Thursday, December 27, 2018

Semua Karya untuk Indonesia Development Forum 2018.



Selama 99 hari di tahun 2018, saya membantu Indonesia Development Forum untuk membuat berbagai tulisan. Key message-ny adalah 'mengatasi kesenjangan'.

Tulisan terbagi menjadi hardnews, indepth news, dan artikel saduran dari best paper atau terjemahan. Hardnews ketika acara berlangsung di tanggal 10-11 Juli 2018. Ada banyak typo di sini, mohon dimaklumi.

1. IDF 2018, Ikhtiar Mengatasi Kesenjangan Wilayah Indonesia
“IDF 2018 akan mengangkat tema ‘Pathways to Tackle Regional Disparities Across The Archipelago’, “ kata Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang P.S. Brojonegoro dalam Peluncuran IDF 2018 sekaligus Peluncuran Call for Paper IDF 2018, Kamis, 22 Maret 2018 lalu.

2. Program Keluarga Harapan (PKH): Solusi Atasi Ketimpangan Ekonomi
Graduasi mandiri atau keluar dari kepersertaan PKH secara sukarela, merupakan bentuk kesadaran diri dari Keluarga Penerima Manfaat yang sudah sejahtera.

3. Pakar Ekonomi: Indonesia Timur Butuh Infrastruktur Konektivitas
Infrastruktur yang dibangun oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat itu dianggap mempermudah akses mobilitas masayarakat sehari-hari.

4. IDF 2018, Bincang Temu Partisipatif Atasi Kesenjangan Antar-Wilayah Nusantara
Pada IDF tahun ini, perangkat pemerintah, para peneliti, pelaku bisnis, masyarakat umum, para pemuda dan para pemangku kepentingan lainnya dalam sektor pembangunan dapat saling berinteraksi dalam dialog terbuka mengenai tantangan kesenjangan antarwilayah dan mencari solusi terbaik berbasis bukti untuk mengatasinya serta memetakan pendekatan-pendekatan baru dan inovatif.

5. Di IDF 2018, JK Beberkan Cara Atasi Kesenjangan
Kesenjangan di Indonesia berkaitan dengan pelayanan dasar yang kurang merata, kualitas pendidikan yang berbeda, dan sistem ekonomi yang kurang merata

6. Kepala Bappenas: IDF 2018, Referensi Baik Bagi Kepala Daerah Terpilih
Contoh sukses daerah lain menjalankan pembangunan bisa diperoleh dari Indonesia Development Forum 2018. Di IDF 2018

7. IDF 2018, Gubernur Soekarwo dan Bupati Hasto Paparkan Inovasi Air Minum
Ada kesamaan topik menarik dua kepala daerah tersebut yaitu terkait inovasi air minum daerah.

8. Teknologi Digital Atasi Kesenjangan di Indonesia
Teknologi digital ini tak hanya meningkatkan perekonomian tetapi juga memberikan akses informasi, kemudahan layanan keuangan, berpromosi, hingga, mendapatkan pekerjaan.

9. Peluang Ekonomi di Pembangunan Kebudayaan
-Indikator keberhasilan pembangunan tak hanya dilihat dari aspek pertumbuhan ekonomi melainkan juga perkembangan kebudayaan.

10. Kreatif, Hasil Diskusi IDF 2018 Dijelaskan di Mural
 Seperti tahun lalu, hasil IDF 2018 kali ini juga dituangkan dalam bentuk grafis mural di lokasi pembukaan dan penutupan, Ballroom 1 dan 2, Hotel Ritz Carlton, Jakarta.

11. Atasi Kesenjangan di Indonesia Timur dengan Pembangunan Budaya
"Pembangunan ekonomi memang berjalan terus. Tapi kalau budaya diabaikan, akan menjadi problematika," kata Hilmar

12. Pasar Ide IDF 2018: Berkumpulnya Para Inovator dari Pelosok Negeri
Hampir seratus orang inovator ini mempunyai ide dan gagasan jitu mengatasi kesenjangan di Indonesia.

