Sunday, September 16, 2018

Riau dan Pikiranku yang Terbalik

"Riau ini luar biasa ya.." gumanku.


Tulisan ini bukan tentang how to go to Riau --karena semudah buka aplikasi Traveloka--, atau bagaimana tinggal di Riau. Tulisan ini tentang kesan parsial setelah tiga hari berada di Riau, jadi serba subyektif dan tak tertstruktur.

Bermula dari undangan sahabat yang akan melangsungkan pernikahan. Dia seorang dosen Universitas Islam Riau --iya, kampus yang presiden BEM-nya demonstrasi turunkan Jokowi itu-- dengan jurusan kriminologi. Rumahnya di Kuantan Sengigi (Kuansing), namun kami diinapkan  di Pekanbaru.

Pernikahannya berjalan lancar. Aku belajar banyak tentang upacara adat perkawinan ala Kuansing. Mulai penjemputan pengantin perempuan ke rumah pengantin laki-laki sebelum akad hingga tradisi kerabat pengantin menari bersama membentuk linggkaran. Menyenangkan.

Tapi ada yang menarik dicermati di luar upacara pernikahannya. Selama tiga hari di Riau, dan mayoritas di Pekanbaru, kota ini gabungan antara Tengerang Selatan, Balikpapan, dan Menteng Jakarta.

Di pusat bisnis dan pemerintahan, dekat patung Tari Zapin Melayu, suasana mirip Jalan Diponegoro Menteng, Jakarta. Jalan lebar dua arah. Kanan kiri perkantoran dengan warna tembok putih. Aku takjub dengan rumah dinas Gubernur Riau. Halamannya luas, dengan atap khas lancang kuning. Di malam hari, rumah dinas ini nampak berkelip dihiasi lampu-lampu warm white. Kurang dari 1 km, ada kantor gubernur.


"Apa gubernur jalan kaki?" tanyaku.

"Ya tidak, mbak, pakai kendaraan sendiri."

Di malam hari, area ini menjadi tempat berkumpunya anak muda. Aku temui gerombolan anak muda mengendarai motor tanpa helm.

"Tengah malam, tempat ini jadi lokasi balap motor paling ngehits di sini."

Tak jauh dari tempat itu, ada Masjid Agung An -Nur Pekanbaru. Jujur, aku lebih menikmati masjid ini dari kejauhan daripada jarak dekat. Kubah warna toska-nya menjulang tinggi. Menara-menara di empat sumbu di setiap kutubnya. Kolam air terhampar di depan masjid. Sekilas mirip Taj Mahal.


Puas hati berfoto bersama, kami menyantap kerupuk mie --kegiatan ini Ahad pagi ya. Semacam kerupuk singkong yang dibuat lingkaran dengan diameter 15-20 cm, orang Jawa menyebutnya sermier. Di atas kerupuk itu, ditaruhlah bihun dengan kuah bumbu sate padang. Rasanya pedas dan mengenyangkan. Cara makan dengan kerupuk mengingatkanku akan pecel semanggi Surabaya.
Enak mana? Lidah Jatim saya mengatakan, jelas enak pecel semanggi. Tapi penyuka mie aceh atau makanan Padang pasti suka dengan rasanya.

Saat menyantap kerupuk mie, mata saya terserobok dengan spanduk #GantiPresiden2019 yang ditempelkan di tembok area masjid.

Selain bernuansa Menteng, ada tempat konkow anak muda di sekitar Paus Ujung yang serasa di Tangerang Selatan. Alias tempat ngumpul banyak. Lampu tidak seterang Jakarta tapi kendaraan padat. Di sini aku bertemu dengan beberapa teman lama. Obrolan kami membuat aku ingat, kalau Gubernur terakhir, sebelum yang saat ini menjabat, semua tertangkap KPK.

Hattrick!! Selamat ya Riau.  Luar biasa, bagaimana mungkin kita bisa melakukan kesalahan yang sama hingga tiga kali.

