Monday, May 8, 2017

Mengapa Lagu Bikin Kita Baper?

Pernah dengar sebuah lagu yang membuat kita terbawa perasaan? Hampir semua orang pasti pernah merasakan seperti itu. 
Dan ternyata ini ada penelitian. Saya lansir dari studi seorang ilmuan saraf dan otak bernama Jaak Panksepp. Bisa digoogle dengan kata kunci "The neuroscience of emotion in music ", bentuknya pdf.


Intinya seperti ini, penelitian mengungkapkan musik mampu menstimulasi inti otak sehingga melepaskan hormon dopamin. Hormon ini membuat kita senang dan nyaman. 
Kadar dopamin akan meningkat tajam saat mendengar lagu-lagu favorit. Toh rumus ini berlaku pula untuk lagu-lagu sedih. Hingga munculah istilah baper.
Tapi tenang saja, Saudara. Menurut Pankseep, lagu sedih tapi ngena di hati justru memberi efek positif, membuat orang yang menyukainya lebih tenang. Jadi jika Anda punya lagu favorit yang memunculkan perasaan tertentu dan membuat nyaman, sebenarnya Anda akan lebih bahagia. 
Nah, berhubung ini adalah blog pribadi yang kurang afdhol tanpa ada cuhatan pemiliknya, saya akan bercerita tentang sebuah lagu yang bikin baper. Sejak remaja sampai sekarang dewasa meski tetap muda, saya punya lagu yang disukai secara periodik. 
Perasaan saya berada di titik rendah saat harapan punya anak belum kunjung terkabul. Saking sedihnya, saya bisa menitikkan air mata. 
Tapi dengan lagu ini, perasaan di hati cenderung lebih lempeng dan jadi tak sedih-sedih amat. Istilahnya mulai beralih ke "segera dikasih ya alhamdulilah tapi kalau belum ya sudah". 
Saat perasaan pengen punya anak muncul, saya akan menyanyikan lagu ini kencang-kencang. Setelah itu, emosi saya mulai membaik dan berpikir positif untuk berjuang kembali. Istilahnya hasrat pengen hamil yang tak segera tercapai sudah tidak menyakiti saya lagi.  
Lagu itu berjudul "Sementara" dari Float. Untuk lebih detailnya bisa didengarkan dari sini https://www.youtube.com/watch?v=iU_xn_2-_B0
Sedangkan liriknya sebagai berikut:
Sementara teduhlah hatikuTidak lagi jauhBelum saatnya kau jatuhSementara ingat lagi mimpiJuga janji janjiJangan kau ingkari lagi
Percayalah hati lebih dari iniPernah kita laluiJangan henti disini
Sementara lupakanlah rinduSadarlah hatiku hanya ada kau dan akuDan sementara akan kukarang ceritaTentang mimpi jadi nyataUntuk asa kita ber dua
Percayalah hati lebih dari iniPernah kita laluiTakkan lagi kita mesti jauh melangkahNikmatilah laraJangan henti disini
Nikmatilah lara untuk sementara saja
**Dan syukurnya, suami saya juga suka lagu ini. Akhirnya kalau saya sedang nyanyi "Nikmatilah lara" dia akan menjawab "Untuk sementara saja". Lantas kami akan bernyanyi bersama.
Jadi apa lagu favorit anda yang bikin baper?  


Sumber foto: Shutterstock, bukan saya dan suami karena kami tak seramping itu. 

Sunday, January 15, 2017

Cadar Mbak Dian dan Fobia Atribut

Beberapa hari yang lalu, seorang teman berkunjung ke rumah. Di antara kudapan ala kadarnya, rumpi-rumpi cantik basa basi, saya bertanya bagaimana upayanya kemari menggunakan kereta commuter? Berkisahlah dia tentang kejadian selama perjalanan.


“Sebelah gue tadi cewek bercadar. Jadi sepanjang perjalanan bawaannya takut kalau-kalau dia bawa bom,”

Lu aja yang parno, jangan dikait-kaitin cadar sama teroris. Jangan Islamfobia lah,” jawab saya.

“Ga Islamfobia, gue cuma wahabi fobia,” kilahnya nyengir sambil membenarkan letak kerudung.

Fobia yang wajar, terlebih tempat dia tinggal hanya berjarak 10 kilo meter dari lokasi penangkapan Dian Yulia Novi di Bekasi. Mbak Dian yang wajahnya senantiasa ditutup cadar dituding sebagai “calon pengantin” peledakan bom panci yang konon daya ledaknya mencapai radius sekian ratus meter.

Teman saya semakin senewen, keinginan berlibur ke rumah saya di Bogor, malah mempertemukannya dengan seorang beratribut yang menakutinya, sebelahan lagi. Perjalanan Bekasi-Bogor yang seharusnya tak terlalu jauh membuat dia seperti sedang menempuh perjalanan Sleman-Banyuwangi.

Meski tak setuju dengan pendapatnya, cerita teman saya ini mengingatkan pengalaman empat tahun yang lalu.

Sewaktu masih menjadi wartawan di sebuah media massa nasional, saya meliput laporan jemaat Gereja Taman Yasmin, Bogor, yang mengadu ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia.

