Wednesday, January 31, 2018

Mimpi yang Butuh Bara Api



Ada dua hal harapan yang bertahun-tahun hanya sekadar menjadi resolusi. Pertama, mempunyai anak, dan kedua mempunyai media sendiri. Rasanya, membutuhkan sedikit keajaiban dari Tuhan agar dua hal tersebut bisa tercapai.

Soal anak, aku sadar usaha kami belum maksimal. Banyak program hamil dilakukan dan putus di tengah jalan. Mulai dari pijat refleksi, ke dokter kandungan, hipnoterapi, jamu-jamuan, radiostesi, semua putus dan belum tuntas. Masalah apa kalau bukan biaya.

Akhirnya, aku mulai bersikap santai. Duit yang akan digunakan untuk terapi malah dipakai buat kuliah lagi. Setidaknya, kuliah lebih kelihatan hasilnya daripada terapi yang melelahkan itu.

Sejatinya, bukan jadi persoalan anak kandung atau adopsi. Kemarin, ada info seputar bayi tiga bulan yang dibuang orang tuanya di Bantul. Aku dan suami sudah pandang-pandangan mendengar info ini. "Ambil?" "Keuangan settle kah? kuliahmu gimana? masak ambil anak tapi dibiarkan di rumah sama pembantu". Dan setelah melihat aturan adopsi pun ternyata kami belum bisa karena perkawinan masih di bawah lima tahun.


Akhirnya, hasrat mempunyai anak tersalurkan dengan cara melihat instagaram Tatjana Bima (anaknya Surya Saputra-Cynthia Lamusu) dan Raphael Moeis (anaknya Sandra Dewi-Harvey Moeis).

Namun yang patut disyukuri, meski belum mempunyai anak, hubungan kami tetaplah harmonis. Kami juga masih bisa menikmati kesantaian-kesantaian tanpa perlu mengurus anak, seperti bangun siang hari, nglayap di akhir pekan, nonton film kategori dewasa di bioskop, mencicipi kuliner jalanan. Semua ini pasti sulit dilakukan kalau sudah punya anak.

Sementara anak belum ada, mestinya bisa bersusah payah untuk mencapai keinginan kedua. Nyatanya yang ini juga sulit diwujudkan. Ya Allah, bantulah aku mewujudkan keinginan kedua ini.

Aku sudah punya dua konsep, satunya media opini kalangan remaja atau teenager, dan satunya untuk media opini perempuan. Berulang kali di-PHP calon investor. Its okay. Tapi aku tak bisa kerja sendirian mewujudkan ini.  Butuh partner yang mau membesarkan bersama, dan suami bukan orang yang tepat.

Media ini proyek idealis yang rencananya aku buat. Idenya muncul gara-gara membaca Bluejeans Magazine girls empowerment waktu masih bekerja di Kosmonita. Artinya, ide ini sudah ada jauh-jauh hari sebalum aku bekerja di Tempo atau Kartini. Jauh hari sebelum ketemu suami. Sejak 2010, ide yang dipupuk hingga menyebabkan aku bekerja di Tempo untuk mengeatahui sistem yang baik, bekerja di Kartini untuk mengetahui bagaimana mengelola media yang segmented.

Dan malah membuat aku belajar, apa saja yang membuat suatu majalah legendaris nyaris gulung tikar. Masalahnya adalah tak ada sistem yang baik, dipegang oleh 'kepala' yang salah, dan menggabungkan urusan pribadi dengan kantor. Oh Tuhan, sampai saat ini aku terus mendoakan sejumlah teman di Kartini agar mendapatkan ganti pekerjaan yang lebih layak.


Okay, kembali membahas media yang ingin aku buat. Ide pertama adalah media untuk remaja. Diproduksi oleh remaja dan untuk mereka sendiri. Aku sudah punya nama, Genepos, singkatan dari generasi positif. Idenya muncul ketika melihat banyak remaja yang terpolar menjadi dua, kalau ga terlalu konservatif satunya terlalu liberal. Tak bisakah berada di tengah-tengah? Aku ingin membuat media untuk mengajak remaja berikiran terbuka, plural, tapi masih menjunjung nilai-nilai sopan santun. Generasi positif, kadang namanya berubah menjadi 'lontar'. Karena lontar adalah catatan peradaban di nusantara.

