Saturday, December 17, 2016

Lima Film Korea yang Sukses Bikin Nangis

Pernah merasakan suatu kesedihan yang teramat sangat hingga menangis pun tak bisa? Saya pernah. Maret 2010, setelah ibu meninggal di usia 49 tahun kurang satu bulan. Di saat almarhumah dikuburkan, banyak orang yang menganggap saya begitu tabah karena tak sedikitpun meneteskan air mata.

Padahal tidak, justru berduka saat itu. Hari-hari setelahnya, saya jalani tanpa emosi. Tak hanya menangis, saya tak bisa tertawa, juga tak bisa marah. Semuanya begitu datar. Sampai berminggu-minggu, tak ada setetespun gejolak emosi. Ini tentu sangat tak sehat.

Nyatanya, tak bisa menangis justru berbahaya. Terlalu banyak hormon kortisol menumpuk bisa mempengaruhi berbagai organ tubuh seperti jantung, sistem saraf pusat, ginjal, dan reproduksi. Menurut laman Netdoctor, menangis adalah obatnya.

Menangis bisa membantu melepaskan emosi dan membuat lebih bahagia. Air mata menolong kita mengeluarkan racun dan membersihkan hidung. Studi juga menyebutkan menangis ampuh menurunkan tekanan darah dan detak jantung.

Prihatin dengan saya yang tak bisa menangis, seorang sahabat memberikan dua film yang bisa menguras air mata. Satu film Jepang, dan lainnya dari Korea yang berjudul The Moment At The Remember.

Dua film itu sukses membuat saya menangis sesenggukan dan menjalani hari dengan normal. Film-film itu kembali saya putar ketika ingin meluapkan emosi. Setelah menangis, saya kembali siap menghadapi hari.

Ya, seperti judul di atas, film-film Korea memang berhasil mengaduk-aduk emosi. Kadang tertawa, sering tersedu-sedu. Berikut ini beberapa film yang pernah saya tonton dan sukses membuat terisak.

Tentu saja, penilaian ini sangat subjektif. Saya sengaja mengurutkan berdasarkan tingkat derasnya rinai-rinai air mata dan sedu sedan kala menyaksikan.

5. Hello Ghost

Hello Ghost bercerita tentang seorang pengangguran bernama Sang Man, dilakonkan apik oleh Cha Tae-Hyun seperti biasanya. Dia berulang kali melakukan percobaan bunuh diri namun selalu gagal. Di usaha terakhir, Sang Man malah bisa melihat hantu. Empat hantu yang mengganggunya seorang anak kecil yang nakal, ibu cengeng, bapak perokok berat, dan kakek mesum.

Kesal diganggu hantu, Sang Man pergi ke dukun. Ternyata keempat hantu itu adalah arwah penasaran. Dukun menyuruh Sang Man menuruti semua keinginan para hantu agar mereka tenang dan tak merisaknya lagi.

Ceritanya kocak membuat kita terbahak. Tapi jangan salah, sebuah alasan di akhir cerita justru membuat nangis sesenggukan.


4. Hearty Paws


Seorang anak 11 tahu bernama Chan-Yi (Yu Seong-Ho) tinggal berdua dengan adiknya So-i (Kim Hyang Ki) setelah ibu mereka pergi ke kota. Ayahnya sudah meninggal, paman dan bibinya sesekali menjenguk. Seekor anjing dicuri untuk dijadikan hadiah ulang tahun adiknya.

Paman bibinya ternyata harus pindah. Sebelum pergi, bibinya memberikan alamat sang ibu namun mereka menolak menemuinya. Toh ibunya sudah hidup bahagia dengan laki-laki lain.

Rentetan tragedi dari yang meneydihkan hingga mengharukan berhasil menguras air mata. Konflik dan akhir cerita benar-benar membuat kita nelangsa.

3. Ba-Bo: A Miracle of A Giving Fool

Menceritakan seorang laki-laki yang bernama Sung Ryong yang diperankan oleh Cha Tae-Hyeon. Ia menderita keterbelakangan mental disebabkan keracunan asap arang. Anak tersebut tinggal bersama keluarganya disebuah desa kecil yang tenang.
Setelah ayah dan ibunya meninggal, ia hanya tinggal berdua bersama seorang adik perempuannya Jee-In yang masih duduk dibangku SMA. Akibat penyakitnya itu, ia hanya memiliki keterampilan membuat roti panggang. Demi menjaga adiknya, Sung Ryong memilih berjualan di dekat sekolah. Tapi itu justru membuat Jee In kesal karena malu dengan kondisi kakaknya.