Di antara jemaat terdapat sejumlah anak kecil. Mereka beringsut ketakutan setelah melihat saya sembari memeluk orang dewasa di sebelahnya. Saya mengernyit, sebegitu mengerikankah wajah saya? Memang, saya tak secantik Raline Shah. Tapi kalau punya wajah mengerikan tidaklah, buktinya saya laku. Saya punya pacar, artinya wajah saya nggak creepy-creepy amat lah ya.

Perempuan dewasa di sebelah anak jemaat Gereja Taman Yasmin yang ketakutan itu lantas meminta maaf. Dia bercerita bahwa sejumlah anak memang mengalami ketakutan dengan atribut seperti kerudung, gamis, atau hal-hal yang mengingatkan mereka pada kekerasan pengusiran saat beribadah. Kebetulan yang mengusir mereka adalah laki-laki bersorban atau berkerudung bila perempuan.

Saya paham, kerudung saya membuat anak-anak jemaat Gereja Yasmin ketakutan. Dan tentu, saya perlu meminta maaf kepada jemaat GKI Yasmin atas kelakuan saudara seiman saya itu. Begitu pula dengan cadar yang dikenakan perempuan di kereta commuter teman saya tadi. Sungguhpun saya tak bermaksud jahat, begitu pula dengan perempuan bercadar mungkin tak bermaksud buruk dengan penumpang di seluruh kereta.

Atribut memang sering dikaitkan dengan penilaian terhadap orang lain, ia menimbulkan stigma tentang suatu hal. Meski stigma sendiri, kalau katanya Goffman, membuat individu kehilangan kepercayaan dan dapat menjadi suatu hal yang menakutkan. Jadi urusan stigma dan atribut berkelindan seperti bolah ruwet yang tak jelas ujungnya.

Saya termasuk yang paling kenyang dengan stigma-stigma buruk karena atribut yang disandang. Saya pernah dikira komunis gara-gara bergabung di GMNI —yang saat itu, melalui broadcast massal yang mengatasnamakan Kivlan Zen, sempat dituding sebagai penyaruan PKI baru dan perlu diberangus. Awalnya emosi, tapi setelah saya pikir dengan agak jernih, tak perlu lah berdebat dengan asu-asu itu.

Saat bekerja di Tempo, saya dituding anti-Islam, wartawan media kafir, karena waktu itu Tempo gencar memberitakan petinggi salah satu partai berbasis agama yang tersangkut kasus korupsi. Untuk yang soal ini abaikan saja. Tak apalah mereka menuduh kafir. Toh kalaupun saya kafir, saya tinggal baca syahadat lagi.

Tapi bila menyangkut kelajangan, saya wajib protes keras hingga pelaku minta maaf. Seorang narasumber bertanya di sela-sela wawancara apakah saya sudah menikah. Jawaban saya belum waktu itu.

“Pantas ya, Tempo sering nyinyir sama kita, ternyata wartawannya belum menikah. Apa perlu kami kirimkan ikhwan-ikhwan untuk menikahi para jurnalis perempuan di Tempo,” tanyanya.

Sekilas memang seperti bercanda tapi ini adalah pelecehan. Tak ada hubungan kekritisan dan kenyinyiran dengan status pernikahan seseorang. Agus Mulyadi atau Puthut EA, kekritisan mereka tak ada hubungannya dengan statusnya yang sudah nikah atau belum. Sakit hati hayati, Bang. Lebih sakit daripada ditinggal selingkuh mantan.

Setelah mau menikah, saya sempat dianggap kurang beragama oleh sebagian calon keluarga karena dukung Jokowi di Pemilu 2014. Sia-sia sudah ngaji kitab kuning waktu remaja. Semua ilmu akan musnah ketika saya memilih Jokowi. Begitu kesimpulannya.

Rentetan stigma yang disematkan seharusnya memang tidak membuat kita memperlakukan hal yang sama kepada orang yang berbeda. Betapa tidak enaknya dianggap buruk orang lain semestinya tak membuat kita memperlakukan hal yang sama.

Itulah kenapa saya selalu berkeyakinan bahwa tak perlu lah kelompok pengguna cadar menilai buruk pemakai rok mini, begitu pula sebaliknya. Tak enaklah kelompok yang dituding liberalis menuding balik dengan sebutan wahabis. Kalau kau murka dianggap aksi 212 berbayar, kenapa kau tuduh 412 begitu juga? Jika anggapan ibu pekerja tak peduli anak membuatmu kesal, lantas mengapa kau tuding ibu yang hanya di rumah sebagai perempuan suka ngerumpi? Berlaku adilah sejak dalam pikiran. Tak ada hujjah yang tepat untuk membenarkan perilaku deskriminasi kita.

Sungguh tak patut kita menerka-nerka orang lain hanya dari atributnya saja. Robert Langdon di Lost Symbols bahkan menyadarkan mahasiswanya bahwa ritual kelompok freemason pada titik tertentu sama mengerikannya dengan upacara agama atau kepercayaan lainnya.

Open your minds, my friends. We all fear what we do not understand.

----
Tulisan ini pernah diterbitkan di  Mojok Dot Co
Sumber foto: Huffpost.com

Wednesday, January 11, 2017

Bakmi Mewah Vs Indomie Real Meat, Siapa yang Menang?

