Sunday, September 23, 2018

Refleksi Agustus: Islam itu Maju, Bukan Mundur

Disclaimer, tulisan ini sangat subjektif dan berdasarkan pengalaman penulis. 

Awal Agustus lalu, saya sempat berdiskusi dengan suami tentang niat mengikuti acara Tetirah Cirebon akhir bulan nanti. Saya tertarik dengan acara ini setelah sepekan sebelumnya mengalami pergolakan batin atas pertanyaan-pertanyaan yang sampai saat ini, suami pun tak bisa menjawab. Mungkin setiba di Cirebon nanti, saya bisa mendapatkan jawaban, setidaknya tak bingung dan berniat 'lari' lagi.

"Ga apa-apa kamu berangkat ke Cirebon, tapi aku harap rencana luar kotamu dikurangi satu," kata dia.

Bulan Agustus dan September memang banyak 'mbolang'. Setelah mengantar mertua pergi haji awal Agustus, saya memang bertolak ke Surabaya beberapa hari, bertemu teman lama. September, saya dan suami akan pulang kampung bersama menyambut kedatangan mertua dari tanah suci.  Pertengahan September, saya ke Kuantan Senggigi-Pekanbaru, Riau, karena salah seorang sahabat menikah.


"Bagaimana kalau yang ke Riau-nya saja yang dibatalkan," katanya lagi setelah saya menceritakan alasan mengapa Tetirah Cirebon sangat berarti.

"Banyak tenaga dan waktu yang harus dikorbankan,  pekerjaanmu juga bakal banyak yang tersendat kalau terlalu banyak keluar kota,"

Akhirnya, saya pun mengurungkan niatan ke Cirebon akhir Agustus lalu.

**

Bagi saya, niatan pergi ke Cirebon penting untuk menjawab pertanyaan mengapa Islam yang saya kenal dari beberapa orang terdekat justru membuat berjalan mundur. Mungkin bagi orang lain, itu bentuk kepasrahan, tapi pikiran saya malah menunjukkan ketertinggalan. Berikut ini ucapan-ucapan yang membuat dahi saya mengernyit keheranan.

"Perempuan itu masuk surga gampang, cukup manut dengan kehendak suami. Manut saja, surga lho, Ndar" kata salah seorang sahabat setelah melihat saya menolak saran suami untuk menggunakan jaket di siang hari lantaran terlalu gerah.

"Bahkan ketika istri menjilat nanah suami, tetap saja dia tak bisa membalas pengorbanan suami," kata ustadz yang berdakwah di Radio Samara Tulung Agung, mengutip Hadis Riwayat Ahmad.

Tak hanya seksis, anjuran ini seolah memaksa perempuan menuhankan suami masing-masing. Dan saya menolak itu, karena saya hanya percaya Allah melebihkan satu dari yang lain bukan yang satu punya kelebihan yang lain tidak. Artinya masing-masing mempunyai kelebihan dari yang lain (Shihab, 2005)

Salah seorang teman mengatakan perempuan hendaknya mengizinkan suami poligami bila suaminya baik. Karena suami itu bukan milik istri, dan sayang sekali laki-laki unggul tidak dimanfaatkan untuk menciptakan  bibit-bibit unggul lainnya.

Saya nyaris tersedak mendengar ucapannya. Ingin saya mengatakan, kalau begitu, berarti suami tak boleh memaksa istri hanya di rumah kalau istrinya mempunyai kemampuan yang sangat bermanfaat bagi umat. Sayang sekali perempuan unggul hanya dipingit di dalam rumah. Kalau kuantitas dihitung, harusnya aktivis-aktivis perempuan yang berguna bagi orang banyak lebih mulia dibandingkan ibu rumah tangga saja.

Topik terakhir menjadi diskusi saya dengan suami sebelum menikah. Dan kami sepakat, perempuan tak boleh terkungkung di rumah ketika dia mempunyai manfaat bagi orang banyak. Baik laki-laki maupun perempuan, semakin dia bermanfaat bagi orang banyak, maka akan semakin baik.

Ini baru percakapan pribadi dengan sejumlah orang-orang terdekat. Belum lagi pergolakan batin setelah kebijakan pemerintah daerah terkait pembatasan. Beberapa qanun di Aceh justru mengkriminalisasikan perempuan. Perempuan dilarang keluar malam, makan di warung sendirian, dan lain sebagainya. Ini salah satu beritanya qanun untuk perempuan , tentu masih banyak cerita yang lain.

