Friday, October 21, 2016

Silampukau yang Memukau


-2009-
Kharis Junandharu. Laki-laki itu tampak sibuk menyiapkan aneka tetabuhan untuk teater gapus. Badannya kurus lincah hilir mudik ke sana kemari. Wajahnya tak terlalu jelas, pencahayaan terlalu gelap. Padahal tujuan kemari adalah mengamati rupa empunya hati adik kos waktu itu. Tentu, niat utama adalah menikmati pertunjukan. 

Sumpah, aku penasaran dengan wajahnya akibat setiap hari mendengarkan cerita yang berbunga-bunga dengan mata yang menerawang dan muka yang tersipu. Setiap gerak gerik Kharis terlihat mempesona di hadapan adik kos. Sebut saja Diya, bagian dari nama lengkap tapi bukan panggilannya.  

"Oh, Mas Kharis," ujarnya 

Seulas senyum Kharis saat papasan di kantin akan membuat Diya melayang. Seucap sapaan selalu akan dikenang. Cerita tentang Kharis tentu tak membuat Diya bosan, tapi aku jadi penasaran. Seperti apa rupanya?

Dan hari ini, aku bisa melihat jelas wajahnya setelah pagelaran usai. Kacamata bingkai tepat di atas hidung. Kaos oblong tampak sedikit kebesaran. Kharis tak terlalu rupawan. Tapi sesuai dengan namanya, dia memang punya kharisma tersendiri. 

"Oalah, iki tha sing nggawe koen edan," bisikku. Dari Diya pula, aku tahu Kharis punya grup musik bernama Silampukau, alias burung kepodang. 

Ngomong-ngomong, Mas Kharis, kalau sampeyan membaca blog ini. Diya, adik kosku yang pernah naksir berat sama kamu waktu itu, entah sekarang, adalah adik tingkatmu. Diya anak Sastra Indonesia Unair angkatan 2007. Kini, gelar pascasarjana sudah dia sandang. Kosnya di Karang Menjangan. Tebak sendiri ya, mas. Kalau ternyata pernah naksir juga, lamar aja sekarang. Diya masih jomblo.


2016
Ingatan soal Kharis kembali lagi setelah menonton Net 3.0. Band indienya, Silampukau, masuk ke dalam satu nominasi. Melihat itu, aku kembali terbayang dengan kisah cinta platonis antara Diya dan Kharis. Tawaku pecah. 

Perjumpaan kembali nama Silampukau dan tentu dengan Kharis Junandharu membuatku kembali penasaran. Tapi kali ini beda, aku tak tertarik dengan Kharis tetapi lebih pada Silampukau. Pencarian di youtube pun dimulai. 

Dan ternyata, aku terpukau dengan lagu Silampukau. Lirik cerdas dan nakal, dengan instrument sederhana yang malah memunculkan rasa kangen dengan Surabaya. 

Beberapa kosakata di dalam lirik justru menambah perbendaharaan kata. Kamu akan menemukan istilah baru seperti "matrimoni" setelah mendengar lagu "Sang Pelanggan."  Sejumlah syair kadang menjadi katarsis saat sedang sedih, jenuh, dan kecewa dengan keadaan, Sambil berujar "ini aku banget". 

Berikut ini beberapa lirik lagu Silampukau yang paling sering didengar. 


1. Lirik "Cinta Itu"

Cinta bukan soal pengorbanan
Dengan tulus tak terasa beban
Biarlah yang terbaik jadi manis
Dan pahit takkan jadi tangis

Cinta memang tak perlu berbalas
Tak usah mengemis dan memelas
Biarlah yang terbaik jadi manis
Dan pahit takkan jadi tangis

Cinta itu buat kapan-kapan (kapan?)
Kala hidup tak banyak tuntutan
Biarlah yang terbaik jadi manis
Dan pahit takkan jadi tangis


Lagu "Cinta Itu" terasa menyidir anak zaman sekarang yang suka galau. Kadang, seperti menelanjangi saat mengingat zaman-zaman dulu. Bodoh sekali aku waktu itu. 


2. Lirik "Balada Harian" 

Tik-tok jam. Dering alarm.
Pagi tak terhindarkan.
Tik-tok jam. Dering alarm.
Impian pudar perlahan. Diam-diam,
pagi tak terhindarkan.

Tik-tok jam. Kubayangkan,
hari begitu panjang.
Tik-tok jam. Lalu-lalang,
derum dan bising jalanan.
Kuberbaring, membayangkan
hari pasti ‘kan panjang.

Di luar pagar sana, kawanku,
kehidupan memanggilmu.
Tapi tahun kian kelabu.
Makna gugur satu-satu,
dari pengetahuanku,
dari seluruh pandanganku,
pendengaranku,
penilaianku.

Mentari tinggal terik bara tanpa janji.
Kota tumbuh,
kian asing, kian tak peduli;
dan kita tersisih di dunia yang ngeri,
dan tak terpahami ini.

Tik-tok jam. Dering alarm.
Pagi tak terhindarkan.
Tik-tok jam. Kini ku paham,
waktu sekedar hitungan yang melingkar,
kekal di kehampaan.

O, bocah riang di jiwaku,
di manakah dirimu?
Tahun-tahun masih menunggu,
kembalilah kepadaku.


Mendengar lagu ini membuat aku ingat untuk kembali mengorek-orek sisa mimpi. Semakin dewasa, kita sering kehilangan rasa jenaka, terlampau serius hingga sulit menikmati hidup. Bekerja seperti mesin, melupakan obsesi. Terimakasih Mas Kharis dan Mas Eki, maaf namanya baru disebut di bagian ini. Semoga belum terlambat. 