Ide kedua tentang media opini untuk perempuan. Bentuknya seperti Qureta, Kompasiana, Indonesiana, tapi isinya seperti Magdalene digabung Rockingmama. Aku ingin semua perempuan apapun kondisinya bisa menulis di sini. Mulai dari ibu-ibu yang cuma di domestik hingga perempuan yang memilih tak menikah dan melanjutkan karier. Semuanya bisa menulis di sini asal logikanya benar. Media ini aku beri nama Vanita.

Y Allah, ya Tuhanku maha pencipta apapun. Bisakah dua hal ini tercapai di tahun ini. Aku mohon dengan sangat.


Sadangkan mimpi suami adalah bikin kedai kopi yang bisa digunakan untuk diskusi. One stop coffe, ada kedai kopi, ada perpustakaan, dan tempat diskusi. Dia berharap kedai ini bisa menjadi tempat berkumpul dan menyebarkan ide-ide baik. Tentu saja ada barista yang handal dan terpelajar di sini. Kombinasi yang pas. Suami suka kopi dan diskusi.


Mimpi lain, suami pengen punya sawah atau ladang. Dia pengen jadi petani di desa. Gambaran idealnya, habis subuh, dia ke sawah jadi petani, siang nulis atau baca, sore balik lagi, dan malam ke kedai kopi untuk berdiskusi. Luar biasa nyaman bagi dia.


Berharap, suami mempunyai tubuh se-ideal ini. Heheheheh....

Tuhan, mimpi suami ini juga tolong dikabulkan. Aku tahu, Engkau lebih dari sekadar mampu mewujudkannya. Amin.

Sumber: semua foto diambil shutterstock


Friday, January 12, 2018

Berkat di Tahun 2017

http://www.commentsyard.com/comments/blessings/


Kegiatan yang paling saya sukai dan terasa menyenangkan serta tak menimbulkan kerugian di pihak siapapun yaitu menghitung berkat. Awalnya, saya berencana segera membuat anugerah yang saya alami selama 2017. Namun aktivitas yang padat dan belum menemukan mood yang tepat membuat urung melakukannya.

Menghitung berkat yang saya terima merupakan salah satu bentuk syukur dan optimisme menjalani tahun berikutnya, 2018. Ada banyak hal yang petut disyukuri selama tahun 2017. Menyenangkan,  semakin memahami bahwa Allah begitu sayang kepada  saya.

Ada beberapa hal yang menyenangkan.

1. Suami tentunya. Saya bersyukur suami semakin memahami saya. Sikap egaliternya tak berubah, kami semakin erat layaknya dua sahabat. Dia masih pintar memasak, masih mempunyai pijatan yang luar biasa enak. Selalu menjadi rekan diskusi apa saja mulai dari yang berat-berat sampai yang remeh temeh.

2. Rumah. Saya semakin nyaman dengan rumah yang kami beli 2015 lalu. Memang tak banyak berubah, belum berpagar. Masih belum 100 persen direnovasi sehingga rembesan di langit-langit masih timbul saat hujan. Tapi yang patut disyukuri adalah bunga kertas, markisa, dan marigold yang saya sebar tumbuh dan berbunga. Bunga-bunga ini menimbulkan kebahagiaan saat dilihat. Mengundang kupu-kupu, belalang, lebah, dan tentu saja sejumlah anak tetangga yang ramai-ramai memetiknya. "Minta ya, Tante," okay ambil saja. Besok akan berbunga kembali. Apa yang tak membahagiakan selain celotehan anak kecil.

 Sedangkan melihat bunga kertas, bagi saya, seperti ziarah. Tiap kali lomba merangkai bunga 17 Agustusan di kampung, atau saat Dharmawanita di kantor Bapak, ibu sering kali menggunakan bunga kertas dan daun palem ketika kompetitornya menggunakan bunga yang lebih mahal seperti mawar, anyelir, krisan, bahkan lily. Murah meriah tapi tak kalah indah.

3. Berhasil resign tanpa tergoda bekerja fulltime lagi.
Ketakutan memilih pekerjaan freelance adalah aliran uang yang tak tentu. Namun nyatanya hal ini tak tebukti di tahun 2017 setelah memilih tak bekerja di kantor. Alhamdulilah pekerjaan dan rezeki terus mengalir lancar. Lebih senangnya lagi, saya bisa mengatur waktu kuliah, pekerjaan domestik, dan pekerjaan dengan baik.

