Tuesday, December 4, 2018

Renungan November: Kisah Nenek dan Ketimpangan Gender yang Dia Rasakan

Asal tahu saja, nenek saya bukan Judi Dench


Semut ireng, anak-anak sapi. Kebo bongkang anyabrang kali bengawan

Akhir November, saya bertemu dengan saudara jauh. Kakeknya adalah adik dari nenek saya. Kami sama-sama kuliah di UI, beda jurusan dan angkatan pastinya. Bertemu saudara  tentu menyebabkan kelindan kenangan muncul kembali.

Salah satu kenangan itu adalah pola pikir orang zaman dulu mengenai pendidikan. Tulisan ini bersifat mengkritisi pola lama yang masih terjadi saat ini, tapi pasti bukan kritik terhadap personal. Bagaimanapun, kakek buyut adalah akar identitas saya pribadi. Kisah ini juga berulang kali saya diskusikan bahwa setiap perempuan berhak mendapatkan pendidikan setinggi apapun mereka mampu.

Kakek buyut, ayahnya nenek dari ibu, adalah aristokrat yang lari dari Solo karena mendapatkan gap tanggung jawab dari orang tuanya lantaran terlahir dari anak selir. Sayangnya pola pikir membeda-bedakan anak masih membelenggunya. Terbukti bagaimana dia memberi pendidikan kepada anak-anaknya.

Seluruh anak laki-lakinya mendapatkan pendidikan yang layak di era itu, zaman sebelum dan awal kemerdekaan. Anak-anak lanangnya ada yang menjadi polisi, tentara, dan guru. Sementara anak perempuan tidak di sekolahkan karena lazimnya zaman itu mereka dipersiapkan ke mahligai pernikahan, keahliannya seputar  dapur, sumur, pupur (berdandan), dan kasur.

Begitu pula yang terjadi pada mbah putri, nenek saya. Dia buta huruf dan menikah di usia belasan tahun dengan duda yang usianya dua kali lipat dan beranak banyak. Naas, suaminya meninggal karena sakit dan dia harus merawat tiga anak usia 6 tahun, 4 tahun, dan 3 bulan.

Dari ibu rumah tangga, nenek saya banting tulang menjadi pedagang sayur di pasar. Dia mulai belajar berhitung, mengenali uang, dan berniaga secara otodidak. Jarak rumah dan tempat sekitar 2 km, dia tempuh dengan jalan kaki sambil menggendong sayur mayur di punggung dan anak dalam gendongan, diiringi 2 anaknya yang lain.  Mungkin karena itu, anak keduanya sakit-sakitan dan terpaksa nenek saya merelakan si tole diadopsi oleh kakaknya yang perekonomiannya lebih bagus.

Mbah putri (perempuan kedua dari kiri). Belakannya adalah kakaknya pensiunan polisi. Mbah yang pakai kopyah hitam adalah adik bungsunya yang jadi kepala sekolah. 


Pengetahuan yang minim tentang kesehatan juga menyebabkan anggapan bahwa anak sakit karena keberatan nama. Sehingga selain diadopsi, nama anak keduanya juga diganti yang lebih simple. Itulah yang menyebabkan nama ibu saya yang terlahir selanjutnya juga teramat sederhana, biar tidak sakit-sakitan.

Bisa membayangkan, kisah janda muda ini? Andai dia mendapatkan pendidikan yang layak mungkin nasibnya akan lain. Bila saja dia bisa membaca, mungkin mengalami pencerahan lewat tulisan-tulisan SK Trimurti, Herawati Diah, atau mungkin pandangan Siti Soendari.

Wartawan perempuan didikan Tirto Adi Suryo yang kebetulan nama sama dengan saya itu pernah bercerita:

Apa faedahnya menyekolahkan gadis-gadis? Biar diajar terbang ke langit sekalipun, kalau tidak pandai memasak nasi dan sayur, maka suaminya tidak akan menyenanginya.”