13. Perluas Akses Kesehatan Lewat Sektor Swasta
Kesenjangan  di bidang kesehatan ditandai dengan  perbedaan jumlah fasilitas kesehatan antara daerah satu dengan daerah lain.

13. Kepala Bappenas: Pembangunan Daerah Butuh Kearifan Lokal
Keberhasilan pembangunan daerah di Indonesia tergantung pada kepala daerah melihat potensi di wilayahnya.

14. Penutupan IDF 2018, Kurangi Pengangguran Jadi Tema Tahun Depan
Topik ini mencakup  upaya mengatasi pengangguran, peningkatan pendapatan, bonus demografi, pendidikan vokasi, skema pensiun, hingga partisipasi kalangan muda.

15. Indonesia Luncurkan Indeks Pembangunan Ekonomi Inklusif di IDF 2018
Meski petumbuhan ekonomi tinggi dan tingkat kemiskinan rendah, nyatanya belum menunjukkan pembangunan inklusif yang baik.

**
Sementara tulisan indepth news dibuat lebih panjang dan dalam. Namun karena ini dibuat untuk website, tentu tak sedalam koran atau majalah. Saya sertakan cuplikan tulisan, siapa tahu ada yang tertarik membaca.

1. Surya Sahetapy: “Kurikulum khusus pelajar tuli dari TK sampai SMA setara dengan TK-SD umum”
“Kurikulum khusus pelajar tuli dari TK sampai SMA setara dengan TK-SD umum,” ujar Surya saat ditemui akhir April 2018 lalu.

20 Tahun Reformasi dan Upaya Atasi Kesenjangan
 Pertumbuhan ekonomi yang konstan ini tak hanya menciptakan kesenjangan pendapatan melainkan juga ketergantungan. Inilah yang terjadi selama pemerintahan Orde Baru.

3. Berdaya Lewat Perhutanan Sosial
Tak hanya aspek ekonomi, ada dampak sosial dan ekologis dari pelaksanaan Perhutanan Sosial.

4. Wajan Bolic, Internetkan Kampung di Jayapura
Setelah ditambah pipa paralon di tengahnya dan dipasang USB Wireless dan kabel, jadilah sebuah antena wajan yang bisa memperkuat sinyal  internet. Itulah wajan bolic.

5. PEKKA: Perempuan Kepala Keluarga Miskin Karena Stigma
Penting bagi pemerintah untuk menjadikan perempuan kepala keluarga sebagai subjek pembangunan karena merekalah salah satu elemen yang berada pada kerak kemiskinan.

6. Pasar Kerja Inklusif, Mungkinkah?
Setiap penyandang disabilitas mampu bekerja sesuai dengan keunikan masing-masing.

7.Budiman Sudjatmiko: BUMDes Bisa Jadi Pusat Pertumbuhan Ekonomi Baru
Pembentukan BUMDesa tak hanya mampu mengatasi kemiskinan tetapi juga melahirkan kelas menengah dan entrepreneur baru di desa.

8. Raih Untung Lewat Pasar Internasional, Ekonomi Digital Geliatkan UMKM
Pasar digital yang luas dan tak terbatas lokasi inilah dianggap memberi peluang bagi Usaha Mikro Kecil dan Menengah untuk melebarkan pemasarannya.

9. Aruna dan Pasar Laut Digital: Bantu Nelayan Raih Harga Terbaik
Data dari Aruna, harga yang diterima nelayan rata-rata lebih tinggi 20 persen daripada pasar biasa.

10. Du’anyam: Menjalin Tradisi, Berdayakan Perempuan Timur
Du’anyam yang berarti ‘ibu menganyam’ ini memang sengaja memilih kelompok perempuan, bukan dari kalangan pengusaha, untuk membantu agar keluar dari masalah sosial ekonomi.

11. Mengurai Tantangan Infrastruktur Sebagai Solusi Ketimpangan Ekonomi
Pembangunan infrastruktur akan menumbuhkan kawasan-kawasan ekonomi baru.

