Friday, March 22, 2019

Matinya Si Belang dan Penaklukkan Anak Kucing

Sudah sepekan si belang tak mampir. Biasanya, kucing jantan warna belang abu-abu itu selalu menyambut di depan rumah sewaktu aku pulang. Bila tak dibukakan pintu, dia akan memanjat dinding hingga ke atap lalu sudah tahu jalan masuk lewat saluran air.


Belang Sr yang flamboyan dan tak tahu malu sedang di rumah tetangga (Credit: Mbak Eno). 

Belang satu-satunya kucing yang berani masuk rumah dan tak mempan diusir. Kucing lain segarang apapun di kompleks, pasti langsung kabur saat kami pulang.

Belang bukanlah kucing piaraan kami. Kisahnya bermula ketika kaki belakangnya luka setelah bertarung entah dengan pejantan yang mana. Kami bawa masuk ke rumah, lukanya dirawat dengan obat merah, dan Whiskas untuk dia mamah (belakangan saya baru tahu, Felibite lebih murah). Sejak itu, Belang selalu menganggap rumah kami sebagai tempat tinggalnya.

Ketika kami berangkat kerja atau pergi keluar, Belang pun akan melancong entah ke mana. Tapi ketika melihat salah satu di antara kami pulang, dia bergegas menghampiri. (Kecuali kalau sedang asyik dengan kucing betina, cuekin deh)

Belang tahu terima kasih. Dia piawai menangkap tikus, memisahkan kepala dari badan, sampai rumah kami tak disatroni hewan pengerat itu  lagi. Pernah sekali dia buang kotaran hingga saya marah bukan kepalang. Belang tak pergi, tapi dia lekas belajar bahwa kalau mau buang kotoran mesti keluar rumah.

Belang itu kucing cap playboy tapi penakutnya setengah mati. Dia selalu kalah berantem dengan kucing jantan --minus si boy, kucing kalem punya tetangga. Tapi urusan ngejar cewek, dia nomor satu di Casa Gardenia.

Betina yang baru melahirkan beberapa hari saja sudah digoda. Sering kami melihat dia bercumbu dan bermain cinta di depan rumah.

Saya sering berkelakar ke Baiquni.

"Nanti kalau ada tetangga minta tanggung jawab ke kita karena kucingnya dihamili Belang gimana?"

Satu yang bikin risih, Belang sering minta dimanja tanpa lihat situasi. Dia ndusel ketika melihat saya tanpa peduli apakah sedang sibuk atau tidak. Padahal, Belang sering saya kerjain. Ekornya sering saya tali dengan pita atau kresek. Badannya sering saya semprot dengan kisspray karena dia susah sekali dimandiin.

Hingga suatu ketika, Belang tak pulang padahal dia mau disunat. Tak ada firasat, paling juga nanti balik lagi atau sedang  menginap ke rumah tetangga buat hamilin kucing betina. Biarlah, toh beberapa hari lagi akan dikebiri.

"Mbak, Belang aku lihat luka. Kalau luka ga bisa disunat," kata tetangga.

Ketika luka, saya pikir dia akan ke rumah. Tapi ternyata tidak. Belang lenyap pergi dan tetangga tidak ada yang tahu.

"Kelihatannya Belang ga selamat, pas aku lihat lukanya parah, Mbak," prediksi tetangga.

Baiklah, mungkin sudah nasib Belang. Tapi ternyata ada yang hilang setelah Belang pergi. Tidak ada lagi yang menyambut waktu pulang. Tak ada lagi ndusel yang menganggu. Tak ada lagi dapur berantakan, bunyi glodakan, saat dia sibuk mengejar tikus. Saya kehilangan.

Hingga suatu ketika, waktu beli daging ayam, saya melihat dua anak kucing bermain, salah satunya punya bulu dan raut muka seperi Belang. Awalnya, tukang daging meminta saya mengadopsi keduanya agar gak rewel. Tapi saya menolak, dengan alasan susah bawanya dan ribet perawatannya.

Dalam keadaan hujan, saya membawa anak kucing dalam kardus yang dibungkus kresek besar merah.

Wajah dan warna bulu memang boleh sama, tapi ternyata tabiat berbeda. Anak kucing yang saya beri nama Belang Jr ini ternyata tertekan saat di rumah. Tak mau dipegang, tak mau makan. Dipegang hanya diam dengan telinga yang menekuk tanda ketakutan.

