan.

"Jadi masih lama batas waktunya, terus tiket mudik dan baju lebaran?" tanya Nurudin.

Benar, masih 13 hari lagi. Memang ada perusahaan yang paham dengan kebutuhan karyawannya, memberi THR jauh hari sebelum lebaran. Tapi bagaimana nasib pekerja yang perusahaanya membayar di tenggat waktu?

Ada beberapa cara yang bisa dilakukan agar rencana mudik kita tetap aman. (Loh dari ngomongin THR kok beralih ke mudik. Maaf, penulis suka kurang fokus)

1. Perbarui perjanjian kerja dengan memasukkan pasal kapan THR diturunkan. Tentunya, perjanjian harus disepakati oleh kedua belah pihak. Lewat serikat pekerja, tuntutan lebih mudah dikabulkan. Sebaliknya, perusahaan yang karyawannya dibebaskan ikut serikat buruh biasanya mudah menerima tuntutan buruh. Tapi, perusahaan baik yang seperti itu biasanya bayar THR jauh hari.

2. Pinjam uang di koperasi karyawan. Pelunasan biasanya bisa potong gaji atau setelah THR turun. Tapi sekali lagi, perusahaan yang punya koperasi karyawan, biasanya sudah bayar THR jauh hari.

3. Upaya lain, gunakan tabungan anda. Sisihkan minimal 10 persen setiap kali menerima gaji. Gunanya untuk kebutuhan mendesak, termasuk kebutuhan hari raya. Tapi ingat, segera tambal tabungan anda setelah THR turun.

4. Cara paling apes, pinjamlah uang ke orang tua, mertua, atau saudara. Pasti kerabat memlih memberi pinjaman daripada anda tak bisa pulang. Ingat, THR turun harus segera dibayar.

Nah, itu tadi informasi seputar Tunjangan Hari Raya. Semoga anda tak pusing lagi memikirkan THR yang tak kunjung ada kejelasan. Termasuk sopir dan kurir kantor saya, Mas Nurudin dan Pak Roffi.

Sumber gambar: citizen6.liputan6.com 

Wednesday, June 15, 2016

Akhirnya Kembali Lagi

“Sejarah terbentuk dari siklus. Riwayat berputar seperti roda gerobak sapi. Masa baik datang, tapi nanti masa buruk menggantikan. Bila itu terjadi, bagaimana pun baiknya manusia, malapetaka tak akan terelakkan .”

― Goenawan Mohamad, Catatan Pinggir 1


Kita memang tak bisa mengelak takdir, tetapi selalu ada pilihan di dalam suratan. Seperti saat ini, saya memilih kembali membuat catatan pribadi di dunia maya setelah berulang kali memiliki tetapi terabaikan. 

Dulu, saya mempunyai catatan pribadi di multiply, lumayan ramai dengan kicauan tulisan. Sekitar 2007, menunaikan tugas kuliah lantas menjadi curahan cerita narsis sehari-hari. Setelah mata kuliah berlalu, blog itu tak lagi saya kunjungi. 

Lewat sewindu, saya ingin mengulang kembali menulis portal pribadi tak berbayar. Di sini nanti, bisa jadi hanya tulisan pribadi yang tak penting. Tak menutup kemungkinan berisi informasi dan tips. Boleh ditiru, tak dilarang untuk disanggah. Ketika saya berkabar lewat blog ini, otomotis terbuka untuk umum. Hukum dunia maya. 

Akan ada cerita saya di masa buruk, tapi akan lebih banyak masa baik. Tentunya karena perjalanan hidup saya akan begitu menyenangkan. 

Oiya, kenalkan. Nama saya Sundari, tapi lebih suka dipanggil Ndari. Sudah menikah, sedang menanti hadirnya seorang anak--untuk detik penulisan ini. Sudjianto bukan nama suami, melainkan nama Bapak. Nama tempat saya bermula.

Saya suka menikmati kesendirian, tapi sangat antusias dengan pertemanan. Boleh hubungi lewat japri, tapi kenalkan dulu siapa anda. 

Pada akhirnya, sejarah yang saya tulis di sini kelak seperti putaran roda gerobak sapi. Tapi seperti sebuah lagunya Judy Garland, menikmati hidup seperti memakan semangkuk ceri. Jangan terlalu serius, karena hidup terlampau misterius. 

Life is just a bowl of cherries
Don't take it serious, life's to mysterious.
Laugh and love it!