Luar Pekanbaru, Kesenjangan Pembangunan?

Dua hari pertama di Riau, aku menjalani ritual siang jam 11 pergi ke Kuansing, jam 7 sore sampai lagi ke Pekanbaru. Keluar masuk Pekanbaru-Kuansing yang jaraknya ditempuh 3,5 jam bukan ukuran Jakarta, tentu aku sudah kenyang dengan pemandangan.

Kiri kanan, kulihat saja, banyak pohon sawit di mana-mana. Ditambah jalan yang berkelok, saya khawatir nanti Xenia yang ditumpangi menjadi rongsok. Mahasiswa yang menjadi sopir kami begitu semangat mengendarai, sampai-samapi kami yang di kursi penumpang, terpelanting hingga kepala terantuk langit-langit mobil. Anak muda, bisakah pelankan setiranmu?!

Meski bersusah payah menjaga keseimbangan, saya sempat mengamati kondisi di sepanjang perjalanan.

"Itu calon jembatan baru?" tanyaku kepada mahasiswa yang menyopiri kami ketika melihat beberapa tiang pancang yang tegak berdiri di aliran sungai Kampar.

"Bukan, Bu, itu yang tidak jadi dibangun," jawabnya. Bagus, Nak, panggil saja aku ibu, biar sadar usia.

"Kasus korupsi kah?" tanya teman saya.

"Kurang tahu, Bu,"

Teruskan, biar para ahjumma-ahjumma ini sadar diri kalau akhir 20-an atau awal 30-an itu sudah usia senja.

But, anyway, selain hutan sawit dan jembatan yang urung selesai itu, ada suasana yang berbeda dari Ibukota Riau sepanjang jalan Pekanbaru-Kuansing. Di malam hari terasa gelap karena tanpa penerang. Jalan nampak mulus tapi nyatanya bergelombang saat dilewati. Beberapa rumah  berdinding kayu, ada pula yang bambu.

Sementara lawan kami ialah teman-teman optimus prime yang menyaru jadi pengangkut sawit. Untungnya tak semenyebalkan angkot di Bogor (ditungguin malah berhenti, disalip malah ngegas) melainkan tak segan melaju kencang. Saya khawatir di tengah jalan berubah menjadi transformer dan melakukan pertempuran di pinggir tebing. Lebai!

Kondisi ini mengingatkanku pada daerah Indonesia timur. Tapi seingatku, ibu kota provinsi di Indonesia timur tak semegah Pekanbaru.

"Di sini cari bensin mudah kah?"

"Susah, Bu, sering kehabisan, apalagi premium?"

"Ada angkot atau transportasi umum kah?

"Tidak ada Bu, paling cuma Superband, itu pun jarang,"

APBD Riau tahun 2018 sebesar Rp 10 triliun sedangkan APBD Jawa Timur 30 triliun. Kira-kira bisa tidak, capaian pembangunan Riau, sepertiga Jawa Timur saja. Harusnya sih bisa.

Menurut Indeks Pembangunan Ekonomi Inklusif yang dibuat oleh Bappenas (Saya punya hasilnya untuk seluruh  Indonesia di tahun 2007. Kalau berminat japri saja). Indeks Pembangunan Ekonomi Inklusif Riau jauh di bawah nasional. Di luar Pulau Jawa dan Bali, Riau masih kalah dibanding Sulawesi Utara atau pun Kalimantan Tengah. Riau hanya lebih baik dari pada 0,05 poin dari provinsi terbungsu Kalimantan Utara. Tapi dia lumayan baik dibanding Aceh, Papua, Papua Barat, Maluku, dan mayoritas Indonesia timur lain.

Mendiami Riau sekitar tiga hari menghasilkan syukur di hati. Beruntung, aku tinggal dan besar di Jawa Timur. Aku tak perlu setangguh penduduk di sana menghadapi medan yang menantang dan pengabdian setengah hati. Setidaknya aku tak perlu susah payah bersabar.

No comments:

Post a Comment