Saya jarang sekali makan mie instan dengan alasan menghindari. Dalam sebulan, paling sekali makan mie andalan kos-kosan itu.

Makan mie biasanya karena coba-coba kalau ada varian baru. Rasa rendang, dendeng balado, soto lamongan, kira-kira semirip aslinya tidak ya. Enak, tapi ternyata tetap saja lebih nikmat yang asli.

Nah, sampai suatu ketika saya tergelitik dengan iklan Bakmi Mewah dari Mayora yang kelihatannya porsi besar ditambah toping daging ayam asli di atasnya. Indi Barends berhasil mempengaruhi saya.

Sampai di minimarket terdekat, saya juga menemukan kompetitor bakmi mewah yaitu Indomie Real Meat. Keduanya sama-sama mengandalkan daging asli.


"Pasti Indomie ngeluarin varian ini untuk menghadang penetrasi Bakmi Mewah," pikir saya waktu itu. Baiklah kita coba keduanya dan bandingkan. Berhubung Indomie Real Meat ada dua jenis, rendang dan ayam jamur, saya pilih yang terakhir untuk membandingkan dengan Bakmi Mewah.

1. Harga
Dari segi nominal rupiah, Bakmi Mewah lebih murah dibanding Indomie Real Meat. Bedanya cuma gopek, alias Rp 500. Dibanding dengan mie instan biasa, harganya 3-4 kali lebih mahal.

2. Kemasan
Namanya juga kompetitor, bungkusnya dibuat sama-sama dari kotak kertas. Kedua kemasan menggambarkan mie lengkap, kelihatannya enak dan besar.

3.Porsi
Berat Bakmi Mewah dan Indomie Real Meat sama-sama 110 gram. Ukurannya kelihatan lebih besar dibanding indomie atau mie instan normal yang sekitar 85 gram.

Tapi percayalah, Bakmi Mewah dan Indomie Real Meat sama-sama tak kenyang dimakan. Entah mengapa, saya lebih kenyang makan mie instan biasa campur telur ceplok dibanding dua varian yang diklaim lengkap itu.

4. Kelengkapan Mie
Berhubung keduanya menjual ide tambahan daging asli, tentu saja ada dagingnya. Dagingnya sedikit lebih banyak Bakmi Mewah. Keduanya sama-sama ada minyaknya, bumbu, bubuk cabe, dan sayuran kering yang saya duga cacahan seledri dan daun bawang. Sayuran dari kedua merek itu jelas tak segar.

5. Rasa
Nah ini yang ditunggu. Rasa Bakmi Mewah otentik, saus tiramnya terasa. Tapi kayak nanggung, kurang bawang dan bawang putih. Ditambah lada sedikit, mungkin rasanya lebih enak.

Sementara Indomie Real Meat, rasanya khas seperti mie instan dengan merek yang sama lainnya hanya ada tambahan daging ayam (atau rendang kalau jenisnya rendang). Bagaimana ya menjelaskannya? Saya bingung.

Begini, setiap kali makan Indomie varian apapun entah itu mie keriting goreng spesial yang katanya terenak di dunia, mie goreng spesial yang selalu menduduki puncak penjualan, mie kare yang masih kalah dengan milik Mie Sedap, rasa Indomie mempunyai benang merah. Nah itu yang saya rasakan ketika mencicipi Indomie Real Meat. Rasa dan aroma khas Indomie.

Daging ayam dan jamur dari keduanya dicacah kecil. Dagingnya sama-sama empuk. Jamur dan daging bisa menyerap bumbu dan minyak pelengkap.

Enak mana? Tergantung selera. Suami saya menyebut Indomie Real Meat lebih enak dibanding Bakmi Mewah. Sedangkan saya sebaliknya.


Setelah membandingkan kedua jenis mie instan dengan daging lengkap, mana yang akan saya beli kembali? Tidak ada. Karena porsinya nanggung dan harganya tak menjamin rasa.

Mending mie ayam bakso dekat rumah, Rp 12.000 sudah kenyang dan enak. By the way, maaf tidak menyertakan foto. Saya sudah mencoba dua mie ini Desember lalu dan tidak kepikiran difoto.**

Sumber foto: dari produsen masing-masing

Monday, January 9, 2017

Anggaran Makan Dua Orang Sehari Kurang Rp 20.000, Bisa?

Teman-teman sering berjengit ketika saya bercerita rata-rata biaya makan kami, saya dan suami, sehari bisa kurang dari Rp 20.000. "Emang bisa?" Tinggal di Bogor, bekerja di Jakarta tapi dengan pengeluaran yang setara dengan sekali makan di Jakarta?


Bisa, kalau kami disiplin masak. Sayangnya, disiplin masak itu membutuhkan effort yang luar biasa dan kerja tim yang solid. Beneran, ini tak berlebihan.


Baiklah, akan saya rinci bagaimana mulanya melakukan penghematan untuk kebutuhan perut. Setiap bulan, pekan pertama setelah gajian, kami selalu pergi ke supermarket langganan yang ada tagline "Wholesale".  Selain karena konsepnya ga pakai tas kresek setelah dihitung di kasir, alasan lain memilih karena harganya lebih miring dibanding retail modern lainnya.

