Tuesday, December 31, 2019

Terima kasih 2019, berbahagialah di tahun 2020

Tulisan ini dibuat tepat pukul 22.30, tanggal 31 Desember 2019, setelah kekenyangan makan bersama tetatangga kompleks tanpa mengeluarkan uang sepeserpun. Memang baik-baik sih tetangga Ndari.


credit: Alidesta Adventure

Anyway, sudah lama tidak menulis di blog setelah Haidiva.com lahir. Terakhir menulis sewaktu melakukan wisuda pascasarjana. Tapi yang pasti, mulai melongok blog a.k.a buku catatan ini karena memang ada yang perlu diingat sepanjang perjalanan hidup.

Di tahun 2019, aku mempunyai tiga target besar dan alhamdulilah banget, dua telah berhasil diraih. Pertama, lulus pascasarjana UI , tutorial mengikuti wisuda bisa dibaca di sini . Senang karena tak perlu mengeluarkan duit sebesar Honda Mio setiap semester.

Kedua,  lahirnya Haidiva.com , media perempuan yang telah diharapkan sejak zaman kuliah meski belum bisa mendapatkan profit yang berarti. Tapi yang pasti aku happy sekali. Satu target besar gagal diraih, ya tahulah apa target itu.

Di tahun 2020, target tentu akan ditetapkan malam ini seraya berdoa Tuhan dan semesta mendukung setiap keringat yang telah dikeluarkan. Meniru buku 'The Magic'-nya Rhonda Byrne, target-target akan dibagi menjadi beberapa topik. Jadi tak lagi seperti tahun lalu yang fokus pada tiga target besar. Tahun ini, aku ingin belajar mensyukuri hal-hal kecil.

Kesehatan dan tubuh

Tak muluk-muluk, aku cuma ingin mengembalikan berat badan sama seperti sebelum menikah, 55 kg. Sementara sekarang adalah 10 kg di atasnya. Semakin semangat olah raga, makan-makanan sehat rendah kalori. Kabarnya, olah raga juga bisa membuat kita bahagia.

Untuk badan, semoga dilancarkan membeli skin care yang diinginkan. Haish, tetap ya. Bisa pijat seluruh badan setiap bulan. Remeh sih, tapi selalu ada keajaiban di kala aliran darah lancar.

Karier dan pekerjaan
Aku ingin menduduki jabatan publik sebagai komisioner penyiaran daerah. Rasanya sayang sekali kalau ilmu tak digunakan. Semoga menjadi pijakan untuk melangkah ke tingkat pusat tiga tahun lagi.

Harapan besar untuk Haidiva, semoga bisa mandiri menghasilkan profit tanpa merogoh kocok para pendiri dan justru bisa memberikan pendapatan di batas minimal harapan kami. Di tahun pertama Haidiva.com, inginya sih, punya tambahan lima karyawan dengan rincian 1 jurnalis Jakarta, 1 jurnalis jurnalis Surabaya, 1 web writer, 1 content creator video, 1 admin media sosial. Investor datanglah--nyalakan lilin. Pengiklan datanglah--bakar menyan. Semoga Tuhan mengabulkan.

Uang
Sederhana, aku dan Baiquni cuma ingin KPR lunas dan bisa renovasi rumah di Cilebut sesuai yang diinginkan. Syukur-syukur, bisa beli tanah minimal 500 meter persegi di perbatasan Kota Kediri dan Kabupaten Kediri, yang bisa dibangun rumah 60 meter persegi sementara sisanya untuk kebuh buah. Amin.

Relasi
Hubungan dengan keluarga kerabat membaik, tahu kan ada masalah apa saja. Eh yang tahu Baiquni, dia tempat semua sampah emosi yang menyesakkan. Aku berharap tahun 2020 ada momen bisa mengumpulan temanku dan temannya Baiquni di rumah untuk acara syukuran, entah apa yang patut disyukuri bersama.

Hasrat pribadi
Pengen lebih rajin berkebun, depan rumah banyak yang perlu dikoreksi. Pengen juga belajar hal-hal yang baru seperti mendongkrak traffic web, kalau ini sih mesti belajar ya. Pengen juga kembali menggeluti hobi menggambar yang tertinggal di zaman SMA.  Pengen juga ngecilin badannya Baiquni. Dia selalu protes ketika aku nyubit perut atau nusuk-nusuk pakai jari.

