Tuesday, September 20, 2016

Jomblowan yang Ditindas Pengusung Poligami

Memahami nasib para jomblowan di zaman sekarang membuat saya mengelus dada. Ya, nasib jomblowan saat ini lebih naas dibanding waktu lampau. Para laki-laki jomblo tak hanya harus bersaing dengan para lajang tetapi juga pengusung poligami. Tentu saja, ini membuat kemungkinan keberhasilan mereka mendapat pasangan semakin kecil.


Source: Koel 


Sejatinya, para jomblo harus bersaing dengan para laki-laki beristri sudah sejak dulu. Tapi, tingkat keberhasilan jomblo kala itu lebih tinggi karena masih banyak perempuan lajang. Saat ini, perbandingan laki-laki dan perempuan nyaris seimbang.

Tentu saja, saya ngomong seperti itu menggunakan data empiris. Jangan percaya pembenaran para pro-poligami yang mengatakan jumlah perbandingan laki-laki dan perempuan itu satu banding empat.

Badan Pusat Statistik membuat laporan dari Survei Sosial Ekonomi Nasional 2014 dan 2015, jumlah peduduk 254,9 juta jiwa. Mohon Bang Haji Rhoma Irama merevisi seratus tiga lima juta jiwa menjadi dua ratus lima lima juta jiwa. Dari total tersebut, penduduk laki-laki mencapai 128,1 juta jiwa sementara perempuan hanya sebanyak 126,8 juta jiwa.

Rasio jenis kelamin, BPS menuliskan bahwa dari 100 penduduk perempuan terdapat 101 penduduk laki-laki. Artinya, dari 100 pasangan akan ada satu laki-laki kesepian. Angka itu belum diperparah dengan mensaling-silangkan rasio jenis kelamin dan usia. Jumlah lansia perempuan lebih besar daripada laki-laki. Jumlah lansia perempuan mencapai 10,77 juta sementara laki-laki hanya 9,74 juta lansia. Jumlah perempuan di usia yang baik dinikahi jelas lebih sedikit.

Inilah yang membuat saya berkata, para jomblowan mengalami penindasan dari para pengusung poligami. Jatah istri direbut dengan ponggah dan mereka ditinggalkan tanpa solusi. Apalagi kampanye poligami yang mengatakan lebih baik poligami daripada zina seolah mengatakan semua laki-laki penganut monogami adalah zina.

Nah, menurut saya ada sesat pikir di sini. Lawan poligami adalah monogami bukan zina. Laki-laki penganut poligami belum tentu bisa menghindari zina, begitu pula monogami.

Kembali ke nasib para jomblowan. Mereka selalu dihina dina dengan kelajangannya, dirongrong untuk segera menikah padahal stock perempuan lajang kian berkurang akibat poligami.

Apa yang mesti para jomblowan tanah air lakukan agar dapat merasakan cinta? Mencari perempuan dari negara lain? Rusia misalnya. Karena di negara Om Putin Penunggang Beruang itu jumlah perempuan lebih banyak dibanding laki-laki, 7,8 juta berbanding 7,4 juta untuk kategori 15-24 tahun.

Tapi para jomblowan jangan buru-buru gembira. Negara tetangga di bawah Rusia, China, jumlah laki-laki lebih banyak daripada perempuan. Rasio perbandingan laki-laki dengan perempuan mencapai 116 berbanding 100. Sampai-sampai di sana mempunyai desa khusus jomblowan. Jadi, daripada LDR ke Indonesia, tentu perempuan Rusia lebih memilih ke China, lebih murah diongkos.

Para jomblowan juga harus bersaing dengan negara lain. Karena ternyata, masalah jomblo ini bukan hanya masalah di Indonesia tetapi juga global. Di Swedia, rasio antara anak laki-laki dan perempuan mencapai 123 berbanding 100. Memangnya, para Jomblowan Indonesia siap bersaing dengan laki-laki lajang dari negara lain yang hidungnya mancung, mata belo, dan tentunya lebih mapan?

Cara lain adalah menikahi nenek-nenek, karena janda perempuan di sektor inilah yang mayoritas penganut poligami enggan sentuh. Benarkah ini misi mulia para jomblowan untuk mengentaskan nasib nenek menopause? Saya rasa tidak. Nanti kalau pasangan ini tidak bisa melahirkan, kembali kita rongrong dengan pertanyaan “Kapan punya anak?”

Belum lagi, sosial budaya di Indonesia masih menjunjung tinggi patriarki. Di mana perempuan itu idealnya mengurusi dapur, sumur, dan kasur suami. Apa tega nenek yang harusnya istirahat di usia senja tapi malah masih berkutat membuat masakan, cuci piring, cuci baju, beserta melayani suami yang masih segar bugar di ranjang?

Sering tak ada jalan lain, para jomblowan memilih berpasangan dengan jomblowan lain. Tak apalah sama jenis kelamin, asal setia. Ternyata juga malah menimbulkan masalah baru. Kita akan umpat dan kutuk mereka sebagai kaum laknat yang dimurkai Tuhan, seperti Sodom dan Gomora.   

Terus jomblowan harus bagaimana? Benar jodoh di tangan Tuhan, tapi kalau tak berusaha dan tak punya peluang, mungkinkah Tuhan berbaik hati? Jodoh mereka ternyata bidadari surga, jadi terima saja nasib sebagai jomblo di dunia.

Jadi para penganut dan pengusung poligami, cobalah sedikit berkasihan dengan para jomblo. Karena itu salah satu mengkahiri penderitaan para laki-laki lajang agar segera mendapatkan pasangan.


Saya rasa syarat adil bagi poligami tak hanya untuk para perempuan yang dinikahi melainkan juga untuk nasib laki-laki lain. 

No comments:

Post a Comment