Soal makanan, belanja bulanan yang selalu ada adalah beras 5 kg, telur 2 kg, bakso 500 gram, garam, gula 1 kg, kecap manis dan kecap tiram, sirup bubuk, kopi, minyak goreng kelapa 2 liter (kami sudah menghindari beli minyak sawit sejak Maret 2016 dengan alasan ekologi) dan teh. Ditambah dengan sabun, detergen, pembersih lantai, odol, toilet, kapur barus, shampo, sabun cuci, perlengkapan pribadi kayak deodorant, handbody, parfum dan tetek bengek lainnya. Total jenderal bulanan kami maksimal Rp 400 ribuan, paling sering Rp 300 ribuan. Kunci hematnya adalah #1 pilih ukuran besar jadi tiap bulan tak harus beli baru lagi.

Artinya, anggaran Rp 20.000 per hari itu di luar yang sudah saya beli di supermarket tadi. Jadi lebih mudah kan ngaturnya.

Selanjutnya, untuk sayur dan lauk lain, belilah di pasar tradisional atau warung sayuran karena harganya lebih murah. Beli di sini bukan berarti saya bisa nawar--silakan karena nawar itu tak dosa-- tapi kita bisa kenalan sama penjualnya sekaligus mengusung ekonomi kerakyatan.

Saya paling ga bisa kalau harus cincai cincai nawar bawang, kangkung, cabe, dan sayuran lain ke pedagang. Kalau ternyata harganya lebih tinggi daripada pasaran, dada bye bye, besok-besok saya ga akan beli lagi di situ. Artinya tips #2, belilah sayur di pasar/warung tradisional.

Sering kali saya tak sampai habis Rp 10.000 saat beli  bahan makanan di warung langganan. Misalnya mau bikin sayur bening bayam + ikan tongkol fillet, hanya menghabiskan Rp 7000 saja. Sop+lauk tempe, paling cuma Rp 10.000 saja. Dan ini bisa dimakan berdua.

Anda tahu, toge seperempat kilo hanya 2000, itupun bisa dipakai dua hari dengan menu yang berbeda. Daun bawang Rp 2000 itu sudah cukup untuk campuran goreng telur dadar tiga hari berturut-turut kalau ga bosan.

Tips #3, ada bumbu yang dibeli pakai ukuran. Saya rutin beli bawang putih dan bawang merah 1/4 kg per transasksi. Itu pun dua pekan kadang masih sisa. Cabe merah dan cabe rawit masing-masing 2 ons. Sering telah menjadi kering karena terlalu lama.

Membeli eceran dengan menyebut nominal rupiahnya, jatuhnya akan lebih mahal. "Bawang Rp 5000 saja," dapatnya cuma seuprit, kadang hanya cukup sekali masak.

Satu lagi, soal bumbu, faktor membuat saya bisa irit adalah karena kemurahan hati kerabat dan Tuhan. Kami sering mendapatkan kiriman bawang merah dan bawang putih dari kampung. Kadang juga dapat merica bubuk, sambal pecel, kemiri, empon-empon. Saking banyaknya, sudah tiga bulan berlalu belum habis dan terpaksa ditanam karena keluar tunas.

Kami juga pernah mengalami panen cabe rawit yang pohonya cuma sebiji. Sehari bisa belasan sampai akhirnya memutuskan dibagi ke tetangga sebelah. Kalau bukan kemurahan Tuhan, apa coba? Alhamdulilah. (Tapi mengapa ya pas cabe mahal, itu pohon sudah mati? yeiks).

Tips #4 jangan beli bahan makanan yang lagi mahal. Seperti sekarang, cabe lagi mahal, ya jangan beli cabe. Di pasar ada banyak bahan makanan yang lebih murah, pandai-pandai milih deh.

Tips #5, disipilin masak. Seperti yang saya bicarakan di awal, ini butuh tekad baja yang luar biasa dan kerja super tim kami sebagai suami istri. Di rumah, kami hanya punya waktu pukul 20.00-07.00 per hari kerja. Itu belum dikurangi makan, tidur, dan lain sebagainya.

Kapan masaknya? Ada waktunya, nonton TV sambil tangan gerak. Biasanya, saya sengaja memilih menu yang gampang diolah dan cepat. Apa itu? sejenis tumis-tumisan, sop, sayur bening, penyetan, dan semacamnya.

Untuk bekal makan siang keesokan harinya, saya sudah siapkan di malam hari. Paginya, tinggal masak nasi dan cuci piring selama suami mandi. Gantian saat saya mandi, suami yang meneruskan masak. Jadi bersyukurlah kalau mendapatkan pasangan yang ga malu bawa bekal plus suka masak.

Sehari, kami cuma makan dua kali, siang dan malam. Sarapan, biasanya kami ganti buah. Soal buah, pintar-pintar juga cari di pasar. Indonesia mengenal musim buah setiap bulan, beli yang selagi murah.

Apakah cara itu membuat kami kelaparan? Tidak. Buktinya jarum timbangan kami terus bergerak ke kanan. Duh.