4. Bisa kuliah S2 di UI
Saya memang berencana melanjutkan kuliah dan kampusnya mesti lebih bagus daripada Unair. Pilihannya ada dua memang, UI dan UGM. Alhamdulilah bisa di UI. Awalnya was-was, tak bisa kuliah karena biayanya luar biasa mahal. Seorang alumni satu universitas beda fakultas yang bekerja di salah satu parpol berjanji siap membantu merekomendasikan beasiswa tapi ternyata cuma PHP.

Dan alhamdulilah, Allah memberi ganti rezeki yang cukup untuk bayar kuliah. Positifnya, saya tak perlu membalas budi. There is no free lunch in politics, you better avoid than repayment.

5. Kejutan kecil menyenangkan
Kejutan kecil misalnya seperti eh tiba-tiba ada mesin cuci satu tabung merek ternama yang harga awalnya di atas Rp 3 juta, dan kami cukup mengeluarkan uang senilai Rp 1,5 juta. Ada promo indiehome di akhir tahun. Menemukan makanan pinggir jalan yang enak. Dan masih banyak kejutan kecil lain yang menggembirakan. Ho ho ho...

6. Menang lomba dengan hadiah yang lumayan
Saat pusing memikirkan biaya masuk UI. Eh, Allah memberikan bantuan lewat menang lomba yang hadiahnya bisa melunasi SPP satu semester. Saya harap tahun 2018 bisa kembali mengulang dengan kategori yang berbeda. Oiya, tahun kemarin opini masuk dalam nominasi tulisan terbaik. Opini saya yang dikirim ke Kompas ditolak namun alasan penolakannya menyenangkan. Dulu, tulisan ditolak karena tidak menghadirkan solusi baru tapi di tahun 2017, tulisan dianggap layak namun belum ada halaman. Redaktur menunggu tulisan-tulisan saya selanjutnya.  Alhamdulilah.

7. Orang baru dan semuanya baik
Di tahun 2017, saya bertemu dengan banyak teman baru. Teman kuliah, tetangga-tetangga baru, dosen, narasumber, teman yang saya kenal waktu menjadi finalis sejumlah lomba. Dan syukurnya, semuanya baik.

8. Lebih dekat dengan saudara kandung
Hubungan saya dengan adik memang tak pernah buruk, tapi juga tak bisa disebut akrab. Dulu, saya melihatnya sebagai si bungsu, anak kecil yang tak tahu apa-apa. Entah apa pandangan dia terhadap saya. Alasannya, saya terlalu khawatir.

Dia kehilangan pawang (baca: ibu kami) saat masih menginjak SMP. Padahal dia dulu manja sekali. Waktu ibu sakit dan divonis, dia menangis tersedu-sedu di kelas sampai membuat wali muridnya bingung. Dia sempat kehilangan arah, sempat membuat kami khawatir.

Tapi seiringnya waktu, saya sadar dia berhasil berproses. Makin dewasa, makin matang. Kami sering berbicara layaknya teman, dan saya mencoba berani mempercayai pilihan-pilihannya. Meski sejumlah sepupu mengeluhkan dia yang sering pulang malam karena pekerjaan paruh waktu dan kuliahnya sempat molor menjadi 4,5 tahun, bagi saya, dia masih on track dan tak tersesat.

9. Ilmu baru
Seorang klien terkejut saat mengetahui saya mengikuti workshop menulis sebagai peserta. "Masih mau belajar menulis, bukannya pengalaman sudah banyak?" Kenapa tidak. Ilmu menulis saya masih sangat rendah. Kemampuan masih seujung kuku.

Begitu pula saat bos kantor suami yang keheranan karena saya mengambil kuliah lagi walau tanpa pekerjaan.  "Istrimu mau jadi apa kuliah lagi, toh sekarang ga kerja kan," katanya kepada suami. Justru dengan belajar, saya mendapatkan ilmu-ilmu yang saya baru tahu, bertemu orang-orang pintar yang membuat mulut ternganga.

10. Semua masalah teratasi dengan baik
Jujur, ketika menulis poin ini, saya sama sekali tak ingat ada riak-riak apa yang mengganggu perjalanan di tahun 2017. Ralat, kecuali satu itu. Tapi dari tempat itu saya menemui teman-teman baru, pengalaman menegangkan dan tentu menyenangkan. Saya juga belajar bagaimana ketidaktepatan kuputusan atau salah pengelolaan  akan berimbas buruk pada suatu institusi. Thanks God, i can quit well.