Bagi saya, qanun-qanun seperti ini justru membuat Aceh mundur ke belakang. Masih ingat, ketika RA Kartini perlu berteriak lewat surat ke pemberharu Belanda karena perempuan Jawa didomestifikasi, perempuan-perempuan Aceh justru sudah berani angkat senjata karena peraturan di sana kala itu memandang perempuan setara dengan laki-laki.

Tak perlulah disebutkan satu persatu pahlawan perempuan dari bumi Serambi Mekah. Tapi kiprah para heroine dari Aceh ini sudah tak diragukan lagi.

Simak tulisan cicit Tjut Meutia yang saya kutip dari sini Indonesiana

"....sejarah pernikahannya. Cut Meutia tercatat menikah tiga kali. Pernikahan pertama dengan Teuku Syamsarif adalah hasil perjodohan—hal yang lazim dalam adat istiadat Aceh di kalangan bangsawan pada saat itu. Namun, suami pertamanya itu lebih condong dan kooperatif dengan Belanda. Cut Meutia tak suka, sehingga perceraian tak terelakkan. Cut Meutia kemudian menikah dengan adik mantan suami pertamanya, yakni Teuku Muhamad, atau yang lebih dikenal sebagai Teuku Cik di Tunong. Suami keduanya anti Belanda dan aktif berjuang melawan pendudukan Belanda....

...Cut Nyak Meutia adalah perempuan cerdas dan tangguh. Dia bukan tipe perempuan yang hanya bertindak di belakang layar (misalnya, ‘cuma’ mengatur strategi atau mengurus anak atau logistik di garis belakang), tapi dia juga aktor utama dalam pertempuran di garis depan, yang tak kalah vital perannya bagi moral pasukan--

--Selama Cut Meutia hidup di hutan, literatur yang saya baca menyebutkan, Teuku Raja Sabi, putera semata wayangnya, diasuh dan dibesarkan oleh para lelaki maupun perempuan dalam pasukan pimpinan ibunya. Mulai dari ulama yang menjadi guru mengaji hingga guru bela diri.  Jadi, kalau jaman sekarang, ibu-ibu lain pamit berangkat kerja, pergi mengaji atau berdagang, Cut Nyak Meutia pamit untuk pergi berperang. “Dan jika Ibu tak kembali, tugas kamu selanjutnya melanjutkan perjuangan kami,” begitulah senandungnya ketika menidurkan anak tunggalnya itu""

Dari situ kita belajar bahwa di Aceh, saat itu, perempuan dan laki-laki tak hanya mempunyai kedudukan setara tetapi juga tentang kerja kolektif. Teuku Raja Sabi dibesarkan secara kolektif baik oleh perempuan maupun laki-laki. Di banding Jawa, konsep ini tentu lebih progresif dibanding Jawa saat itu di mana perempuan hanya konco wingking, surga nunut neraka katut. Tentu di sini, saya tak berbicara tentang para ibu suri di kerajaan Jawa yang menjadikan anaknya sebagai raja boneka karena itu preseden.

Nah, bila di abad 17-19, Aceh demikian berpikiran terbuka, mengapa saat ini justru mundur terbelakang? Qanun pembatasan kiprah perempuan justru diagung-agungkan, namun luput mengawasi persoalan korupsi dari para pemangku kebijakan dan pembangunan yang lebih inklusif.

Sebagai informasi, indeks pembangunan inklusif di Aceh masih di bawah nasional. Provinsi ini  masuk dalam 10 besar yang indeksnya terendah. Pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan dan pengurangan kemiskinan, serta perluasan akses dan kesempatan di sana jauh lebih rendah dibanding provinsi lain. (Sumber data bisa dijapri ke saya).

Apakah benar karena penerapan hukum Islam di sana menyebabkan Aceh sedemikian mundurnya? Padahal seperti yang kita ketahui, Aceh saat kiprah laki-laki dan perempuan setara, menjadi kerajaan Islam yang kaya.

Itu baru satu kasus, belum lagi contoh lain yang justru membuat saya berpikir apakah benar Islam yang sebenarnya seperti ini dan saya harus tunduk dengan tafsir seperti demikian. Benarkah Tuhan menciptakan wujud perempuan sebagai aspek yang di sub-dominasikan? Pandangan ini jelas sulit diterima nalar saya.