Nah, masalah terbesar anggaran melebihi budget adalah ketika kami malas masak. Itu, namanya keuangan sudah tidak karuan, susah dikendalikan. Seporsi nasi uduk ayam goreng lalapan di pinggir jalan saja sudah seharga Rp 15.000 paling murah. Warteg dengan menu ala kadarnya sekitar Rp 10.000 per porsi, setara dengan pengeluaran makan sehari.

Begitu cerita ga penting, ga jelas, seputar anggaran makan sehari-hari. Kalau ada permintaan cara mengatur anggaran bulanan, kapan-kapan akan saya share. Semoga bermanfaat.**

Sumber foto: Shutterstock

Saturday, December 17, 2016

Lima Film Korea yang Sukses Bikin Nangis

Pernah merasakan suatu kesedihan yang teramat sangat hingga menangis pun tak bisa? Saya pernah. Maret 2010, setelah ibu meninggal di usia 49 tahun kurang satu bulan. Di saat almarhumah dikuburkan, banyak orang yang menganggap saya begitu tabah karena tak sedikitpun meneteskan air mata.

Padahal tidak, justru berduka saat itu. Hari-hari setelahnya, saya jalani tanpa emosi. Tak hanya menangis, saya tak bisa tertawa, juga tak bisa marah. Semuanya begitu datar. Sampai berminggu-minggu, tak ada setetespun gejolak emosi. Ini tentu sangat tak sehat.

Nyatanya, tak bisa menangis justru berbahaya. Terlalu banyak hormon kortisol menumpuk bisa mempengaruhi berbagai organ tubuh seperti jantung, sistem saraf pusat, ginjal, dan reproduksi. Menurut laman Netdoctor, menangis adalah obatnya.

Menangis bisa membantu melepaskan emosi dan membuat lebih bahagia. Air mata menolong kita mengeluarkan racun dan membersihkan hidung. Studi juga menyebutkan menangis ampuh menurunkan tekanan darah dan detak jantung.

Prihatin dengan saya yang tak bisa menangis, seorang sahabat memberikan dua film yang bisa menguras air mata. Satu film Jepang, dan lainnya dari Korea yang berjudul The Moment At The Remember.

Dua film itu sukses membuat saya menangis sesenggukan dan menjalani hari dengan normal. Film-film itu kembali saya putar ketika ingin meluapkan emosi. Setelah menangis, saya kembali siap menghadapi hari.

Ya, seperti judul di atas, film-film Korea memang berhasil mengaduk-aduk emosi. Kadang tertawa, sering tersedu-sedu. Berikut ini beberapa film yang pernah saya tonton dan sukses membuat terisak.

Tentu saja, penilaian ini sangat subjektif. Saya sengaja mengurutkan berdasarkan tingkat derasnya rinai-rinai air mata dan sedu sedan kala menyaksikan.

5. Hello Ghost

Hello Ghost bercerita tentang seorang pengangguran bernama Sang Man, dilakonkan apik oleh Cha Tae-Hyun seperti biasanya. Dia berulang kali melakukan percobaan bunuh diri namun selalu gagal. Di usaha terakhir, Sang Man malah bisa melihat hantu. Empat hantu yang mengganggunya seorang anak kecil yang nakal, ibu cengeng, bapak perokok berat, dan kakek mesum.

Kesal diganggu hantu, Sang Man pergi ke dukun. Ternyata keempat hantu itu adalah arwah penasaran. Dukun menyuruh Sang Man menuruti semua keinginan para hantu agar mereka tenang dan tak merisaknya lagi.

Ceritanya kocak membuat kita terbahak. Tapi jangan salah, sebuah alasan di akhir cerita justru membuat nangis sesenggukan.


4. Hearty Paws


Seorang anak 11 tahu bernama Chan-Yi (Yu Seong-Ho) tinggal berdua dengan adiknya So-i (Kim Hyang Ki) setelah ibu mereka pergi ke kota. Ayahnya sudah meninggal, paman dan bibinya sesekali menjenguk. Seekor anjing dicuri untuk dijadikan hadiah ulang tahun adiknya.

Paman bibinya ternyata harus pindah. Sebelum pergi, bibinya memberikan alamat sang ibu namun mereka menolak menemuinya. Toh ibunya sudah hidup bahagia dengan laki-laki lain.

Rentetan tragedi dari yang meneydihkan hingga mengharukan berhasil menguras air mata. Konflik dan akhir cerita benar-benar membuat kita nelangsa.

3. Ba-Bo: A Miracle of A Giving Fool

Menceritakan seorang laki-laki yang bernama Sung Ryong yang diperankan oleh Cha Tae-Hyeon. Ia menderita keterbelakangan mental disebabkan keracunan asap arang. Anak tersebut tinggal bersama keluarganya disebuah desa kecil yang tenang.
Setelah ayah dan ibunya meninggal, ia hanya tinggal berdua bersama seorang adik perempuannya Jee-In yang masih duduk dibangku SMA. Akibat penyakitnya itu, ia hanya memiliki keterampilan membuat roti panggang. Demi menjaga adiknya, Sung Ryong memilih berjualan di dekat sekolah. Tapi itu justru membuat Jee In kesal karena malu dengan kondisi kakaknya.