Namun saya sadar pasti riak-riak ini memberi arti dan warna pada kehidupan. Masalah-masalah kecil ini mematangkan antibodi saat menemukan masalah di tahap selanjutnya.

Sejatinya, banyak yang patut disyukuri sepanjang 2017 kemarin. Tapi cukuplah sampai di sini karena blog ini tak akan cukup bila semua berkat ditulis satu persatu. Saya yakin, tahun ini akan lebih banyak tantangan dan kejadian yang menyenangkan.

When i start counting my blessing, my whole life turned around -Willie Nelson-

Thursday, January 11, 2018

KISAH SYERAM HANTU PERPUS YANG ADA DI BANYAK KAMPUS (Sudah Malam Apa Sudah Tahu?)



Ini bukan kisah saya. Waktu kerja kelompok zaman kuliah, seorang teman bercerita tentang pengalaman horornya di Perpustakaan Besar Kampus B, Universitas Airlangga. Sengaja, saya sebutkan nama karena penting menyebutkan lokasinya.

Alkisah, sebut saja Budi, bukan nama sebenarnya, tengah mengerjakan tugas kuliah di saat langit mulai semburat merah. Perpustakaan kala itu, katanya, sepi. Pengunjung mulai beranjak pergi.

Saking sunyinya, debum buku terjatuh pun terasa nyaring. Namun dia masih bergeming di meja seraya menyalin dari beberapa buku.

Sebagai gambaran saja, Budi berada di lantai tiga dengan ruangan yang lapang. Namanya perpustakaan pasti ada rak-rak berisi buku, kalau nggak kucel ya penuh debu.

Budi tak punya firasat buruk di tengah kesendiriannya, mungkin karena dia terlalu lama jomblo. Sudah terlalu lama sendiri. Ada orang syukur, tak ada yang menemani pun tak peduli.

Mungkin karena hasrat mencari teman, seorang perempuan manis lantas duduk di depannya. Dia bertanya kepada Budi.

“Mas … layanan peminjaman masih buka, nggak?”

“Sudah tutup, Mbak. Cuma sampai jam lima sore,” jawab Budi, menghentikan ketikannya. Cantik, siapa tahu ada kesempatan mbribik. Lumayan, pikir Budi.

“Waduh, padahal saya butuh banget,” kata si mbaknya.

“Pustakawan yang di lantai ini sudah pulang, coba tanya yang di lantai bawah,” saran Budi.

“Oke … Masnya nggak pulang? Sudah malam, lho,”

“Nanggung, Mbak, tinggal sedikit,”

Si mbak cuma mengangguk sambil tersenyum. Kok ndilalah, kertas coretan Budi jatuh ke bawah meja padahal nggak ada angin yang bertiup dan nggak ada yang menyentuh.

Budi menunduk, berniat mengambil. Tiba-tiba bulu kuduknya meremang. Dia melihat ada keanehan. Kursi di depan yang mestinya diduduki mbak cantik itu tampak kosong.

Budi mendongakkan kepala, perempuan di depannya masih melihatnya sambil tersenyum. Kembali lagi dia longok di bawah meja, kursi itu tetap tak ada yang menghuni.

Ada yang tak beres, pikirnya. Sontak Budi berdiri. Dia tutup laptopnya, mengemasi kertas dan memasukkannya tas. Bergegas ranselnya dicangklong.

“Mau ke mana, Mas?” tiba-tiba si Mbak bertanya.

“Mau pulang, Mbak. Sudah malam,” jawab Budi tak berani melihat orang yang mengajaknya bicara.

“Sudah malam apa sudah tahu?” timpalnya. Senyum yang manis tapi menurut Budi terlihat seperti seringai. Budi langsung mengibrit. Dia berlari menuruni tangga sambil terengah-engah.

Esoknya, dia ceritakan peristiwa creepy itu kepada teman-temannya, termasuk saya. Sejak itu, Budi tak mau sendirian di perpustakaan lantai tiga kalau jam pelayanan sudah tutup. Kapok, katanya.

Itulah kisah tentang Perpustakaan Besar Kampus B Unair. Awalnya, saya kira cerita ini hanya dialami oleh sejumlah mahasiswa Unair, tapi ternyata di kampus lain pun ada. Tercatat yang pernah saya dengar ada di Institut Teknologi Sepuluh November, Universitas Brawijaya, Universitas Negeri Malang.

