Wednesday, January 31, 2018

Mimpi yang Butuh Bara Api



Ada dua hal harapan yang bertahun-tahun hanya sekadar menjadi resolusi. Pertama, mempunyai anak, dan kedua mempunyai media sendiri. Rasanya, membutuhkan sedikit keajaiban dari Tuhan agar dua hal tersebut bisa tercapai.

Soal anak, aku sadar usaha kami belum maksimal. Banyak program hamil dilakukan dan putus di tengah jalan. Mulai dari pijat refleksi, ke dokter kandungan, hipnoterapi, jamu-jamuan, radiostesi, semua putus dan belum tuntas. Masalah apa kalau bukan biaya.

Akhirnya, aku mulai bersikap santai. Duit yang akan digunakan untuk terapi malah dipakai buat kuliah lagi. Setidaknya, kuliah lebih kelihatan hasilnya daripada terapi yang melelahkan itu.

Sejatinya, bukan jadi persoalan anak kandung atau adopsi. Kemarin, ada info seputar bayi tiga bulan yang dibuang orang tuanya di Bantul. Aku dan suami sudah pandang-pandangan mendengar info ini. "Ambil?" "Keuangan settle kah? kuliahmu gimana? masak ambil anak tapi dibiarkan di rumah sama pembantu". Dan setelah melihat aturan adopsi pun ternyata kami belum bisa karena perkawinan masih di bawah lima tahun.


Akhirnya, hasrat mempunyai anak tersalurkan dengan cara melihat instagaram Tatjana Bima (anaknya Surya Saputra-Cynthia Lamusu) dan Raphael Moeis (anaknya Sandra Dewi-Harvey Moeis).

Namun yang patut disyukuri, meski belum mempunyai anak, hubungan kami tetaplah harmonis. Kami juga masih bisa menikmati kesantaian-kesantaian tanpa perlu mengurus anak, seperti bangun siang hari, nglayap di akhir pekan, nonton film kategori dewasa di bioskop, mencicipi kuliner jalanan. Semua ini pasti sulit dilakukan kalau sudah punya anak.

Sementara anak belum ada, mestinya bisa bersusah payah untuk mencapai keinginan kedua. Nyatanya yang ini juga sulit diwujudkan. Ya Allah, bantulah aku mewujudkan keinginan kedua ini.

Aku sudah punya dua konsep, satunya media opini kalangan remaja atau teenager, dan satunya untuk media opini perempuan. Berulang kali di-PHP calon investor. Its okay. Tapi aku tak bisa kerja sendirian mewujudkan ini.  Butuh partner yang mau membesarkan bersama, dan suami bukan orang yang tepat.

Media ini proyek idealis yang rencananya aku buat. Idenya muncul gara-gara membaca Bluejeans Magazine girls empowerment waktu masih bekerja di Kosmonita. Artinya, ide ini sudah ada jauh-jauh hari sebalum aku bekerja di Tempo atau Kartini. Jauh hari sebelum ketemu suami. Sejak 2010, ide yang dipupuk hingga menyebabkan aku bekerja di Tempo untuk mengeatahui sistem yang baik, bekerja di Kartini untuk mengetahui bagaimana mengelola media yang segmented.

Dan malah membuat aku belajar, apa saja yang membuat suatu majalah legendaris nyaris gulung tikar. Masalahnya adalah tak ada sistem yang baik, dipegang oleh 'kepala' yang salah, dan menggabungkan urusan pribadi dengan kantor. Oh Tuhan, sampai saat ini aku terus mendoakan sejumlah teman di Kartini agar mendapatkan ganti pekerjaan yang lebih layak.


Okay, kembali membahas media yang ingin aku buat. Ide pertama adalah media untuk remaja. Diproduksi oleh remaja dan untuk mereka sendiri. Aku sudah punya nama, Genepos, singkatan dari generasi positif. Idenya muncul ketika melihat banyak remaja yang terpolar menjadi dua, kalau ga terlalu konservatif satunya terlalu liberal. Tak bisakah berada di tengah-tengah? Aku ingin membuat media untuk mengajak remaja berikiran terbuka, plural, tapi masih menjunjung nilai-nilai sopan santun. Generasi positif, kadang namanya berubah menjadi 'lontar'. Karena lontar adalah catatan peradaban di nusantara.

Ide kedua tentang media opini untuk perempuan. Bentuknya seperti Qureta, Kompasiana, Indonesiana, tapi isinya seperti Magdalene digabung Rockingmama. Aku ingin semua perempuan apapun kondisinya bisa menulis di sini. Mulai dari ibu-ibu yang cuma di domestik hingga perempuan yang memilih tak menikah dan melanjutkan karier. Semuanya bisa menulis di sini asal logikanya benar. Media ini aku beri nama Vanita.

Y Allah, ya Tuhanku maha pencipta apapun. Bisakah dua hal ini tercapai di tahun ini. Aku mohon dengan sangat.


Sadangkan mimpi suami adalah bikin kedai kopi yang bisa digunakan untuk diskusi. One stop coffe, ada kedai kopi, ada perpustakaan, dan tempat diskusi. Dia berharap kedai ini bisa menjadi tempat berkumpul dan menyebarkan ide-ide baik. Tentu saja ada barista yang handal dan terpelajar di sini. Kombinasi yang pas. Suami suka kopi dan diskusi.


Mimpi lain, suami pengen punya sawah atau ladang. Dia pengen jadi petani di desa. Gambaran idealnya, habis subuh, dia ke sawah jadi petani, siang nulis atau baca, sore balik lagi, dan malam ke kedai kopi untuk berdiskusi. Luar biasa nyaman bagi dia.


Berharap, suami mempunyai tubuh se-ideal ini. Heheheheh....

Tuhan, mimpi suami ini juga tolong dikabulkan. Aku tahu, Engkau lebih dari sekadar mampu mewujudkannya. Amin.

Sumber: semua foto diambil shutterstock


No comments:

Post a Comment