"Sakit tau,"
"Eh, kalau orang Jawa bilang, driji mucuk eri (ujung jari seperti duri), artinya cantik,"
"Hah, embuhlah,"
Perut gendut menggoda jari untuk menusuk. 

Oiya, mau bikin paspor, pengen ke Pulau Jeju dan pengen ke Danau Baikal. Ndari, ke Indonesia timur aja dulu, atau Asia Tenggara. Entahlah, dua tempat itu rasanya lebih menarik daripada Malaysia atau Thailand.

Pengen bikin buku juga sih, tapi bikin buku apa ya?

Benda-benda materi
Pengen menambah emas batangan lagi, beli HP baru, komputer pc di rumah berserta hardisk external. Rasanya PC lebih enak dipakai kerja di rumah daripada laptop. Oiya, kamera dslr. Baiquni bilang beli di Pegadaian aja, banyak barang bagus di lelang Pegadaian.


Terpenting tapi bukan terakhir, karena tangan tak cukup bisa menulis, apakah target tahun 2019 yang belum tercapai ingin dibidik lagi tahun ini? Entahlah, keinginan itu tak lagi menggebu seperti di awal menikah. Aku begitu menikmati hidup hanya berdua, bisa bangun siang, mandi lama, hangout bersama Baiquni tanpa khawatir pulang kemaleman, bertemu kawan lama sampai lupa waktu. Sesuatu yang mesti dikorbankan bila target itu tercapai.

Satu yang pasti, kami sangat mau untuk mendapatkannya. Tapi ketika pertanyaan belum terjawab, kami tak merasa 'jatuh'. Jadi tolong, bersikaplah biasa saja, tak perlu memandang aneh atau mengasihani.

credit; traveling yuk

Sekian, sudah pukul 23.30, 31 Desember 2019. Sebentar lagi memasuki pergantian tahun. Semoga 2020 semakin menyenangkan.**


Friday, August 30, 2019

Survival Kit Mengikuti Geladi Resik dan Wisuda UI

gara-gara ga dandan, paling kumel. (Credit: Mas Diki, Magister IKom angkatan 2016)


Alhamdulilah, berhasil menyelesaikan pendidikan Pascasarjana tepat waktu, pas 2 tahun. Alhamdulilahnya bukan karena bangga ataupun jumawa, tapi lebih bersyukur. Setidaknya tak mengorbankan Honda Beat satu lagi setiap 6 bulan sekali. Berat diongkos, Cin..

Berbeda dengan S1 di Unair, proses wisuda di Universitas Indonesia diawali dengan geladi resik yang tampilannya mesti lebih heboh dibanding wisudanya sendiri. Penyebabnya karena wisudawan akan berfoto salaman dengan Rektor UI dan dekan jurusan masing-masing. Demi penampilan yang menarik seumur hidup, maka berdandanlah.

Mungkin sebaiknya UI mengganti istilah Geladi Resik dengan 'Foto Salaman Bersama Rektor dan Dekan' agar para wisudawan tak salah sangka. Sejumlah teman memilih tidak mengikuti geladi dengan alasan.

"Halah ga penting, paling juga latihan seremonial sebelum hari H."

Ternyata tidak. Selain foto bersama dengan Rektor-Dekan dan mengetahui urutan wisuda, geladi resik waktu yang tepat untuk berfoto bersama keluarga. Suasananya lebih kondusif dibanding pas wisuda karena jumlah pengiring wisudwan tak banyak. Geladi resik di tanggal aktif membuat para keluarga dan kerabat wisudawan berhalangan hadir.

Geladi resik berjalan sekitar 2-4 jam tergantung masing-masing jurusan. Jurusan yang dipanggil lebih dulu untuk besalaman akan bisa pulang lebih dahulu. Karena itulah, saya sarankan membawa makanan, minuman, dan kipas selama menunggu.

UI tak menyediakan makanan dan minuman selama acara berlangsung. Mungkin biaya Rp 900 ribu yang dibayarkan per wisudawan tak cukup untuk membeli sekerat roti atau seteguk air --kecuali katering prasmanan untuk para guru besar. Jadi bawalah sendiri. Ini berlaku juga waktu pelaksanaan wisuda.

Bawalah kipas manual atau elektrik karena gerah sekali waktu acara berlangsung. Mata saya tak menjangkau adanya kipas angin atau AC, mungkin tak terlihat.