Waktu diturunkan, dia bersembunyi di pojokan gelap. Dikasih daging ayam dan Felibite juga tak keluar dari keremangan.  Muka Belang Jr ketakutan sampai matanya sembab.

Belang Jr, ketakutan di pojokan

Saya merasa bersalah.

"Kalau ketakutan gini terus, dibalikin aja, kasihan. Kamu kayak nyulik dan misahin dari keluarganya," kata Baiquni.

Baiquni benar. Sampai Ahad esok, jika Belang Jr belum ceria seperti di tempat asalnya, saya akan mengembalikan ke tempat semula. 

Wednesday, March 13, 2019

Renungan Februari: Soal Hukum, Bisakah Poligami Dinilai Setara dengan Perbudakan?



Kali ini saya sepakat dengan Partai Solidaritas Indonesia soal sikapnya yang antipoligami. Memang soal yang lain tidak? Ya, banyak hal yang tidak saya sukai dari PSI. Mulai dari remeh temeh panggilan bro-sis yang cheesy, hingga ternyata arah pergerakan yang memilih populis daripada progresif.

"PSI itu seperti PRD zaman dulu ga sih? tanya saya.

"Oh tidak, kita tidak seperti PRD yang radikal," jawab salah seorang teman yang kebetulan kader PSI.

Padahal, mungkin akan saya pilih kalau PSI seperti PRD, terjun ke masyarakat, advokasi buruh tani dan kelompok minoritas langsung di lapangan.

Anyway, tulisan ini bukan tentang PSI tapi tentang poligami. Sebelumnya, saya pernah menulis tentang para jomblo yang ditindas oleh praktisi poligami. Bacanya di sini

Saya banyak belajar dari buku, mendengarkan ceramah, dan mengelaborasi itu dengan pikiran saya sendiri. Bila,  ketemulah beberapa jawaban di bawah ini. Saya tidak akan berpanjang lebar kali tinggi saat menjelaskan pendapat. Disclaimer-nya, monggo bila beda pendapat.

Ingin berdiskusi juga silakan. Hanya saja, saya tidak mau terima diskusi yang sifatnya ad hominem. Contoh, "Dasar liberal,  masuk neraka," dan sebagainya. Serang argumen bukan orangnya. Sip ya...

Poligami diijinkan karena jumlah perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Perbandingannya perempuan dan laki-laki 4:1. 
Jumlah laki-laki justru lebih banyak dibanding perempuan. Data PBB (2015) menunjukkan bahwa perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 101:100. Kalau ada 100 orang hetero berjodoh, pasti ada 1 laki-laki jomblo.   Tapi kalau melewati usia produktif, di atas 65 tahun, jumlah nenek di dunia lebih banyak daripada kakek. Jadi kalau mau poligami, nikahilah perempuan berusia 65 tahun ke atas. Begitu pula yang terjadi di Indonesia. Ga percaya? Cek aja BPS. Jumlahnya 101,3 laki-laki banding 100 perempuan.  

Poligami itu sunnah nabi karena dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW
Ada banyak beda pendapat soal ini. Mengutip dari KH Marzuki Wahid,  kalau pernikahan poligami yang 8 tahun itu sunnah. Apa kabar pernikahan monogami Rasul dengan Khadijah yang sampai 28 tahun? Apakah bisa dikatakan monogami itu wajib? Atau sunnah yang lebih diutamakan daripada poligami? Setelah Khadijah meninggal, Rasul sempat menduda 1-3 tahun (beda-beda tahun berdasarkan literasi yang saya baca). Jadi menurut saya, poligami itu mubah atau boleh. 

Kalau poligami mubah, kenapa mesti ditolak? 
Karena poligami, selain yang dicontohkan nabi, jauh dari asas keadilan. Keadilan bagi istri, keadilan bagi anak (ini yang jarang sekali dipertimbangkan oleh para pelaku poligami, perasaan dan hak anak), tentu juga keadilan bagi laki-laki pecari jodoh seperti poin pertama. Manusia sulit berbuat adil karena itu "Nikahilah satu saja!" (an-Nisa: 3)

Tapi kan ga apa-apa, mending mana poligami atau selingkuh atau zina?
Ngelus dada kalau ada yang pendapat seperti ini. Antitesis poligami adalah monogami. Sedangkan antitesis selingkuh adalah setia. Kalau menganggap bahwa antitesis selingkuh adalah poligami, mungkin kita perlu belajar mengenai ilmu logika lagi. Banyak kok laki-laki setia dengan satu istri bahkan ketika pasangannya sudah meninggal. #LirikBokap


Nafsu laki-laki kan lebih gede daripada perempuan?
Katanya, laki-laki punya 9 akal satu nafsu sementara perempuan sebaliknya. Masak kesembilan akal itu ga bisa mengendalikan satu nafsunya. 