12. Memacu Laju Ekonomi Digital Lewat #BijakBersosmed
Pengguna internet dan media sosial di Indonesia dalam jumlah besar ini mestinya menjadi modal pergerakan ekonomi berbasis digital.

13. Hijau Pembangunan Atasi Kesenjangan
Pembangunan berkelanjutan memang menjadi solusi bagi daerah yang ingin mengatasi kesenjangan tanpa menimbulkan bencana.

14. Pembangunan Inklusif, Solusi Ekonomi Timpang
Tingginya pertumbuhan ekonomi di Makasar tak mampu menekan angka pengangguran sangat tinggi yakni mencapai 12 persen.

15. Infrastruktur Membaik, Mudik Lancar
Pembangunan infrastruktur tak hanya bermanfaat bagi pemudik melainkan juga mengatasi kesenjangan, meratakan pertumbuhan ekonomi, dan memunculkan pusat pertumbuhan ekonomi baru.

16. Merajut Asa di Tanah Bekas Konflik
Yayasan ini didirikan oleh Stenley Ferdinandus, putra Ambon yang pernah menjadi korban kemanusiaan di Maluku, tahun 1999.

17. Article 33: Biaya Kesehatan Masyarakat Sekitar Tambang Lebih Tinggi
Rumah tangga yang tinggal di daerah tambang cenderung memiliki biaya kesehatan yang lebih tinggi, waktu mengumpulkan air yang lebih lama, dan kualitas air yang buruk.

18. Koalisi Seni Indonesia: Indikator Kebudayaan Sebagai Tolok Ukur Pembangunan
“Ketika ingin mengembangkan seni kita juga harus mengembangkan ekosistem seninya,” kata Aquino Hayunta, Manajer Program Koalisi Seni Indonesia

19. Morika Tetelepta: Menggairahkan Seni Budaya di Tanah Maluku
 Morika mengikuti jejak sastrawan satu daerah, Chalvin Palilaya, yang tampil pada tahun sebelumnya. Sayangnya, komunitas seni sastra di Maluku hanya berkembang sebatas ibukota provinsi, Ambon.

20. Paparisa Ambon Bergerak: Mengikis Sekat Konflik, Membangun Ekonomi Digital Maluku
Resmi berdiri tahun 2015 untuk menyatukan kelompok muda usai kerusuhan, Paparisa memang sering kali menggunakan teknologi digital sebagai media penyebar informasi dan ajakan bergabung.

21. Komitmen Inklusif IDF 2018 untuk Akses Penyandang Disabilitas
Akses untuk disabilitas harus disesuaikan dengan kemampuan penyandang

22. Gotong Royong Kabupaten Rebut Tantangan Menggoda Pasar Global
Pemerintah daerah harus mengemas potensi unggulan semenarik mungkin pada waktu yang terbatas agar investor tertarik.

23. Mengarusutamakan Kesetaraan di IDF 2018
Tak hanya membahas tentang solusi mengatasi kesenjangan antar wilayah, nyatanya IDF 2018 menunjukan komitmennya sebagai forum yang memberi kesempatan setara bagi semua kelompok untuk berpartisipasi.

24. Museum Pustaka Lontar, Berdaya dengan Kearifan Lokal
Pemberdayaan masyarakat ini diyakni menjadi solusi masalah kemiskinan dan pengangguran berbasis kearifan lokal.

25. Warung Pintar, Bersaing dengan Retail Modern
Perlengkapan warung yang dipinjamkan gratis ke mitra ini senilai Rp 30 juta.

26, Ekonomi Kerakyatan Lewat PRO-SUER,
PRO-SUER berorientasi pada pengembangan usaha mikro kecil dan menengah dengan diperkuat Community Learning Center dan Rumah Usaha Bersama.

27. Potensi Minyak Kelapa Murni dari Papua
Sekarang, mama-mama Papua cukup bekerja di rumah seraya menjaga anak-anak setelah adanya mini pabrik  pengolahan kelapa dalam (cocos nucifera)

28. Atasi Kesenjangan Ekonomi Lewat Start Up
Lewat sejumlah startup yang hadir di Indonesia, UMKM bisa mengatasi kesenjangan pembangunan dan penghasilan.