Cha Te-Hyeon memang luar biasa. Film drama, komedi, sampai yang action berhasil dia 'makan' dengan nikmatnya. A Miracle of A Giving Fool mengajari kita kerja keras, mencintai keluarga, dan tetap berbuat baik kepada sesama.

2. A Moment To  Remember

Bagaimana perasaan kita ketika orang yang kita cintai mengidap alzhimer dan perlahan melupakan kita. Itulah yang dialami Choi Chul So (Jung Woo Sung). Istrinya, Kim Su Jin (Son Ye Jin), tiba-tiba menjadi pelupa. Lupa jalan pulang, lupa teman, bahkan perlahan lupa dengan suaminya sendiri.

The Moment At The Remember selalu membuat saya menangis setiap kali menontonnya. Sosok seperti Chul So tentu membuat semua perempuan menginginkannya sebagai suami. Salah satu adegan yang menyentuh adalah saat Su Jin pipis sambil berdiri dan mengotori lantai di hadapan orang tuanya.

"Di a istriku. Akulah yang akan mengurusnya," kata Chul So. Dengan sabarnya, Chul So melepas pakaiannya untuk membersihkan kaki istrinya seraya menolak tawaran mertuanya yang menyuruh meninggalkan Su Jin.

Adegan itu mengingatkan saya pada peristiwa serupa saat bapak membersihkan kaki dan lantai saat ibu tak bisa menahan buang air kecil. Sambil menangis, ibu menyuruh bapak menikah lagi kalau misalnya dia sudah tiada. Tapi hingga kini bapak masih sendiri.

Ada satu ucapan Su Jin yang layak kutip, "Memaafkan itu hanyalah memberikan sedikit ruang pada rasa benci." Kalimat ini diucapkan ketika Su Jin meminta suaminya memaafkan ibu kandung yang membuang Chul So saat masih kecil.

Siapkan segepok tisu saat menonton film ini. Jangan baper, susah menemukan suami seperti Chul So. "Aku bertemu denganmu sebab aku pelupa. Aku meninggalkanmu sebab aku pelupa. Kau hal terindah yang pernah terjadi padaku."

1. Miracle In Cell No. 7

Dan juara bikin nangis kejer adalah Miracle In Cell No. 7.  Lee Yong Gu (Ryu Seung Ryong), seorang ayah yang keterbelakangan mental dituduh memperkosa dan membunuh anak kecil. Karena masuk penjara, Lee Yong Go harus meninggalkan anak perempuannya sendirian bernama Yesung (Kal So-Won). Namun putrinya yang tak mau ditinggal berusaha melakukan berbagai cara untuk bisa masuk penjara supaya bisa selalu bersama ayahnya.

Park Shin Hye yang menjadi Yesung dewasa berusaha menyelamatkan nama baik ayahnya. Sebagai pengacara, dia berusaha membuktikan ayahnya tak bersalah. Berhasil?

Menonton film ini seperti naik roller coaster. Sebentar tertawa tergelak, sebentar nangis terisak-isak. Kata-kata seperti "Yesung, jangan lupa minum vitamin," saja sudah membuat saya mewek ga karuan. Chemistry antara ayah dan anak memang terjalin baik.

Nah, itu tadi deretan film yang sukses menyebabkan air mata membanjir. Kamu yang laki-laki, tak perlu malu mewek di depan layar. Yakinlah, menangis itu membuat hati lebih tenang setelahnya.**


Wednesday, December 14, 2016

Headshot, Ra's Al Ghul atau Darth Vader?



Sabtu pekan lalu, 10 Desember 2016, setengah bersungut-sungut saya menerima ajakan suami nonton Headshot di pusat perbelanjaan di Cibinong, Bogor. Entahlah, saya kurang minat dengan film itu.

"Iko Uwais, pasti bagus," rayunya. Maklum, dia penggemar laga dan Iko Uwais. Mestinya saya melarang Bapak pulang ke Kediri. Bapak dan menantu pecinta film setipe.

Okay, baiklah. Mari melangkah ke teater dan membeli tiket. Kurang 40 menit pertunjukan, kami mendapatkan barisan G. Deretan C favorit kami tampaknya sudah diduduki.

Singkat cerita, begini sinopsis Headshot yang saya kutip dari situs 21cineplex.com.

Pemuda misterius bangun tersentak dari keadaan koma selama berbulan-bulan, dirawat hingga pulih oleh seorang murid kedokteran bernama Ailin ketika ditemukan sekarat dengan sebuah luka tembakan di kepala. Seperti sebuah kelahiran baru dan, menyadari pemuda ini telah kehilangan ingatan dan indentitas dirinya, Ailin menamakan pemuda tersebut Ishmael.

Keduanya langsung menjadi dekat tanpa menyadari bahwa dibalik kedamaian sesaat tersebut bahaya mengintai. Hidup mereka dalam waktu dekat akan berbenturan dengan geng kriminal berbahaya yang dipimpin oleh seorang pemimpin misterius yang dikenal hanya dengan sebutan Lee.