Bagi yang membawa kendaraan pribadi seperti mobil, geladi resik akan memakan waktu sekitar 60 menit dari Margonda. Tapi saat wisuda, waktu yang ditempuh bisa mencapai 3 jam dari gerbang UI hingga Balairung begitu pula sebaliknya. Ini pula tak termasuk saat melewati jalanan Depok

Jadi, lebih baik gunakan commuterline karena lebih cepat dan menghemat waktu. Turunlah di Stasiun Pondok Cina kemudian masuk ke arah UI. Balairung tepat di seberang Stasiun Pondok Cina. 

Kalau mengundang kerabat untuk hadir, tentukan lokasi bertemu saat acara usai. Entah kenapa sinyal hp begitu susah.

Nah, begitu kiat san survival kit yang perlu dibawa saat mengikuti geladi resik dan wisuda di Universitas Indonesia. Saya sendiri mengikuti geladi resik pada tanggal 28 Agustus 2019. Sampai tulisan ini diturunkan di blog, saya belum mengikuti wisuda. Setelah tanggal 31 Agustus mungkin akan saya koreksi.

Lah dari mana saya tahu kalau wisuda UI bakal macet sampai 3 jam? Saya tahu ketika datang ke syukuran sahabat setelah wisuda empat tahun yang lalu. Acara syukuran digelar di dekat UI Depok. Bayangkan, empat tahun yang lalu sudah begitu macet, apalagi sekarang!**

Revisi setelah wisuda tanggal 31 Agustus 2019. Wisudawan dan keluarga mendapatkan snack, lumayan mengganjal perut. Ada pula makan siang, box KFC tapi harus diambil di Rotunda UI. Karena malas dan pengen cepat pulang, saya tak sempat menikmati makan siang.

Urusan hajat buang air, UI menyediakan truk toilet selain yang ada di gedung. Hanya saja, antrian mengular karena sesak pengunjung. Toilet di gedung lain menjadi alternatif meski butuh jauh jalan kaki.

Saturday, May 18, 2019

Renungan Ramadhan: Sampah yang Mesti Dibuang

When I find myself in times of trouble, Mother Mary comes to me
Speaking words of wisdom, let it be
And in my hour of darkness she is standing right in front of me
Speaking words of wisdom, let it be
- The Beatles-



'Jangan memungut sampah orang lain terus menyimpannya ke dalam rumah kita'

Saya tak ingat siapa yang pertama kali mengajarkan tentang ini. Sampah merupakan analogi emosi negatif orang lain. Ketika sampah itu dilempar ke kita, bagaimana cara menanggapinya?

Yang pasti, ketika kita tanggapi dengan emosi negatif yang serupa, sampah itu beralih menjadi milik kita. Kunci mengatasinya adalah Let it be.

Lantas, bagaimana kalau perlakuan orang lain terhadap kita justru memunculkan sampah di rumah?

Ramadhan kali ini, saya berusaha mengatasi  sampah yang muncul di rumah. Sampah itu bernama, kekecewaan, kebingungan, dan hasrat ingin melampiaskan marah.

Bermula dari salah perencanaan akhirnya berujung 'nanti seterusnya mau makan apa?'. Akibat ada yang menikung di belokan. Buyar semuanya. Mau marah tapi sama siapa? Tepukan mendadak dari belakang rasanya membuat kepercayaan diri saya luruh.

Saya tipe orang yang mendendam di hati dalam bidang pekerjaan atas perlakuan buruk orang lain tanpa jelas mengatakan secara lisan 'Saya tidak suka dengan perlakuan anda terhadap saya'.

Gaji yang dicicil separuh di kantor A. Melihat politik kantor yang memuakan di kantor B sehingga memutuskan keluar. Mendapatkan porsi bagi hasil terkecil dengan beban kerja paling besar di pekerjaan C. Nama dipakai untuk promosi tapi pekerjaan tak kunjung datang di calon garapan D. Kerja tak kerja tapi upah tetap sama di garapan E. Terakhir, membiarkan orang menarik janjinya sementara dampak tidak berlakunya janji ada di saya. Dan masih banyak lainnya.

Tau ga sih mereka orang-orang itu telah mengambil hak atau rezeki orang lain?

Its okay. Mari kita kunyah ini pelan-pelan. Akhirnya, sesak disimpan sendiri. Tentu saja ini energi negatif atau 'sampah' yang mesti dibuang.

Meskipun di samping itu saya yakin, Tuhan akan memeluk dan mencukupkan kebutuhan saya dengan cara yang tak terduga. Selama ini sih begitu. Tapi tetap saja saya lambat bergerak tanpa planing.