Nah, alasan inilah yang membuat saya ingin mengikuti Tetirah Cirebon. Saya menganggap ulama-ulama dari sini begitu progresif dan mempunyai pemikiran yang terbuka. Bayangkan, saat ustadz-ustadz lain sibuk menyerukan nikah muda, poligami, dan fokus pada mewujudkan konsep perempuan yang ideal dengan fokus pemoralan perempuan, ulama-ulama di Cirebon sudah  membicarakan tentang pentingnya pendidikan perempuan, perlawanan terhadap kekerasan seksual, pembatasan pernikahan usia anak, advokasi buruh migran, pembangunan desa, peran mengatasi krisis dan konflik kemanusiaan, sampai melawan pengrusakan alam.

Pandangan-pandangan ini membawa oksigen bagi saya. Begini lho, Islam itu maju melebihi zaman. Tetirah Cirebon, saya dengar, membahas tentang peran perempuan pada masa awal Islam  yang cukup signifikan dalam keberlangsungan komunitas Muslim dengan menjaga mata rantai transmisi tentang kehidupan Nabi saw. Namun sungguh ironi ketika para muhadditsin tidak mempermasalahkan gender dalam periwayatan hadits, tapi generasi berikutnya justru seolah menghalangi perempuan dalam meriwayatkan hadits. Alhasil, peran perempuan semakin lama semakin berkurang dan berujung pada aturan yang timpang sebelah.

Dan mari kita lihat, bahwa nyatanya Islam sangat maju, terutama terkait keperempuanan, di tengah budaya Arab saat itu. Berikut ini sebuat tulisan yang diamini sesuai dengan pemikiran saya. Tak membuat kalimat sendiri, tulisan di bawah ini persis dengan pemikiran saya.

"... Ya, memang benar, kesaksian perempuan pada zaman Nabi ‘hanya’ diberikan bobot setengah dari kesaksian laki-laki. Namun perlu dicatat, sebelum agama Islam datang, kesaksian perempuan sebelumnya sama sekali tidak dianggap.

Ya, memang benar hak waris anak perempuan pada zaman Nabi ‘hanya’ dihitung setengah dari hak waris anak laki-laki, namun perlu digarisbawahi, sebelum agama Islam datang, anak perempuan bahkan tidak mempunyai hak waris sama sekali.

Ya, adalah benar poligami diperbolehkan oleh Nabi dengan batasan 4 orang istri, namun mohon juga dicermati bahwa sebelum agama Islam datang, seorang perempuan dapat ‘dimiliki’ dengan jumlah yang tidak terbatas oleh suaminya.

Catatan-catatan sejarah di atas mungkin baru sedikit dari sekian banyak catatan perbaikan yang dibawa oleh Nabi lewat ajaran agama Islam. Adalah tidak adil jika kita tidak menganggap sekian banyak torehan catatan sejarah tersebut sebagai bentuk pergerakan menuju kebaikan yang diperjuangkan oleh Nabi lewat ajaran agama Islam.

Apakah kondisi perempuan muslimah zaman Nabi lantas dianggap sudah sempurna? Jika kesempurnaan hanyalah milik Allah, proses menuju sempurna adalah ikhtiar umat manusia. Alih-alih bersikap apologetic, maka tantangan yang dihadapi Islam dalam menjawab pertanyaan terkait kedudukan dan peranan perempuan di dalamnya harus dihadapi dengan kritis dan terbuka. Dengan berani memilah nilai-nilai Islami mana yang bersifat transendental, mana yang bersifat temporal. Mana yang merupakan peninggalan tradisi kebudayaan Arab, mana yang merupakan esensi moral dari Islam itu sendiri..."

Seperti penulis, saya juga berandai-andai jika Nabi Muhammad dianugerahi usia lebih panjang oleh Allah, mungkin lebih banyak revolusi kebijakan yang menyangkut perempuan. Saya yakin, kedatangan Muhammad lebih dari sekadar mengusik ajaran lama tapi melawan dominasi yang sudah nyamanmenindas saat itu, majikan terhadap budaknya, laki-laki terhadap perempuan, pemilik modal dan pekerjanya, dan penindasan lain dari manusia terhadap manusia.

Bolehkah saya meyakini, yang ingin Nabi Muhammad tiada, bukan hanya musuh yang berbeda agama tetapi juga orang-orang Muslim yang melanggengkan status quo di peradaban Arab saat itu.

Akhirnya, saya bisa tidur nyenyak hari itu dan tak jadi 'berlari'.

No comments:

Post a Comment