Ishmael mulai mamahami identitas asli dirinya yang sangat erat berkaitan dengan para kriminal, dimana Ailin diculik dengan kejam. Bertekad untuk menyelamatkan wanita yang telah memberikannya kehidupan baru, Ishmael tidak punya pilihan selain menghadapi masa lalunya. Namun dengan semua konfrontasi kekerasan yang membuat Ishamel menghadapi ingatan yang membawanya selangkah lebih dekat dengan masa lalu kelam yang sebenarnya, kepribadian yang mematikan terbangun di dalam dirinya mulai menguak siapa Ishmael sebenarnya.

Lebih detailnya saksikan sendiri. Saya agak malas memberikan sop iler alias spoiler di tulisan ini. Sekarang, mari kita memberikan penilaian.

Izinkan saya memaparkan kelebihan Headshot terlebih dahulu. Saya menganggap Headshot berjenis popcorn movie meski deretan penghargaan berhasil diraihnya.  Di L'Etrange Festival Paris 2016, Headshot meraih gelar Grand Prix Nouveau Genre Award di kategori International Feature Film Competition.

Saat diputar perdana di Toronto International Film Festival, Headshot mendapatkan apresiasi lewat tepukan panjang penontonnya. Di dalam negeri sendiri, Headshot diganjar dua penghargaan untuk kategori Penata Suara Terbaik dan Penata Efek Visual Terbaik.

Tentu sederet penghargaan ini saya duga karena Headshot mampu memberikan tensi ketegangan yang stabil. Alur cerita, menurut saya, lumayan kuat dengan bumbu drama yang tak berlebihan. Setidaknya saya tak sempat nglamun seperti saat nonton film Mo Brother sebelumnya, 'Killers.' Atau tidak juga sampai terlalu sering menutup mata seperti 'Rumah Dara'.

Akting yang paling menonjol adalah Sunny Pang, pemeran Lee yang menjadi tokoh antagonis. Sikapnya santai tapi luar biasa sadis. Adegan makan mie sebelum transaksi menunjukan ketenangan seorang penjahat yang elegan, father of hell.


Akting Iko sedikit meningkat dibanding film-filmnya yang lalu. Dia sudah bisa mengucapkan kata-kata dengan jelas, tak lagi kumur-kumur. Wajahnya sudah lebih lentur, tidak disuntik botox seperti akting sebelumnya.

Chelsea Islan juga menarik. Aktingnya tak berlebihan layaknya saat bermain di Dibalik 98. Saya suka perubahan sikapnya dari yang ramah dan lincah ketika masih di rumah sakit menjadi pemarah saat disekap.

Setelah kelebihan, mari kita kulik kekurangannya. Saya agak janggal dengan tata bahasa yang digunakan Chelsea saat Iko masih koma. Naskah dialog kurang alami, seperti berdeklamasi.

Kalau anda berniat menonton Headshot untuk melihat seni bela diri yang indah,lebih baik pulang saja. Dari awal hingga 3/4 film hanya bag big bug tanpa teknik. Iko seperti asal pukul, asal tendang, tidak menggunakan jurus. Mungkin karena lawan mainnya buta bela diri jadi dia menggampangkan. Andai saja ada Yayan "Mad Dog" Ruhiyan jadi lawannya.

Saat final battle melawan Sunny Pang, Iko baru menggunakan teknik bela diri tapi masih juga setengah-setengah. Saya malah mengira gerakan Iko bukan silat nusantara melainkan aliran kungfu dari Tiongkok.

"Wingchun ya itu?" bisik saya kepada suami.
"Bukan, itu silat harimau," jawabnya.

Sampai sekarang, saya tak percaya teknik yang digunakan Iko adalah silat harimau seperti di 'Merantau' atau 'The Raid'. Gerakannya sangat jauh berbeda.

Bagi anda yang bermata jeli, awas ada ranjau sinematografi di tengah film. Saya menemukan kamera bocor saat adegan di hutan. Titik titik air mengumpul di atas kaca kamera hingga menimbulkan bias pelangi.

Kekurangan lainnya, Headshot nampaknya juga kurang riset. Bagaimana mungkin seorang dokter muda atau dokter magang menggunakan jas putih lengan panjang? Seingat saya, jas putih lengan panjang dikenakan dokter spesialis sedangan lengan pendek untuk dokter umum.

Sedangkan dokter muda, ada yang menggunakan jas berlengan panjang namun selutut. Perhatikan jas yang digunakan Ailin, tidak selutut tetapi berlengan panjang. Mengingat statusnya yang magang di pelosok Bangka Belitung, harusnya Chelsea tak menggunakan jas spesialis.

Nah keseimpulannya, film ini memang menghibur dengan ketegangannya tapi tak cukup untuk dianggap mengesankan. Nilai 6,5 secara keseluruhan.

Lantas, apa hubungannya dengan Ra's Al Ghul atau Darth Vader? Begini, entah mengapa saat menyaksikan beberapa adegan di Headshot, saya malah teringat dengan Trilogi Batman-nya Nolan dan Starwars.

Saat adegan di sebuah sumur dan upaya Lee menangkap Ishmael/Abdi, saya teringat adegan antara Ra's Al Ghul dan Batman/Bruce Wayne. Sedangkan saat Lee mengatakan "I am your father", saya malah langsung terpikir adegan antara Darth Vader dengan Luke Skywalker di Starwars.