Ini yang mestinya saya pelajari dari Baiquni. Hidup mengalir. Mungkin itu pula yang menyebabkan kita saling memilih karena bisa saling tambal.

Ramadan kali ini, membantu saya menata hati untuk membiarkan sesuatu yang tidak diharapkan terjadi. Ramadan membantu saya mengurangi sampah-sampah di hati dan membuangnya di tempat yang tempat agar tak mengganggu orang lain.

And when the night is cloudy there is still a light that shines on me
Shine until tomorrow, let it be
-The Beatles-

Pic source of desert flower: shutterstock

Tuesday, April 30, 2019

Tersisa dari Indonesia Development Forum 2019

Akhir April 2019, saya resmi tidak tergabung dalam tim digital Indonesia Development Forum 2019 lantaran ini fokus ke tesis. Sebenarnya cuma pledoi dari kemalasan ngerjain tesis aja, Sis. Pulang malam, sampai rumah sudah tepar. Akhir pekan, sibuk liburan.


Nah, sebelum kelupaan, saya mau mendata tulisan apa saja yang pernah saya tulis sepanjang bulan Januari-April 2019. Untuk IDF 2018, tulisan bisa dilihat di sini

Januari 2019

1. Industri 4.0: Perguruan Tinggi Di Tengah Gempuran Revolusi Pasar
2. Visi Indonesia 2045, Peluang Millenials untuk Pembangunan Lebih Inklusif
3. Membuka Peluang Inklusif Penyandang Disabilitas

Februari 2019
1. Kewirausahaan Sosial, Peluang Pemuda Mampu Raup Rp19,4 Milliar
2. IDF 2019, Temukan Solusi Kerja Layak dan Produktif
3. Tumbuhkan Bibit Kewirausahaan Sosial, Ini Cara Pemerintah
4. Road to IDF 2019: Capai Rp69,59 trilun, Ini Langkah Batam Memikat Investasi
5. Meet the Leader. CEO GE Indonesia Handry Satriago: Dari Tukang Ketik Menuju Puncak dengan Kursi Roda
6. Ditolak Kerja Ratusan Kali, Teman Tuli Ajarkan Bahasa Isyarat Lewat Secangkir Kopi
7. Modal Rp 10 Ribu, Putus Sekolah Kejar Sarjana Hingga Siap Kerja

Maret 2019
1. Bintang dari Timur, Ini Cita-Cita Baru Anak Papua Berkat Internet
2. Perempuan Kuasai Ekonomi Kreatif, Ini Kunci Suksesnya
3. Meet the Leader: Ligwina Hananto, Bermula dari Ratusan Penawaran dan Tertawaan
4. Survei CWI, Hanya 23 Persen Jabatan Tinggi PNS yang Diduduki Perempuan
5. Bakar Uang Menguntungkan Ala Startup
6. Road to IDF 2019: Dari Industri Hingga Pasar Unik, Ini Cara Jawa Tengah Atasi Pengangguran
7. Tak Perlu Jago Masak, Gurihnya Usaha Kuliner Ciptakan 7,5 Juta Tenaga Kerja

April 2019
1. Gotong Royong Era Digital, Pemerintah Siap Online-kan 59,4 Juta UMKM
2. Dianggap ‘Murahan’, Sakdiyah Ma’ruf Tepis Lawan Stigma Negatif Komedian Tunggal Perempuan
3. Mau Ekonomi Kreatif Mendunia, Ini Cara Indonesia Kejar K-Pop
4. Derita TKI Ilegal: Berangkat Miskin, Pulang Miskin
5. Melati Arum, Pilot yang Menerbangkan Cita-Cita Anak Perempuan Indonesia
6. Meet the Leader: Agung Bezharie, Dari Dikira Maling Hingga Bangun 1200 Warung Modern
7. Preview Road to IDF: Sorong Memantik Peluang Masa Depan Inklusif di Indonesia Timur
8. Batik Girl, Boneka yang Memotivasi Ribuan Anak Penderita Kanker dan Disabilitas

Sampai jumpa di IDF 2020, semoga menjadi presenter bukan panitia lagi.
#IDF2019
#KerjaLayak
#PekerjaProduktif

Friday, March 22, 2019

Matinya Si Belang dan Penaklukkan Anak Kucing

Sudah sepekan si belang tak mampir. Biasanya, kucing jantan warna belang abu-abu itu selalu menyambut di depan rumah sewaktu aku pulang. Bila tak dibukakan pintu, dia akan memanjat dinding hingga ke atap lalu sudah tahu jalan masuk lewat saluran air.