Belakangan, suami saya bilang cerita ini juga ada di perpustakaan kampusnya, Universitas Gaj Ahmada di Yogyakarta. Konon, semua melibatkan tiga elemen utama: perpustakaan menjelang tutup, ada barang yang terjatuh ke bawah meja, dan kalimat “Sudah malam apa sudah tahu?”

Saya heran, bagaimana mungkin semua perpustakaan kampus-kampus itu mempunyai cerita yang sama. Apakah itu sudah menjadi SOP perhantuan di perpustakaan? Hantu perpustakaan mana yang menjadi trendsetternya?

Sungguh, saya takut menulis kisah ini. Jangan-jangan, setelah dimuat di Mojok, modus menakut-nakuti seperti ini menjadi sporadis di perpustakaan kampus seluruh Indonesia. Siapa tahu para hantu itu seperti netizen, satu membuli yang lain ikut-ikutan.

Saya khawatir minat baca orang Indonesia makin terpuruk karena enggan singgah ke perpustakaan. Lantas mereka mudah percaya berita yang tak benar.

Bagi saya, penyebar hoax yang dipercaya banyak orang jauh lebih menyeramkan daripada hantu yang bertanya “Sudah malam apa sudah tahu?”.

Credit: Foto perpustakaan Kampus B Unair saya ambil dari sini http://arizulaicha.blogspot.co.id
Tulisan ini pernah dimuat di Mojok.co tanggal 27 Juli 2017

Thursday, May 25, 2017

Ketika Sherlock Holmes Memeriksa Jenazah Santoso



"Benar. Otot-ototnya menegang sangat kencang, jauh melebihi kekakuan mayat biasa. Dikombinasikan dengan kernyitan wajahnya, senyum Hippokcrates ini, atau risus sardonicus, sebagaimana istilah penulis-penulis lama, keseimpulan apa yang melintas dalam benakmu?"

Begitu pertanyaan dr. Watson kepada sahabatnya, detektif  ternama Sherlock Holmes ketika menyelidiki kasus mayat tanda empat. Kalau Holmes adalah wong kagetan, atau orang yang gampang terkejut, pasti akan kagum seraya menyebut nama Tuhan berulang kali ketika melihat mayat itu.

"Itu adalah mayat ahli surga yang sedang disambut 72 bidadari, Watson," mungkin begitu jawab Holmes. Itu tanda mayat para syuhada yang mati di jalan Tuhan, menegakkan agama Tuhan. Senyum itu melambangkan dia diterima Tuhan dengan tangan terbuka di surgaNya.

Sayangnya tidak. Holmes lebih mempercayai hasil pemeriksaan Watson. Dokter itu berkilah, kematian mayat akibat alkaloid sayuran yang sangat kuat. Bahannya berbasis mirip strychine yang mengakibatkan tetanus. Ya, tetanus penyakit yang salah satu gejalanya adalah risus sardonicus.

Saya tentunya sangat malas membahas tentang tetanus karena bukan Watson, ya, karena saya bukan dokter. Nanti dikira keminter

Tapi begini, penjelasan mudah tentang risus sardonicus, atau Watson menyebutnya senyum Hippokcrates. Tetanus menyebabkan kejang di otot muka, alis tertarik ke atas, sudut mulut tertarik keluar dengan bibir yang tertekan kuat. Voila, timbulah wajah yang tersenyum.

Dan penyebab tetanus, tentunya adalah luka akibat benda tajam yang berkarat. Luka juga bisa karena peluru, jarum, paku, pisau, gigitan hewan, atau duri sekalipun yang bercampur dengan bakteri tetanus yang ada di tanah, debu, atau tempat kotor lain. 

Jadi, waspadalah para jomblo ngenes, hati yang berkarat, sering terluka karena penolakan  dan kumuh akibat tak terawat, juga bisa menyebabkan tetanus. Kelak engkau akan meninggalkan dunia ini dengan tersenyum meski hatimu merintih. Ini becanda, tapi boleh dianggap serius.

Fokus. Kembali soal mayat, kalau jenazah Santoso, atau pelaku pengeboman, atau teroris, atau syuhada, atau mujahid, atau teserah orang mau menyebutnya apa, dalam keadaan tersenyum, Sherlock Holmes tentu akan berkata salah satu penyebab kematiannya adalah tetanus. Luka peluru bercampur debu atau tanah di hutan tak menutup kemungkinan terhinggapi bakteri clostridium tetani.