Dengan kesal Soendari menanggapi, “Ah, ah, kalau memang demikian watak laki-laki, maka lebih baik dia kawini saja tukang masak Gubernur Jendral, pastilah setiap hari dia akan makan enak.” 

Sebenarnya, nenek saya juga ingin bersekolah. Nenek sering bercerita tentang pelatihan barisan fujinkai saat masih muda dan lagu-lagu Jepang yang dia hapal. Harapannya, saat bergabung di barisan ini dia bisa bisa membaca menulis. Namun ternyata tidak. Matanya menerawang saat bercerita. Nenek selalu menyarankan agar cucu-cucunya rajin sekolah di sela-sela suruhan membaca berita di koran.

Setelah perekonomian sedikit membaik, nenek menikah dengan kakek biologis saya. Namun kesialan muncul, kakek biologis saya suka berjudi dan main perempuan lain. Karena berdaya, kali ini nenek tidak pasrah. Tepat ibu saya berusia 7 bulan, nenek menggugat cerai.

Beberapa tahun kemudian, nenek menikah kembali saat ibu masih berusia balita. Kakek inilah yang dianggap ibu sebagai ayahnya. Ibu baru tahu tentang ayah kandungnya saat akan menikah dengan bapak. Berdua, orang tua saya mencari ayah kandung dan mengenal saudara-saudara lainnya. Fyi, kakek biologis saya mempunyai anak empat dan semuanya berasal dari ibu yang berbeda.

Kisah nenek mengajarkan saya untuk menjadi perempuan berdaya, tak takut mengejar mimpi, dan mencari pasangan yang menganggapnya partner setara bukan konco wingking. Meski berulang kali sepupu bercerita, nenek sering berhalusinasi tentang saya sebelum meninggal. Matanya menatap pohon sambil berujar, "Ndar, mudhuno Nduk. Ojo menek duwur-duwur mengko tibo," (Ndar, turunlah Nak. Jangan manjat terlalu tinggi, nanti jatuh). Saat nenek berhalusinasi, saya sedang kuliah di Surabaya. Saya yakin halusinasi itu bukan larangan supaya saya tak terlalu tinggi menggapai mimpi.


Kenangan indah tentang nenek

Nenek saya, lazimnya mbah-mbah yang lain, selalu menyayangi cucunya lebih dari anaknya. Saya ingat, setiap pagi dia memasak nasi goreng dan dihantarkan ke rumah. Sembunyi-sembunyi memberi uang saku biar tidak ketahuan ibu, akan marah kalau anak-anaknya terlalu keras terhadap cucu.

Cuplikan lirik dhandanggula di awal cerita itu adalah tembang yang selalu dinyanyikan sebelum tidur saat menginap di rumah nenek. Arti filosofi semut ireng bisa dilihat di sini.

Nenek juga sering bercerita sebelum tidur. Kisah tentang utak-utak ugel yang ingin meminum lautan untuk menghilangkan rasa hausnya, orang yang rakus dan tak pernah cukup, berakhir dengan malapetaka.

Ada satu lagu lagi, digunakan saat perut kembung masuk angin --penyakit yang sering kumat hingga saat ini. Sambil mengoleskan bawang merah dan minyak goreng ke perut, nenek menyanyikan lagi yang membuat saya tergelak.

"Jembrut metuo, ning njero dadi loro, ning njobo dadi perkoro. Jebus... plompong. Jebus... plompong." (Keluarlah kentut, di dalam menyebabkan sakit, di luar menyebabkan masalah. Puss... leganya. Puss leganya).

Apapun pandangan orang tentang nenek saya, dia tetap menjadi salah satu perempuan terkuat yang pernah saya kenal. Alhamdulilah, saya tidak dilahirkan di era yang sama, ketika perempuan penuh kekangan.

Keyong gondhang jarak sungute, timun wuku gotong wolu. 

No comments:

Post a Comment