Belang Sr yang flamboyan dan tak tahu malu sedang di rumah tetangga (Credit: Mbak Eno). 

Belang satu-satunya kucing yang berani masuk rumah dan tak mempan diusir. Kucing lain segarang apapun di kompleks, pasti langsung kabur saat kami pulang.

Belang bukanlah kucing piaraan kami. Kisahnya bermula ketika kaki belakangnya luka setelah bertarung entah dengan pejantan yang mana. Kami bawa masuk ke rumah, lukanya dirawat dengan obat merah, dan Whiskas untuk dia mamah (belakangan saya baru tahu, Felibite lebih murah). Sejak itu, Belang selalu menganggap rumah kami sebagai tempat tinggalnya.

Ketika kami berangkat kerja atau pergi keluar, Belang pun akan melancong entah ke mana. Tapi ketika melihat salah satu di antara kami pulang, dia bergegas menghampiri. (Kecuali kalau sedang asyik dengan kucing betina, cuekin deh)

Belang tahu terima kasih. Dia piawai menangkap tikus, memisahkan kepala dari badan, sampai rumah kami tak disatroni hewan pengerat itu  lagi. Pernah sekali dia buang kotaran hingga saya marah bukan kepalang. Belang tak pergi, tapi dia lekas belajar bahwa kalau mau buang kotoran mesti keluar rumah.

Belang itu kucing cap playboy tapi penakutnya setengah mati. Dia selalu kalah berantem dengan kucing jantan --minus si boy, kucing kalem punya tetangga. Tapi urusan ngejar cewek, dia nomor satu di Casa Gardenia.

Betina yang baru melahirkan beberapa hari saja sudah digoda. Sering kami melihat dia bercumbu dan bermain cinta di depan rumah.

Saya sering berkelakar ke Baiquni.

"Nanti kalau ada tetangga minta tanggung jawab ke kita karena kucingnya dihamili Belang gimana?"

Satu yang bikin risih, Belang sering minta dimanja tanpa lihat situasi. Dia ndusel ketika melihat saya tanpa peduli apakah sedang sibuk atau tidak. Padahal, Belang sering saya kerjain. Ekornya sering saya tali dengan pita atau kresek. Badannya sering saya semprot dengan kisspray karena dia susah sekali dimandiin.

Hingga suatu ketika, Belang tak pulang padahal dia mau disunat. Tak ada firasat, paling juga nanti balik lagi atau sedang  menginap ke rumah tetangga buat hamilin kucing betina. Biarlah, toh beberapa hari lagi akan dikebiri.

"Mbak, Belang aku lihat luka. Kalau luka ga bisa disunat," kata tetangga.

Ketika luka, saya pikir dia akan ke rumah. Tapi ternyata tidak. Belang lenyap pergi dan tetangga tidak ada yang tahu.

"Kelihatannya Belang ga selamat, pas aku lihat lukanya parah, Mbak," prediksi tetangga.

Baiklah, mungkin sudah nasib Belang. Tapi ternyata ada yang hilang setelah Belang pergi. Tidak ada lagi yang menyambut waktu pulang. Tak ada lagi ndusel yang menganggu. Tak ada lagi dapur berantakan, bunyi glodakan, saat dia sibuk mengejar tikus. Saya kehilangan.

Hingga suatu ketika, waktu beli daging ayam, saya melihat dua anak kucing bermain, salah satunya punya bulu dan raut muka seperi Belang. Awalnya, tukang daging meminta saya mengadopsi keduanya agar gak rewel. Tapi saya menolak, dengan alasan susah bawanya dan ribet perawatannya.

Dalam keadaan hujan, saya membawa anak kucing dalam kardus yang dibungkus kresek besar merah.

Wajah dan warna bulu memang boleh sama, tapi ternyata tabiat berbeda. Anak kucing yang saya beri nama Belang Jr ini ternyata tertekan saat di rumah. Tak mau dipegang, tak mau makan. Dipegang hanya diam dengan telinga yang menekuk tanda ketakutan.

Waktu diturunkan, dia bersembunyi di pojokan gelap. Dikasih daging ayam dan Felibite juga tak keluar dari keremangan.  Muka Belang Jr ketakutan sampai matanya sembab.