Dia tak bisa menyebut mereka ahli surga. Holmes memang tak berhak menentukan karena surga neraka itu hak prerogatif Tuhan. Nanti perhitunganya di akhirat bukan sekarang.

Mungkin banyak ustadz-ustadz yang keukeuh sumekeh bilang kalau mayat tersenyum adalah tanda masuk surga. Mau mengikuti beliau-beliau ya monggo. Kalau saya sih tidak percaya ustadz-ustadz itu, saya percayanya sama Tuhan saja.


Holmes pecandu kokain, namun ternyata nalarnya masih bisa dipakai. Meski di dunia nyata sulit menemukan pecandu yang rasional. Candu sering merusak otak, termasuk candu agama. Tapi masak yang kecanduan agama kalah rasional dibanding Holmes yang kecanduan kokain. Makanya, agama jangan dijadikan candu tapi jalan menuju Tuhan.**

Sumber foto: BBC

Monday, May 22, 2017

Adakah Doa yang Seindah Ini?

Sabbe Satta Bhavantu Sukhitata

Me: Sabbe satta bhavantu sukhitata, ini bahagia. adakah doa yang seindah ini di agama kita?

Him: ada, robbana atina fiddunya hasanah wa fil akhiroti hasanah waqina adza bannar

Me: aku rasa tidak, doa keselamatan dunia akhirat itu cuma buat kita sendiri, kelompok kita sendiri.


Him: kata siapa, itu kan perasaanmu saja.

Me: Tidak, coba diterjemahkan, Sabbe satta bhavantu sukhitata artinya semoga seluruh makhluk hidup di dunia. Tidak perduli agamanya apa, rasnya apa, bangsanya apa, semua didoakan agar bahagia.
Sementara Robbana atina fiddunya hasanah wa fil akhiroti hasanah wa qina adza bannar , hanya mendoakan "kami" artinya kita dan kelompok kita, bukan kelompok lain.

Him: Sudahlah, berdoa saja dengan bahasa apapun asal niatmu baik. Kalau masih mempertanyakan, artinya kamu belum tuntas sama agama yang kamu pilih sendiri. Sudah jangan ditanyakan lagi.

Me: jadi tak masalah kan kalau aku mengucap kalimat itu setelah selesai salat?

Him: 'tak menjawab dan berlalu'

Sejak itu munculah perasaan merana. Sampai sekarang saya tak menemukan jawaban yang tepat. Seraya memendam kesedihan di dalam hati, saya merapal kalimat itu setiap nelangsa melihat penderitaan orang lain apapun atribut yang dia sandang.

Sabbe satta bhavantu sukhitata, semoga semua makhluk hidup berbahagia.

Jadi, adakah doa seindah ini.


Sumber gambar: Muslimah.co

Monday, May 8, 2017

Mengapa Lagu Bikin Kita Baper?

Pernah dengar sebuah lagu yang membuat kita terbawa perasaan? Hampir semua orang pasti pernah merasakan seperti itu. 
Dan ternyata ini ada penelitian. Saya lansir dari studi seorang ilmuan saraf dan otak bernama Jaak Panksepp. Bisa digoogle dengan kata kunci "The neuroscience of emotion in music ", bentuknya pdf.