3. Lirik "Puan Kelana" 

Kau putar sekali lagi Champs-Elysees.
Lidah kita bertaut a la Francais.
Langit sungguh jingga itu sore,
dan kau masih milikku.

Kita tak pernah suka air mata.
Berangkatlah sendiri ke Juanda.
Tiap kali langit meremang jingga,
aku ‘kan merindukanmu.

Ah, kau Puan Kelana,
mengapa musti ke sana?
Jauh-jauh Puan kembara,
sedang dunia punya luka yang sama.

Mari, Puan Kelana,
jangan tinggalkan hamba.
Toh, hujan sama menakjubkannya,
di Paris atau di tiap sudut Surabaya.

Rene Descartes, Moliere, dan Maupassant.
Kau penuhi kepalaku yang kosong;
dan Perancis membuat kita sombong,
saat kau masih milikku.

Kita tetap membenci air mata.
Tiada kabar tiada berita.
Meski senja tak selalu tampak jingga,
aku terus merindukanmu.

Ah, kau Puan Kelana,
mengapa musti ke sana?
Jauh-jauh Puan kembara,
sedang dunia punya luka yang sama.

Mari, Puan Kelana,
jangan tinggalkan hamba.
Toh, anggur sama memabukkannya,
entah Merlot entah Cap Orang Tua .

Aih, Puan Kelana,
mengapa musti ke sana?
Paris pun penuh mara bahaya dan duka nestapa,
seperti Surabaya.


Satu-satunya lagu tentang cinta, puitis tapi tak romantis. Puan dan Tuan, ada harga yang harus dibayar mahal setiap pengembaraan.


4. Lirik "Lagu Rantau Sambat Omah"

Waktu memang jahanam,
kota kelewat kejam,
dan pekerjaan menyita harapan.

Hari-hari berulang,
diriku kian hilang.
Himpitan hutang. Tagihan awal bulan.

O, demi tuhan, atau demi setan,
sumpah aku ingin rumah untuk pulang!

Tujuh tahun yang lalu,
impian membawaku ke Surabaya: berharap jadi kaya.

–hanya bermodal baju dan seratus ribu, nasib ini kuadu—

Tujuh tahun berlalu,
impianku tersapu di Surabaya: gagal jadi kaya.

–kota menghisapku habis, tubuh makin tipis, dompetku kembang-kempis—

O, demi tuhan, atau demi setan,
sumpah aku ingin rumah untuk pulang.

“Rindu menciptakan kampung halaman tanpa alasan.”

Burung pulang ke sarang, ketam diam di liang,
dan di lautan ikan-ikan berenang.

O, demi tuhan, atau demi setan,
sumpah aku ingin rumah untuk pulang.

“Uang bawa ‘tualang sesat di jalan, menjauhi pulang.”


Rasanya, lagu ini lebih cocik untuk kaum urban Jakarta. Bayangkan, saat berdesak-desakkan di commuter line atau Transjakarta, berangkat tepat saat matahari terbit, pulang saat sudah terbenam, di antara ngantuk atau lelah, kemudian lagu ini diputar. Nelangsa atau justru tertawa. Kerja keras, menghabiskan waktu, untuk bayaran yang tak seberapa. Sumpah Tuhan, pasti ingin pulang.  


5. Lirik "Doa" 

Duh Gusti, dulu kala semasa ‘ku remaja,
“nothing else matters,” katanya Metallica.
Sebab hidup, Gusti, kadaluarsa jika
hanya berisi nasehat mama-papa.

Sering, Gusti, aku bertanya-tanya sendiri,
kenapa sih mama tenggelam di televisi,
mengunyah iklan menelan mimpi.
Sabar, mama, tunggu aku masuk ke layar tivi.

Dan inilah nyanyianku.
Semoga mama belum tua saat aku mencapainya.

Duh Gusti, aku kesasar di jalur indie.
Terima sablon kaos dan kadang gantungan kunci.
Musisi, Gusti, musisi,
bukan jadi penjaga distro kayak gini.

Duh Gusti, pernah ‘ku mencoba peruntungan,
dana pas-pasan pokoknya bikin rekaman.
Kuliah, Gusti, kutelantarkan
atas nama musik dan hidup yang penuh kebebasan.

Dan inilah nyanyianku.
Semoga usia belum tua saat mencapainya.

Duh Gusti, kini ‘ku mulai lelah jadi musisi.
Jiwaku remuk terteror televisi.
Aku cemas, Gusti, suatu nanti,
aku berubah murahan seperti Ahmad …

Janggalkah, Gusti, perasaan marah ini
saat nalarku direndahkan televisi?
Lihat itu, Gusti, lihat itu,
b’rapa harga tawa mereka di balik layar tivi?

Dan inilah nyanyianku.
Semoga usahaku lancar, berkembang, ber-cuan,
perlahan aku bisa mewujudkan
ziarah ke tanah suci, tanah impian.

Dan inilah nyanyianku.
Semoga terkenal, terpandang, dan banyak uang.


Curhatan anak band indie. Tapi saya suka lagu ini karena ada sindiran ke salah satu musisi besar asal Surabaya yang sekarang jadi murahan. Iya, Ahmad yang itu, yanng setelah digugat cerai istri pertama jadi seperti sekarang. Hidupnya ala Kadarshian, lebih suka bikin sensasi daripada karya yang menginspirasi. 

Itu tadi Silampukau, band aliran musik indie folk. Kalau sempat, aku akan membuat tulisan tak penting lagi seputar band indie. Selain Silampukau, aku juga suka Banda Neira, Float, dan Payung Teduh. 

Untuk yang ingin lebih tahu tentang Silampukau, silahkan meluncur ke sini http://silampukau.com/ .

Sumber foto: silampukau.com

No comments:

Post a Comment