Belang Jr, ketakutan di pojokan

Saya merasa bersalah.

"Kalau ketakutan gini terus, dibalikin aja, kasihan. Kamu kayak nyulik dan misahin dari keluarganya," kata Baiquni.

Baiquni benar. Sampai Ahad esok, jika Belang Jr belum ceria seperti di tempat asalnya, saya akan mengembalikan ke tempat semula. 

Wednesday, March 13, 2019

Renungan Februari: Soal Hukum, Bisakah Poligami Dinilai Setara dengan Perbudakan?



Kali ini saya sepakat dengan Partai Solidaritas Indonesia soal sikapnya yang antipoligami. Memang soal yang lain tidak? Ya, banyak hal yang tidak saya sukai dari PSI. Mulai dari remeh temeh panggilan bro-sis yang cheesy, hingga ternyata arah pergerakan yang memilih populis daripada progresif.

"PSI itu seperti PRD zaman dulu ga sih? tanya saya.

"Oh tidak, kita tidak seperti PRD yang radikal," jawab salah seorang teman yang kebetulan kader PSI.

Padahal, mungkin akan saya pilih kalau PSI seperti PRD, terjun ke masyarakat, advokasi buruh tani dan kelompok minoritas langsung di lapangan.

Anyway, tulisan ini bukan tentang PSI tapi tentang poligami. Sebelumnya, saya pernah menulis tentang para jomblo yang ditindas oleh praktisi poligami. Bacanya di sini

Saya banyak belajar dari buku, mendengarkan ceramah, dan mengelaborasi itu dengan pikiran saya sendiri. Bila,  ketemulah beberapa jawaban di bawah ini. Saya tidak akan berpanjang lebar kali tinggi saat menjelaskan pendapat. Disclaimer-nya, monggo bila beda pendapat.

Ingin berdiskusi juga silakan. Hanya saja, saya tidak mau terima diskusi yang sifatnya ad hominem. Contoh, "Dasar liberal,  masuk neraka," dan sebagainya. Serang argumen bukan orangnya. Sip ya...

Poligami diijinkan karena jumlah perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Perbandingannya perempuan dan laki-laki 4:1. 
Jumlah laki-laki justru lebih banyak dibanding perempuan. Data PBB (2015) menunjukkan bahwa perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 101:100. Kalau ada 100 orang hetero berjodoh, pasti ada 1 laki-laki jomblo.   Tapi kalau melewati usia produktif, di atas 65 tahun, jumlah nenek di dunia lebih banyak daripada kakek. Jadi kalau mau poligami, nikahilah perempuan berusia 65 tahun ke atas. Begitu pula yang terjadi di Indonesia. Ga percaya? Cek aja BPS. Jumlahnya 101,3 laki-laki banding 100 perempuan.  

Poligami itu sunnah nabi karena dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW
Ada banyak beda pendapat soal ini. Mengutip dari KH Marzuki Wahid,  kalau pernikahan poligami yang 8 tahun itu sunnah. Apa kabar pernikahan monogami Rasul dengan Khadijah yang sampai 28 tahun? Apakah bisa dikatakan monogami itu wajib? Atau sunnah yang lebih diutamakan daripada poligami? Setelah Khadijah meninggal, Rasul sempat menduda 1-3 tahun (beda-beda tahun berdasarkan literasi yang saya baca). Jadi menurut saya, poligami itu mubah atau boleh. 

Kalau poligami mubah, kenapa mesti ditolak? 
Karena poligami, selain yang dicontohkan nabi, jauh dari asas keadilan. Keadilan bagi istri, keadilan bagi anak (ini yang jarang sekali dipertimbangkan oleh para pelaku poligami, perasaan dan hak anak), tentu juga keadilan bagi laki-laki pecari jodoh seperti poin pertama. Manusia sulit berbuat adil karena itu "Nikahilah satu saja!" (an-Nisa: 3)

Tapi kan ga apa-apa, mending mana poligami atau selingkuh atau zina?
Ngelus dada kalau ada yang pendapat seperti ini. Antitesis poligami adalah monogami. Sedangkan antitesis selingkuh adalah setia. Kalau menganggap bahwa antitesis selingkuh adalah poligami, mungkin kita perlu belajar mengenai ilmu logika lagi. Banyak kok laki-laki setia dengan satu istri bahkan ketika pasangannya sudah meninggal. #LirikBokap


Nafsu laki-laki kan lebih gede daripada perempuan?
Katanya, laki-laki punya 9 akal satu nafsu sementara perempuan sebaliknya. Masak kesembilan akal itu ga bisa mengendalikan satu nafsunya. 