Intinya seperti ini, penelitian mengungkapkan musik mampu menstimulasi inti otak sehingga melepaskan hormon dopamin. Hormon ini membuat kita senang dan nyaman. 
Kadar dopamin akan meningkat tajam saat mendengar lagu-lagu favorit. Toh rumus ini berlaku pula untuk lagu-lagu sedih. Hingga munculah istilah baper.
Tapi tenang saja, Saudara. Menurut Pankseep, lagu sedih tapi ngena di hati justru memberi efek positif, membuat orang yang menyukainya lebih tenang. Jadi jika Anda punya lagu favorit yang memunculkan perasaan tertentu dan membuat nyaman, sebenarnya Anda akan lebih bahagia. 
Nah, berhubung ini adalah blog pribadi yang kurang afdhol tanpa ada cuhatan pemiliknya, saya akan bercerita tentang sebuah lagu yang bikin baper. Sejak remaja sampai sekarang dewasa meski tetap muda, saya punya lagu yang disukai secara periodik. 
Perasaan saya berada di titik rendah saat harapan punya anak belum kunjung terkabul. Saking sedihnya, saya bisa menitikkan air mata. 
Tapi dengan lagu ini, perasaan di hati cenderung lebih lempeng dan jadi tak sedih-sedih amat. Istilahnya mulai beralih ke "segera dikasih ya alhamdulilah tapi kalau belum ya sudah". 
Saat perasaan pengen punya anak muncul, saya akan menyanyikan lagu ini kencang-kencang. Setelah itu, emosi saya mulai membaik dan berpikir positif untuk berjuang kembali. Istilahnya hasrat pengen hamil yang tak segera tercapai sudah tidak menyakiti saya lagi.  
Lagu itu berjudul "Sementara" dari Float. Untuk lebih detailnya bisa didengarkan dari sini https://www.youtube.com/watch?v=iU_xn_2-_B0
Sedangkan liriknya sebagai berikut:
Sementara teduhlah hatikuTidak lagi jauhBelum saatnya kau jatuhSementara ingat lagi mimpiJuga janji janjiJangan kau ingkari lagi
Percayalah hati lebih dari iniPernah kita laluiJangan henti disini
Sementara lupakanlah rinduSadarlah hatiku hanya ada kau dan akuDan sementara akan kukarang ceritaTentang mimpi jadi nyataUntuk asa kita ber dua
Percayalah hati lebih dari iniPernah kita laluiTakkan lagi kita mesti jauh melangkahNikmatilah laraJangan henti disini
Nikmatilah lara untuk sementara saja
**Dan syukurnya, suami saya juga suka lagu ini. Akhirnya kalau saya sedang nyanyi "Nikmatilah lara" dia akan menjawab "Untuk sementara saja". Lantas kami akan bernyanyi bersama.
Jadi apa lagu favorit anda yang bikin baper?  


Sumber foto: Shutterstock, bukan saya dan suami karena kami tak seramping itu. 

Sunday, January 15, 2017

Cadar Mbak Dian dan Fobia Atribut

Beberapa hari yang lalu, seorang teman berkunjung ke rumah. Di antara kudapan ala kadarnya, rumpi-rumpi cantik basa basi, saya bertanya bagaimana upayanya kemari menggunakan kereta commuter? Berkisahlah dia tentang kejadian selama perjalanan.


“Sebelah gue tadi cewek bercadar. Jadi sepanjang perjalanan bawaannya takut kalau-kalau dia bawa bom,”

Lu aja yang parno, jangan dikait-kaitin cadar sama teroris. Jangan Islamfobia lah,” jawab saya.

“Ga Islamfobia, gue cuma wahabi fobia,” kilahnya nyengir sambil membenarkan letak kerudung.

Fobia yang wajar, terlebih tempat dia tinggal hanya berjarak 10 kilo meter dari lokasi penangkapan Dian Yulia Novi di Bekasi. Mbak Dian yang wajahnya senantiasa ditutup cadar dituding sebagai “calon pengantin” peledakan bom panci yang konon daya ledaknya mencapai radius sekian ratus meter.

Teman saya semakin senewen, keinginan berlibur ke rumah saya di Bogor, malah mempertemukannya dengan seorang beratribut yang menakutinya, sebelahan lagi. Perjalanan Bekasi-Bogor yang seharusnya tak terlalu jauh membuat dia seperti sedang menempuh perjalanan Sleman-Banyuwangi.

Meski tak setuju dengan pendapatnya, cerita teman saya ini mengingatkan pengalaman empat tahun yang lalu.

Sewaktu masih menjadi wartawan di sebuah media massa nasional, saya meliput laporan jemaat Gereja Taman Yasmin, Bogor, yang mengadu ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia.

Di antara jemaat terdapat sejumlah anak kecil. Mereka beringsut ketakutan setelah melihat saya sembari memeluk orang dewasa di sebelahnya. Saya mengernyit, sebegitu mengerikankah wajah saya? Memang, saya tak secantik Raline Shah. Tapi kalau punya wajah mengerikan tidaklah, buktinya saya laku. Saya punya pacar, artinya wajah saya nggak creepy-creepy amat lah ya.

Perempuan dewasa di sebelah anak jemaat Gereja Taman Yasmin yang ketakutan itu lantas meminta maaf. Dia bercerita bahwa sejumlah anak memang mengalami ketakutan dengan atribut seperti kerudung, gamis, atau hal-hal yang mengingatkan mereka pada kekerasan pengusiran saat beribadah. Kebetulan yang mengusir mereka adalah laki-laki bersorban atau berkerudung bila perempuan.