29. Patungan Listrik untuk Layanan Publik
“Dulu, membantu ibu melahirkan harus pakai senter, sekarang sudah tidak lagi,” ujar Siska.

30. Rawat Lingkungan Dan Pemberdayaan Ekonomi Lewat Agroforestri
Di Cibulao, kopi dikombinasikan dengan tanaman endemik hutan yang berkayu. Hasilnya, kampung ini tak hanya bisa menghasilkan produk kopi unggulan tetapi juga pelestarian lingkungan serta sumber ekonomi baru seperti wisata alam dan edukasi.

***
Menyadur dari artikel berbahasa Inggris atau menyederhanakan bahasa penelitan bukan perkara gampang. Apalagi kalau paper yang diterjemahkan bukan topik keahlian anda.

1. Menuju IDF 2018: Terobosan Praktik Baik di Pengembangan Pusat Pertumbuhan

2. Menuju IDF 2018: Upaya Kurangi Kesenjangan Daerah Tertinggal dan Perbatasan

3. Menuju IDF 2018: Perbaikan Pelayanan Dasar Solusi Kesenjangan Wilayah

4. Menuju IDF 2018: Potensi Ekonomi Digital Dorong Pembangunan Daerah

5. Menuju IDF 2018: Perkuat Konektivitas Indonesia sebagai Negara Kepulauan

6. Menuju IDF 2018: Inovasi dalam Tata Kelola Pemerintahan Daerah

7. Menuju IDF 2018: Solusi Pengoptimalan Sumber Pendanaan Pembangunan

8. Best Paper: Analisis Konektivitas Pelabuhan-Pelabuhan Asia Tenggara dengan Big Data Global Marine Vessel Automatic Identification System
Analisis AIS menggambarkan konketivitas pelabuhan dan distribusi perjalanan maritim, bisa digunakan untuk menganalisis tol laut.

9. Best Paper: UMKM Gaptek Tetap Bisa Gunakan FinTech
Dengan jaringan internet yang minim, gawai yang terbatas, dan kemampuan menggunakan teknologi yang kurang, UMKM ternyata bisa menggunakan fintech sehingga mendukung keperluan bisnis mereka.

10. Best Paper: Berkat Pendidikan, Kemiskinan Bukan Warisan
Kondisi kemiskinan dan ketimpangan ini dirasakan tak hanya oleh orang tua tetapi juga diwariskan ke anak-anaknya.

11. Best Paper: Cara Kembangkan Kemampuan Teknologi Nasional di Zona Ekonomi
Banyak dari zona ekonomi yang hanya menawarkan tempat produksi tanpa memenuhi janji-janji FDI seperti alih teknologi.

12. Best Paper: Inovasi Daerah Tercipta dari Transparansi
Meski inovasi pelayanan (service) dan proses (administrative and technology) berperan penting namun keduanya belum mencukupi untuk menjamin pembangunan ekonomi dan pelayanan publik yang inklusif.

13. Best Paper: Mesin Stirling, Solusi Pemerataan Listrik di Papua
Implementasi dari PLT Mesin Gas memunculkan tantangan baru dimana pendistribusian bahan bakar cair masih dirasa sangat sulit untuk dilakukan.

14. Best Paper: Intervensi DPR di DAK Sebabkan Kesenjangan Daerah
Dengan membiarkan model intervensi DPR terus dipraktekkan, DAK sulit menjadi instrumen mengurangi kesenjangan.

15. Indonesia ingin ekonomi berbasis pengetahuan, ini cara mendapatkannya
Dunia berubah: pemerintah Indonesia harus beradaptasi untuk bertahan hidup.

****
Terpenting dari pekerjaan adalah bahagia, bukan gaji. Saya bahagia dan bersyukur mendapatkan pekerjaan ini karena bisa bertemu dengan banyak orang baik yang membantu orang lain tanpa pilih-pilih. Selamat berjumpa di Indonesia Development Forum 2019.