Kalau istrinya lagi mesntruasi terus suami lagi 'pengen'? Kalau istri lagi capek tapi suami 'pengen'?
Kalau istri lagi mentsruasi tapi suami 'pengen', kan bisa pakai tangan. Sini istrinya aku ajarin. --Sensor--. Lagian ya, dibalik, kalau suami lagi capek terus istri lagi pengen gimana? masak istri boleh nambah suami? Tidak bukan?

Kalau istri mandul?
Coba pertanyaan ini dibalik. Kalau suami yang mandul? Pulangkan saja, aku pada ibuku atau ayahku... (lagu karaoke di bus) Berdasarkan riset dokter, keberhasilan punya anak atau tidak itu dipengaruhi oleh faktor istri (30%), faktor suami (30%) dan sisanya adalah eksternal yang sulit didefinisikan. 

Jadi maumu apa? Mau menolak hukum Tuhan?
Pertanyaan ini dilontarkan oleh seseorang setelah saya berargumen panjang lebar seperti di atas. Mau saya adalah memandang hukum poligami seperti hukum perbudakan. Islam tidak melarang perbudakan, sampai dibikin bahasa alus  'hamba sahaya'. Tapi zaman sekarang, slavery kan dilarang. Begitu pula dengan poligami. Atas dasar kemanusiaan dan keadilan, poligami mestinya dianggap seperti itu. Itu istrimu, Qs ar-Rum ayat 21 menyebut istri adalah zauj yang artinya 'pasangan' bukan 'bawahan'. 

Saya kutip sebuah tulisan lepas yang pernah saya cantumkan jua di tulisan lama pertengahan 2018 lalu. 


"... Ya, memang benar, kesaksian perempuan pada zaman Nabi ‘hanya’ diberikan bobot setengah dari kesaksian laki-laki. Namun perlu dicatat, sebelum agama Islam datang, kesaksian perempuan sebelumnya sama sekali tidak dianggap.

Ya, memang benar hak waris anak perempuan pada zaman Nabi ‘hanya’ dihitung setengah dari hak waris anak laki-laki, namun perlu digarisbawahi, sebelum agama Islam datang, anak perempuan bahkan tidak mempunyai hak waris sama sekali.

Ya, adalah benar poligami diperbolehkan oleh Nabi dengan batasan 4 orang istri, namun mohon juga dicermati bahwa sebelum agama Islam datang, seorang perempuan dapat ‘dimiliki’ dengan jumlah yang tidak terbatas oleh suaminya.

Catatan-catatan sejarah di atas mungkin baru sedikit dari sekian banyak catatan perbaikan yang dibawa oleh Nabi lewat ajaran agama Islam. Adalah tidak adil jika kita tidak menganggap sekian banyak torehan catatan sejarah tersebut sebagai bentuk pergerakan menuju kebaikan yang diperjuangkan oleh Nabi lewat ajaran agama Islam.

Apakah kondisi perempuan muslimah zaman Nabi lantas dianggap sudah sempurna? Jika kesempurnaan hanyalah milik Allah, proses menuju sempurna adalah ikhtiar umat manusia. Alih-alih bersikap apologetic, maka tantangan yang dihadapi Islam dalam menjawab pertanyaan terkait kedudukan dan peranan perempuan di dalamnya harus dihadapi dengan kritis dan terbuka. Dengan berani memilah nilai-nilai Islami mana yang bersifat transendental, mana yang bersifat temporal. Mana yang merupakan peninggalan tradisi kebudayaan Arab, mana yang merupakan esensi moral dari Islam itu sendiri..." 

Sekian, semoga kita menjadi bagian orang yang penuh rasa empati dan mengasihi kepada sesama. Seperti tulisan saya bulan lalu, celotehan ini disponsori oleh otak yang ga jalan ketika ngerjain tesis dan kerjaan tapi seketika lancar ketika mikirin yang macam-macam.**

Semua gambar di sini diambil dari shutterstock

Friday, January 25, 2019

Renungan Januari: Apa kabar masa lalu?

Januari belum berakhir tapi sudah bikin renungan, yo'opo seh. Tapi renungan ini disponsori oleh there is nothing i can think about my thesis saking buntunya otak mau mulai dari mana.

