Dua pagi terakhir ini,
tak ada kopi untuk Bapak. Emak tetap menjerang air namun tanpa gula, tiada
bubuk kopi. Ekonomi keluarga semakin
terpuruk membuat Emak berhati-hati membelanjakan uang. Lebih baik membeli beras
dan biaya sekolah daripada kopi. Bapak mengalah.
Padahal, sejatinya
secangkir kopi bagi Bapak setiap pagi lebih dari sekadar minuman. Mencium
aromanya dan menyecap rasanya mampu menumbuhkan optimisme sang tulang punggung keluarga. Kopi membuat Bapak
semangat berangkat menguli, memanggul semen, menimbun pasir seraya berharap ada
uang untuk esok hari. Tapi tak apalah, pikir Bapak, esok, siapa tahu ada rezeki
membeli kopi.
Jangan kira, kopi yang diinginkan Bapak seperti yang
dinikmati di cafe, atau franchise
multinasional ternama. Secangkir kopi yang harga termurahnya lebih mahal
dibanding telur sekilo. Tidak, kopi yang biasa bapak minum dibeli curah di pasara. Emak menyangrainya di
atas wajan dengan campuran beras atau jagung kering agar hasilnya lebih banyak.
Disangrai sampai
menghitam di atas kompor kayu yang menghasilkan asap, membuat mata pedas.
Setelah hitam, susah payah Emak menggunakan alu dan lumping untuk menumbuk. Tak
halus memang dibandingkan menggunakan mesin penggiling tapi rasanya lebih kuat dan
setidaknya tak mengeluarkan uang lagi.
Kini, uang membeli
kopi tiada lagi. Semenjak Emak tak bisa lagi jadi buruh tani, keuangan keluarga
kian sulit. Pembangunan perumahan tapak
dan susun telah menggusur sawah-sawah di desa. Perempuan tabah itu kini menganggur. Praktis, hanya
mengandalkan penghasilan Bapak dari menguli. Bapak menjadi tukang bangunan di
apartemen baru yang tak pernah sanggup mereka beli.
Tak mengapa. Emak
sudah cukup bersyukur meski tinggal di
rumah berdinding bambu dan lantai dari campuran pasir dan semen, setidaknya
mereka bisa berteduh. Cita-citanya sederhana,
punya warung kecil di depan rumah. Tempat menjual kopi, gorengan, dan indomie
rebus. Membantu suami mencari nafkah sembari momong si bungsu yang baru gemar berjalan.
Emak meletakkan
segelas air hangat di meja depan Bapak.
“Pak,” panggil Emak.
Bapak menoleh. Dia
sudah menerka istrinya pasti akan meminta sesuatu, permintaan sama seperti
kemarin.
“Tole, sudah ndak mau sekolah. Kemarin masih bisa
Emak bujuk, tapi sekarang tidak,” lanjut Emak.
“Masih soal sepatu?” tanya Bapak.
“Iya, katanya malu
diejek. Sepatunya jebol sampai kelihatan jempol,”
Bapak menghela nafas.
Disruputnya segelas air hangat perlahan. Air mengalir dari rongga mulut hingga
ke perut, tapi rasanya tak cukup melegakan, pikirannya semakin buntu. Berbeda
saat menikmati kopi, pahitnya justru meringankan beban. Mungkin kalau yang dia
cecap saat ini adalah kopi, otaknya
mungkin akan menghasilkan solusi.
Si sulung sebenarnya
bukanlah anak yang penuntut. Masih kelas
empat SD, tapi sangat pengertian. Sepulang sekolah, anak pertamanya hampir tak
pernah bermain. Lekas membantu ibu, dia
mengumpulkan kayu untuk memasak. Badannya kurus tapi gempal karena terbiasa
membawa beban. Kaki kapalan hingga duri tak bisa melukai lagi. Kadang,
sulungnya itu membantu mencari rumput pakan kambing tetangga. Tak dipakai
jajan, uangnya malah diserahkan ke orang tua.
Bapak menyesal.
Semestinya uang itu tak pernah dia gunakan sebagai tambahan belanja beli beras,
lauk pauk, kadang bayar listrik. Jerih payah merumput itu semestinya ditabung untuk beli
sepatu baru. Seharusnya, dia bisa menghemat lebih keras lagi dengan upah nguli lima puluh ribu sehari. Bapak sudah lama
tak merokok, kopi juga sudah tak rutin dibeli. Kini, pengeluaran apalagi yang
harus direduksi?
Ditandaskan segelas
air hangat. “Doakan , semoga hari ini ada rezeki lebih, entah dari mana,” pukul
tujuh pagi, Bapak segera bergegas.
Emak mengangguk.
Diciumnya tangan suami takzim. Guratan kasar di telapak menunjukan lelakinya
seorang pekerja keras, hanya saja mungkin kurang beruntung.
“Hati-hati,” jawabnya
saat melihat suami beranjak pergi.
***
Sepanjang jalan,
pikiran Bapak tak pernah berhenti mencari solusi. Bagaimana cara mendapatkan
uang halal? Dia tak ingin mencuri, apalagi mengambil yang bukan haknya. Bapak
masih punya harga diri.