#AtasiKesenjangan
#BebasDisparitas
#IDF2018

Tuesday, December 4, 2018

Renungan November: Kisah Nenek dan Ketimpangan Gender yang Dia Rasakan

Asal tahu saja, nenek saya bukan Judi Dench


Semut ireng, anak-anak sapi. Kebo bongkang anyabrang kali bengawan

Akhir November, saya bertemu dengan saudara jauh. Kakeknya adalah adik dari nenek saya. Kami sama-sama kuliah di UI, beda jurusan dan angkatan pastinya. Bertemu saudara  tentu menyebabkan kelindan kenangan muncul kembali.

Salah satu kenangan itu adalah pola pikir orang zaman dulu mengenai pendidikan. Tulisan ini bersifat mengkritisi pola lama yang masih terjadi saat ini, tapi pasti bukan kritik terhadap personal. Bagaimanapun, kakek buyut adalah akar identitas saya pribadi. Kisah ini juga berulang kali saya diskusikan bahwa setiap perempuan berhak mendapatkan pendidikan setinggi apapun mereka mampu.

Kakek buyut, ayahnya nenek dari ibu, adalah aristokrat yang lari dari Solo karena mendapatkan gap tanggung jawab dari orang tuanya lantaran terlahir dari anak selir. Sayangnya pola pikir membeda-bedakan anak masih membelenggunya. Terbukti bagaimana dia memberi pendidikan kepada anak-anaknya.

Seluruh anak laki-lakinya mendapatkan pendidikan yang layak di era itu, zaman sebelum dan awal kemerdekaan. Anak-anak lanangnya ada yang menjadi polisi, tentara, dan guru. Sementara anak perempuan tidak di sekolahkan karena lazimnya zaman itu mereka dipersiapkan ke mahligai pernikahan, keahliannya seputar  dapur, sumur, pupur (berdandan), dan kasur.

Begitu pula yang terjadi pada mbah putri, nenek saya. Dia buta huruf dan menikah di usia belasan tahun dengan duda yang usianya dua kali lipat dan beranak banyak. Naas, suaminya meninggal karena sakit dan dia harus merawat tiga anak usia 6 tahun, 4 tahun, dan 3 bulan.

Dari ibu rumah tangga, nenek saya banting tulang menjadi pedagang sayur di pasar. Dia mulai belajar berhitung, mengenali uang, dan berniaga secara otodidak. Jarak rumah dan tempat sekitar 2 km, dia tempuh dengan jalan kaki sambil menggendong sayur mayur di punggung dan anak dalam gendongan, diiringi 2 anaknya yang lain.  Mungkin karena itu, anak keduanya sakit-sakitan dan terpaksa nenek saya merelakan si tole diadopsi oleh kakaknya yang perekonomiannya lebih bagus.

Mbah putri (perempuan kedua dari kiri). Belakannya adalah kakaknya pensiunan polisi. Mbah yang pakai kopyah hitam adalah adik bungsunya yang jadi kepala sekolah. 


Pengetahuan yang minim tentang kesehatan juga menyebabkan anggapan bahwa anak sakit karena keberatan nama. Sehingga selain diadopsi, nama anak keduanya juga diganti yang lebih simple. Itulah yang menyebabkan nama ibu saya yang terlahir selanjutnya juga teramat sederhana, biar tidak sakit-sakitan.

Bisa membayangkan, kisah janda muda ini? Andai dia mendapatkan pendidikan yang layak mungkin nasibnya akan lain. Bila saja dia bisa membaca, mungkin mengalami pencerahan lewat tulisan-tulisan SK Trimurti, Herawati Diah, atau mungkin pandangan Siti Soendari.

Wartawan perempuan didikan Tirto Adi Suryo yang kebetulan nama sama dengan saya itu pernah bercerita:

Apa faedahnya menyekolahkan gadis-gadis? Biar diajar terbang ke langit sekalipun, kalau tidak pandai memasak nasi dan sayur, maka suaminya tidak akan menyenanginya.”