Sedikit bocoran untuk para lelaki. Ada adegan berantem yang membuat Julie Estelle nampak seksi dengan cleavage-nya.

Selamat menonton.

Tuesday, November 15, 2016

Sama Seperti Asmara, Jangan Lawan Politik dengan Kebencian

Tumbangnya Calon Presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat Hillary Clinton melawan Donald Trump, mengingatkan saya pada masalah asmara para manusia-manusia galau. Bahwa sejatinya terlalu benci itu tak bagus, karena itu justru menyiksa dan membuat kalah.




Begini alasannya, biarkan saya yang pengamat politik dan percintaan abal-abal ini menjelaskan. Orang bilang lawan cinta itu adalah benci, menurut teori saya tidak. Lawan cinta adalah tidak peduli. Ketika kamu benci mantan pacarmu, artinya masih cinta karena ada peduli lewat segala perkepoan dengan nasibnya setelah kalian berpisah. 

Melawan cinta dengan benci sampai di ubun-ubun justru menyakitimu. Apalagi kalau melihat mantan pacarmu sudah move on dengan pasangan yang lebih dari segalanya, apa kamu ndak kian terpuruk di sini hingga menggigil palung hati. Artinya kamu masih cinta dengannya.

Tapi kalau kamu mengabaikannya, ndak ngintip facebooknya lagi, ndak njelek-njelekin lagi, melainkan fokus menyambut calon pacar baru. Meyakinkan diri dan publik kalau gebetanmu itu lebih baik dari mantanmu, saya yakin kamu akan memenangkan segala kegalauan dalam hati dan pikiran. Kamu bakal lebih cepat move on.

Baiklah, daripada kian nglantur, jadi inilah yang sebenarnya membuat Hillary Clinton kalah suara dibanding Donald Trump. Pembenci Donald Trump terlau berapi-api menjelekan Calon Presiden dari Partai Republik sampai lupa mengenalkan apa sih bagusnya Nyonyah Clinton itu. Koar-koar misuhi Trump di medsos juga percuma, malah nambah popularitas bapaknya Ivanka yang demplon itu makin meroket.

Sewaktu Hillary Clinton dihajar isu ritual aneh spirit cooking yang melibatkan darah, daging, air susu perempuan, dan sperma (hayo pikirannya jangan ngeres), juga tidak ada tuh yang mati-matian mengcounter atau minimal ditumpuk dengan positifnya mantan ibu negara. Isinya njelek-njeleki Trump terus. Itu artinya di dalam hati para pembenci Trump tak benar-benar cinta dengan Clinton.

Seperti yang ada di bukunya Rhonda Byrne, hukum tarik-menarik bekerja karena pikiran dominan yang ada di benak kita. Kalau di otak kita pengen kaya, kemudahan bakal terus ngalir. Tapi sebaliknya, ketika yang dominan dalam benak kita itu pikiran ndak punya duit maka yang bakal hadir adalah kesulitan finansial. Meski kita tentu tak berharap.

Seharusnya pembenci Trump belajar ke kasus pendukung Prabowo di Pemilu Presiden 2014. Ketika itu, pendukung Prabowo lebih sibuk hina-hina sampai bikin isu aneh-aneh soal Jokowi, mereka lupa ada Prabowo yang lebih perlu dikenalkan. Isu PKI, antek liberal, antek komunis, non-muslim, disematkan ke Jokowi sementara tim-nya Jokowi sibuk menangkis dan sikat miring. Sampai akhirnya kabar calon nomor urut dua lebih menggema daripada pasangan nomor urut satu.

Tidak heran, capres yang mendominasi di otak pendukung kedua pasangan calon adalah Jokowi. Sebagaimana hukum tarik menarik, yang banyak dibicarakan adalah yang banyak menang. Bisa jadi alasannya karena pemilih mengambang menjadi iba dan jadinya membela. Kalau yang tetap benci, jangan-jangan salah coblos  sewaktu milih. Bukannya penduduk Indonesia itu gampang terbawa suasana. Buktinya, orang lebih kenal Tapasya dibanding Ichcha di Uttaran. Saya rasa begitu juga dengan di Amerika sana.

Kasus kemenangan Donald Trump dan Jokowi di pemilihan masing-masing semakin meyakinkan saya benci itu tak akan berjaya di politik. Abaikan dan cintai calonmu sepenuh hati. Apakah ini bakal terbukti di Pilgub Jakarta 2017? Kalau pemenangnya Ahok berarti masuk itu barang. Tak ada calon gubernur di Indonesia yang paling banyak dimaki selain Ahok. Tapi kalau prediksi salah, sebagai pengamat politik dan percintaan abal-abal, saya perlu belajar lagi.


Pada ujungnya, saran ini tak hanya ditujukan kepada pembenci calon kepala-kepala yang bakal dipilih di pemilu, tetapi juga para jomblo yang barusan putus dan masih sakit hati. Cepat move on, fokus ke calon gebetan.  Ingat ya, stock jomblo berkualitas kian menipis. Terbukti, gebetan yang dulu kamu tolak sudah punya pasangan. Kamu kapan?