Ada satu cara
memperoleh uang lebih. Beberapa hari yang lalu, Mandor menawarinya tugas baru
memasang plafon di ballroom apartemen.
Selama ini, dia hanya betugas mengangkut semen, pasir, dan membuat adonan
adukan beton dengan mesin molen. Saat awal bekerja, Bapak meminta kompensasi
tidak disuruh memanjat. Bukan karena malas, dia takut ketinggian. Orang
menyebutnya fobia.
Kemarin, salah satu kuli bagian plafon mengundurkan
diri, belum ada ganti. Bapak bertekad menerima tawaran Mandor. Upahnya lumayan, dua kali gajinya yang
sekarang. Bapak masih takut ketinggian. Tapi bayangan sepatu untuk si sulung,
modal warung istri, dan mencecap secangkir kopi setiap pagi menepis segala
keraguan.
Dengan mantap, Bapak
menghadap Mandor. Diutarakan keinginannya. Dia bersedia di posisi baru.
“Kapan kamu siap?”
tanya Mandor.
“Hari ini juga, Pak,”
jawab Bapak.mantap.
Mandor menunjukan
tugas-tugas yang harus dikerjakan. Ballroom
mempunyai tinggi tujuh meter. Tugas
Bapak membantu tukang utama memasang rangka plafon yang terbuat dari baja ringan.
Para pekerja plafon harus bekerja dengan teliti dan presisi. Keliru sedikit,
plafon tak terpasang rapi.
Bapak takut salah.
Rasanya, perlu minuman yang membuatnya berkonsentrasi. Membayangkan secangkir
kopi, dia menelan ludahnya sendiri.
Pekerjaan dimulai. Langit-langit
yang akan dipasang plafon telah dibersihkan. Penggantung plafon sudah dipasang.
Perlahan, Bapak mulai naik di atas stager.
Rangka plafon akan dipasang ke tiang
penggantung.
Bapak tak sendiri,
tugasnya pun menunggu arahan temannya yang lebih ahli. Sementara yang lain
memasang rangka, Bapak sekadar memegang agar tak goyah. Namun, Bapak gugup
setengah mati. Jantungnya berdebar, baru kali ini dia berdiri setinggi ini. Keringat
dingin mulai mengucur.
“Jangan lihat bawah,
jangan lihat,” Bapak mensugesti dirinya sendiri. Tangannya mulai gemetar. Dia teguhkan hatinya,
tenangkan pikirannya.
“Argh,” tiba-tiba
teman kerjanya berteriak. Belum sempat Bapak mencerna, tangannya tersengat
listrik entah berapa besar arusnya. Dia hilang keseimbangan, kesadaran semakin
lama kian berkurang. Suara keributan sayup-sayup mulai menghilang, yang ada
tinggal kesunyian.
***
“Kami tak menyangka
langit-langit bakal plafon belum benar-benar bersih. Suami ibu dan lima rekan lainnya
terkena aliran listrik yang bocor. Listrik mengenai setelan kuda-kuda yang
dipakai untuk memasang rangka plafon ballroom.Kemudian terjatuh dari ketinggian enam meter,” kata Mandor
menjelaskan.
“Ini mohon diterima.
Besarnya memang tak bisa pernah mengganti kehadirannya suami Ibu. Semoga bisa
membantu,” lanjut Mandor sembari menyerahkan uang dalam amplop.
Emak terdiam. Matanya nanar memandang suaminya yang
telah dimandikan dan terbungkus kain kafan putih. Uang sepuluh juta pemberian
perusahaan kontraktor tempat Bapak bekerja memang bisa digunakan untuk membeli
sepatu sulungnya, bahkan cukup sebagai modal usaha warung. Tapi bagaimana Emak sanggup
mengarungi hidup dan membesarkan dua anak tanpa Bapak. Sandaran hatinya telah
pergi. Air mata kembali mengairi pipi
Emak.
“Silahkan diminum,” suara
kerabat memecah keheningan. Tiga cangkir kopi disajikan untuk Mandor dan dua
tamu laiinya. Secangkir kopi, minuman
kegemaran suami Emak. Dan kini, Bapak tak lagi bisa menikmati kopi.***
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO danNulisbuku.com
Keren, selamat yak hehe
ReplyDeleteKeren, selamat yak hehe
ReplyDeleteTerima kasih,
Deletebagus mba,dari sebuah kopi bisa membangun empati kehidupan sekitar yang belum tentu bisa menikmati secangkir kopi.Secangkir kopi bukan sekedar minuman, tapi di dalamnya ada ketenangan, kerinduan, kasih sayang, semangat, optimis, dan keyakinan
ReplyDeleteTerimakasih
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteini tulisan calon juara
ReplyDeletesaya penikmat kopi dan saya juga pekerja bangunan, membaca tulisan ini jadi berasa deket dengan keseharian saya dan temen temen... tks
ini tulisan calon juara
ReplyDeletesaya penikmat kopi dan saya juga pekerja bangunan, membaca tulisan ini jadi berasa deket dengan keseharian saya dan temen temen... tks
Amin, terimakasih
DeleteMengalir, enak dibaca n menyentuh.. saya yakin juara. sukses Mbak Ndari...
ReplyDelete