Dengan kesal Soendari menanggapi, “Ah, ah, kalau memang demikian watak laki-laki, maka lebih baik dia kawini saja tukang masak Gubernur Jendral, pastilah setiap hari dia akan makan enak.” 

Sebenarnya, nenek saya juga ingin bersekolah. Nenek sering bercerita tentang pelatihan barisan fujinkai saat masih muda dan lagu-lagu Jepang yang dia hapal. Harapannya, saat bergabung di barisan ini dia bisa bisa membaca menulis. Namun ternyata tidak. Matanya menerawang saat bercerita. Nenek selalu menyarankan agar cucu-cucunya rajin sekolah di sela-sela suruhan membaca berita di koran.

Setelah perekonomian sedikit membaik, nenek menikah dengan kakek biologis saya. Namun kesialan muncul, kakek biologis saya suka berjudi dan main perempuan lain. Karena berdaya, kali ini nenek tidak pasrah. Tepat ibu saya berusia 7 bulan, nenek menggugat cerai.

Beberapa tahun kemudian, nenek menikah kembali saat ibu masih berusia balita. Kakek inilah yang dianggap ibu sebagai ayahnya. Ibu baru tahu tentang ayah kandungnya saat akan menikah dengan bapak. Berdua, orang tua saya mencari ayah kandung dan mengenal saudara-saudara lainnya. Fyi, kakek biologis saya mempunyai anak empat dan semuanya berasal dari ibu yang berbeda.

Kisah nenek mengajarkan saya untuk menjadi perempuan berdaya, tak takut mengejar mimpi, dan mencari pasangan yang menganggapnya partner setara bukan konco wingking. Meski berulang kali sepupu bercerita, nenek sering berhalusinasi tentang saya sebelum meninggal. Matanya menatap pohon sambil berujar, "Ndar, mudhuno Nduk. Ojo menek duwur-duwur mengko tibo," (Ndar, turunlah Nak. Jangan manjat terlalu tinggi, nanti jatuh). Saat nenek berhalusinasi, saya sedang kuliah di Surabaya. Saya yakin halusinasi itu bukan larangan supaya saya tak terlalu tinggi menggapai mimpi.


Kenangan indah tentang nenek

Nenek saya, lazimnya mbah-mbah yang lain, selalu menyayangi cucunya lebih dari anaknya. Saya ingat, setiap pagi dia memasak nasi goreng dan dihantarkan ke rumah. Sembunyi-sembunyi memberi uang saku biar tidak ketahuan ibu, akan marah kalau anak-anaknya terlalu keras terhadap cucu.

Cuplikan lirik dhandanggula di awal cerita itu adalah tembang yang selalu dinyanyikan sebelum tidur saat menginap di rumah nenek. Arti filosofi semut ireng bisa dilihat di sini.

Nenek juga sering bercerita sebelum tidur. Kisah tentang utak-utak ugel yang ingin meminum lautan untuk menghilangkan rasa hausnya, orang yang rakus dan tak pernah cukup, berakhir dengan malapetaka.

Ada satu lagu lagi, digunakan saat perut kembung masuk angin --penyakit yang sering kumat hingga saat ini. Sambil mengoleskan bawang merah dan minyak goreng ke perut, nenek menyanyikan lagi yang membuat saya tergelak.

"Jembrut metuo, ning njero dadi loro, ning njobo dadi perkoro. Jebus... plompong. Jebus... plompong." (Keluarlah kentut, di dalam menyebabkan sakit, di luar menyebabkan masalah. Puss... leganya. Puss leganya).

Apapun pandangan orang tentang nenek saya, dia tetap menjadi salah satu perempuan terkuat yang pernah saya kenal. Alhamdulilah, saya tidak dilahirkan di era yang sama, ketika perempuan penuh kekangan.

Keyong gondhang jarak sungute, timun wuku gotong wolu.