Kalau istrinya lagi mesntruasi terus suami lagi 'pengen'? Kalau istri lagi capek tapi suami 'pengen'?
Kalau istri lagi mentsruasi tapi suami 'pengen', kan bisa pakai tangan. Sini istrinya aku ajarin. --Sensor--. Lagian ya, dibalik, kalau suami lagi capek terus istri lagi pengen gimana? masak istri boleh nambah suami? Tidak bukan?

Kalau istri mandul?
Coba pertanyaan ini dibalik. Kalau suami yang mandul? Pulangkan saja, aku pada ibuku atau ayahku... (lagu karaoke di bus) Berdasarkan riset dokter, keberhasilan punya anak atau tidak itu dipengaruhi oleh faktor istri (30%), faktor suami (30%) dan sisanya adalah eksternal yang sulit didefinisikan. 

Jadi maumu apa? Mau menolak hukum Tuhan?
Pertanyaan ini dilontarkan oleh seseorang setelah saya berargumen panjang lebar seperti di atas. Mau saya adalah memandang hukum poligami seperti hukum perbudakan. Islam tidak melarang perbudakan, sampai dibikin bahasa alus  'hamba sahaya'. Tapi zaman sekarang, slavery kan dilarang. Begitu pula dengan poligami. Atas dasar kemanusiaan dan keadilan, poligami mestinya dianggap seperti itu. Itu istrimu, Qs ar-Rum ayat 21 menyebut istri adalah zauj yang artinya 'pasangan' bukan 'bawahan'. 

Saya kutip sebuah tulisan lepas yang pernah saya cantumkan jua di tulisan lama pertengahan 2018 lalu. 


"... Ya, memang benar, kesaksian perempuan pada zaman Nabi ‘hanya’ diberikan bobot setengah dari kesaksian laki-laki. Namun perlu dicatat, sebelum agama Islam datang, kesaksian perempuan sebelumnya sama sekali tidak dianggap.

Ya, memang benar hak waris anak perempuan pada zaman Nabi ‘hanya’ dihitung setengah dari hak waris anak laki-laki, namun perlu digarisbawahi, sebelum agama Islam datang, anak perempuan bahkan tidak mempunyai hak waris sama sekali.

Ya, adalah benar poligami diperbolehkan oleh Nabi dengan batasan 4 orang istri, namun mohon juga dicermati bahwa sebelum agama Islam datang, seorang perempuan dapat ‘dimiliki’ dengan jumlah yang tidak terbatas oleh suaminya.

Catatan-catatan sejarah di atas mungkin baru sedikit dari sekian banyak catatan perbaikan yang dibawa oleh Nabi lewat ajaran agama Islam. Adalah tidak adil jika kita tidak menganggap sekian banyak torehan catatan sejarah tersebut sebagai bentuk pergerakan menuju kebaikan yang diperjuangkan oleh Nabi lewat ajaran agama Islam.

Apakah kondisi perempuan muslimah zaman Nabi lantas dianggap sudah sempurna? Jika kesempurnaan hanyalah milik Allah, proses menuju sempurna adalah ikhtiar umat manusia. Alih-alih bersikap apologetic, maka tantangan yang dihadapi Islam dalam menjawab pertanyaan terkait kedudukan dan peranan perempuan di dalamnya harus dihadapi dengan kritis dan terbuka. Dengan berani memilah nilai-nilai Islami mana yang bersifat transendental, mana yang bersifat temporal. Mana yang merupakan peninggalan tradisi kebudayaan Arab, mana yang merupakan esensi moral dari Islam itu sendiri..." 

Sekian, semoga kita menjadi bagian orang yang penuh rasa empati dan mengasihi kepada sesama. Seperti tulisan saya bulan lalu, celotehan ini disponsori oleh otak yang ga jalan ketika ngerjain tesis dan kerjaan tapi seketika lancar ketika mikirin yang macam-macam.**

Semua gambar di sini diambil dari shutterstock