Saya paham, kerudung saya membuat anak-anak jemaat Gereja Yasmin ketakutan. Dan tentu, saya perlu meminta maaf kepada jemaat GKI Yasmin atas kelakuan saudara seiman saya itu. Begitu pula dengan cadar yang dikenakan perempuan di kereta commuter teman saya tadi. Sungguhpun saya tak bermaksud jahat, begitu pula dengan perempuan bercadar mungkin tak bermaksud buruk dengan penumpang di seluruh kereta.

Atribut memang sering dikaitkan dengan penilaian terhadap orang lain, ia menimbulkan stigma tentang suatu hal. Meski stigma sendiri, kalau katanya Goffman, membuat individu kehilangan kepercayaan dan dapat menjadi suatu hal yang menakutkan. Jadi urusan stigma dan atribut berkelindan seperti bolah ruwet yang tak jelas ujungnya.

Saya termasuk yang paling kenyang dengan stigma-stigma buruk karena atribut yang disandang. Saya pernah dikira komunis gara-gara bergabung di GMNI —yang saat itu, melalui broadcast massal yang mengatasnamakan Kivlan Zen, sempat dituding sebagai penyaruan PKI baru dan perlu diberangus. Awalnya emosi, tapi setelah saya pikir dengan agak jernih, tak perlu lah berdebat dengan asu-asu itu.

Saat bekerja di Tempo, saya dituding anti-Islam, wartawan media kafir, karena waktu itu Tempo gencar memberitakan petinggi salah satu partai berbasis agama yang tersangkut kasus korupsi. Untuk yang soal ini abaikan saja. Tak apalah mereka menuduh kafir. Toh kalaupun saya kafir, saya tinggal baca syahadat lagi.

Tapi bila menyangkut kelajangan, saya wajib protes keras hingga pelaku minta maaf. Seorang narasumber bertanya di sela-sela wawancara apakah saya sudah menikah. Jawaban saya belum waktu itu.

“Pantas ya, Tempo sering nyinyir sama kita, ternyata wartawannya belum menikah. Apa perlu kami kirimkan ikhwan-ikhwan untuk menikahi para jurnalis perempuan di Tempo,” tanyanya.

Sekilas memang seperti bercanda tapi ini adalah pelecehan. Tak ada hubungan kekritisan dan kenyinyiran dengan status pernikahan seseorang. Agus Mulyadi atau Puthut EA, kekritisan mereka tak ada hubungannya dengan statusnya yang sudah nikah atau belum. Sakit hati hayati, Bang. Lebih sakit daripada ditinggal selingkuh mantan.

Setelah mau menikah, saya sempat dianggap kurang beragama oleh sebagian calon keluarga karena dukung Jokowi di Pemilu 2014. Sia-sia sudah ngaji kitab kuning waktu remaja. Semua ilmu akan musnah ketika saya memilih Jokowi. Begitu kesimpulannya.

Rentetan stigma yang disematkan seharusnya memang tidak membuat kita memperlakukan hal yang sama kepada orang yang berbeda. Betapa tidak enaknya dianggap buruk orang lain semestinya tak membuat kita memperlakukan hal yang sama.

Itulah kenapa saya selalu berkeyakinan bahwa tak perlu lah kelompok pengguna cadar menilai buruk pemakai rok mini, begitu pula sebaliknya. Tak enaklah kelompok yang dituding liberalis menuding balik dengan sebutan wahabis. Kalau kau murka dianggap aksi 212 berbayar, kenapa kau tuduh 412 begitu juga? Jika anggapan ibu pekerja tak peduli anak membuatmu kesal, lantas mengapa kau tuding ibu yang hanya di rumah sebagai perempuan suka ngerumpi? Berlaku adilah sejak dalam pikiran. Tak ada hujjah yang tepat untuk membenarkan perilaku deskriminasi kita.

Sungguh tak patut kita menerka-nerka orang lain hanya dari atributnya saja. Robert Langdon di Lost Symbols bahkan menyadarkan mahasiswanya bahwa ritual kelompok freemason pada titik tertentu sama mengerikannya dengan upacara agama atau kepercayaan lainnya.

Open your minds, my friends. We all fear what we do not understand.

----
Tulisan ini pernah diterbitkan di  Mojok Dot Co
Sumber foto: Huffpost.com