Monkey Majik, jenis musiknya kayak Float, genre campur baur (foto: Toronto Sun)

Sesuatu yang membuat hamba merenung di bulan Januari adalah unduhan aplikasi spotify di laptop dan telepon genggam. Awalnya tidak ada niat mengunduh meski Baiquni 'ngompor'. Ngapain, buang-buang data internet buat sesuatu yang ga efisien? Ya kan... 

Tapi nyatanya kesehatan jiwa ga ada hubungan dengan efektif dan efisiennya sesuatu. Pusing mikirin pekerjaan dan tugas kuliah sementara sudah teramat bosan dengan daftar lagu yang tersimpan di laptop, akhirnya memutar dari spotify dengan memanfaatkan laptop Baiquni untuk mutar dan laptop sendiri buat kerjaan.

Lah malah ga hemat listrik dan internet kan. Diketawain sama Bojo. Ya udah ya, unduh sendiri saja. Voila, saya bisa mendengarkan lagu tanpa batas,  penyanyi favorit di zaman dahulu kala termasuk Monkey Majik dan Clazziquai.

Namun saya baru sadar, ada efek lain dari mendengarkan lagu kesuakaan selain kegembiraan dan menenangkan. Seperti memandang hujan yang menyisakan genangan dan kenangan, begitu pula lagu. Genangan nada dan syair, serta kenangan yang tak segaja tersesap.

Maliq & d essentials-nya Korea (Foto: Hello K-Pop)

Bapak psikoanalisis, Sigmund Freud (tuh kan, nyebut nama ini orang dan dengerin lagu sontak membuat saya teringat mas Psikologi Unair 2006 yang pernah ngobrol bareng dan saya taksir tapi Tuhan lebih menyanginya dibanding para perempuan yang jatuh cinta padanya) emosi yang tertahan bisa menyebabkan ledakan emosi berlebihan, maka dari itu diperlukan sebuah penyaluran atas emosi yang tertahan tersebut. Penyaluran emosi yang konstruktif ini disebut dengan katharsis.

Nah, mendengarkan lagu itu katharsis. Mengeluarkan emosi-emosi terpendam. Kenangan masa lalu yang belum tuntas dan selesai.

Lagu-lagu lama di spotify mengantarkan saya ke gerbang masa lalu yang terekam di otak. Tentang kesalahan-kesalahan masa lalu, apa yang saya lakukan di Surabaya, di Kediri, bahkan ketika masih di Jakarta. Saya teringat kantor-kantor lama, saya luapkan kerinduan ke beberapa teman dari mantan kantor.

"Aku sebenarnya pengen banget tetap di sini, tapi aku ga mampu kalau harus pulang pergi 4 jam dari rumah di Bogor dan kantor di Palmerah. Aku udah ga punya nyali buat ngotot ngejar berita sampai berani ngehadangin motor di depan gerbang rumah pensiunan jenderal. Aku udah ga berani keluar sendirian di atas jam sebelas malam. Aku sudah ga seperti dulu" dan Alfiyah, teman kantor lama, mengangguk mahfum.

Lagu-lagu lama juga mengingatkan pada mantan yang dari sepuluh tahun lalu belum pernah ketemu. "Aku berharap ga ketemu dalam keadaan sendirin, harus ada Baiquni. Kalau ga, aku jadi pengen ngaplok," kata saya.

Bukan karena kangen atau masih cinta, tapi kemarahan di masa lalu ternyata belum benar-benar surut. Dan ada kejadian di bulan Januari yang membuat emosi itu meluap lagi, selain spotify pastinya. Tika, teman kuliah saya dari Surabaya yang tahu kisahnya langsung tergelak.

Harusnya teori "Karena terlalu dekat, kita tidak pacaran"nya Pengabdi Setan tak boleh dilanggar. Karena bisa runyam.

Jadi mengapa sebuah lagu bisa membuat kita terkenang masa lalu?

Istvandity (2015) membuat makalah berjudul "The lifetime soundtrack: Music as an archive for autobiographical memory". Isinya menjelaskan bahwa seluruh atribut yang ada di lagu seperti lirik, suara estetika, teknologi, dan entrainment memang berfungsi dengan cara  sebagai arsip untuk memori. Karena itulah banyak pendidikan yang terselip di lagu anak.

 "Seperti dendam, rindu harus dibayar lunas" Eka Kurniawan.