Cha Te-Hyeon memang luar biasa. Film drama, komedi, sampai yang action berhasil dia 'makan' dengan nikmatnya. A Miracle of A Giving Fool mengajari kita kerja keras, mencintai keluarga, dan tetap berbuat baik kepada sesama.

2. A Moment To  Remember

Bagaimana perasaan kita ketika orang yang kita cintai mengidap alzhimer dan perlahan melupakan kita. Itulah yang dialami Choi Chul So (Jung Woo Sung). Istrinya, Kim Su Jin (Son Ye Jin), tiba-tiba menjadi pelupa. Lupa jalan pulang, lupa teman, bahkan perlahan lupa dengan suaminya sendiri.

The Moment At The Remember selalu membuat saya menangis setiap kali menontonnya. Sosok seperti Chul So tentu membuat semua perempuan menginginkannya sebagai suami. Salah satu adegan yang menyentuh adalah saat Su Jin pipis sambil berdiri dan mengotori lantai di hadapan orang tuanya.

"Di a istriku. Akulah yang akan mengurusnya," kata Chul So. Dengan sabarnya, Chul So melepas pakaiannya untuk membersihkan kaki istrinya seraya menolak tawaran mertuanya yang menyuruh meninggalkan Su Jin.

Adegan itu mengingatkan saya pada peristiwa serupa saat bapak membersihkan kaki dan lantai saat ibu tak bisa menahan buang air kecil. Sambil menangis, ibu menyuruh bapak menikah lagi kalau misalnya dia sudah tiada. Tapi hingga kini bapak masih sendiri.

Ada satu ucapan Su Jin yang layak kutip, "Memaafkan itu hanyalah memberikan sedikit ruang pada rasa benci." Kalimat ini diucapkan ketika Su Jin meminta suaminya memaafkan ibu kandung yang membuang Chul So saat masih kecil.

Siapkan segepok tisu saat menonton film ini. Jangan baper, susah menemukan suami seperti Chul So. "Aku bertemu denganmu sebab aku pelupa. Aku meninggalkanmu sebab aku pelupa. Kau hal terindah yang pernah terjadi padaku."

1. Miracle In Cell No. 7

Dan juara bikin nangis kejer adalah Miracle In Cell No. 7.  Lee Yong Gu (Ryu Seung Ryong), seorang ayah yang keterbelakangan mental dituduh memperkosa dan membunuh anak kecil. Karena masuk penjara, Lee Yong Go harus meninggalkan anak perempuannya sendirian bernama Yesung (Kal So-Won). Namun putrinya yang tak mau ditinggal berusaha melakukan berbagai cara untuk bisa masuk penjara supaya bisa selalu bersama ayahnya.

Park Shin Hye yang menjadi Yesung dewasa berusaha menyelamatkan nama baik ayahnya. Sebagai pengacara, dia berusaha membuktikan ayahnya tak bersalah. Berhasil?

Menonton film ini seperti naik roller coaster. Sebentar tertawa tergelak, sebentar nangis terisak-isak. Kata-kata seperti "Yesung, jangan lupa minum vitamin," saja sudah membuat saya mewek ga karuan. Chemistry antara ayah dan anak memang terjalin baik.

Nah, itu tadi deretan film yang sukses menyebabkan air mata membanjir. Kamu yang laki-laki, tak perlu malu mewek di depan layar. Yakinlah, menangis itu membuat hati lebih tenang setelahnya.**


Wednesday, December 14, 2016

Headshot, Ra's Al Ghul atau Darth Vader?



Sabtu pekan lalu, 10 Desember 2016, setengah bersungut-sungut saya menerima ajakan suami nonton Headshot di pusat perbelanjaan di Cibinong, Bogor. Entahlah, saya kurang minat dengan film itu.

"Iko Uwais, pasti bagus," rayunya. Maklum, dia penggemar laga dan Iko Uwais. Mestinya saya melarang Bapak pulang ke Kediri. Bapak dan menantu pecinta film setipe.

Okay, baiklah. Mari melangkah ke teater dan membeli tiket. Kurang 40 menit pertunjukan, kami mendapatkan barisan G. Deretan C favorit kami tampaknya sudah diduduki.

Singkat cerita, begini sinopsis Headshot yang saya kutip dari situs 21cineplex.com.

Pemuda misterius bangun tersentak dari keadaan koma selama berbulan-bulan, dirawat hingga pulih oleh seorang murid kedokteran bernama Ailin ketika ditemukan sekarat dengan sebuah luka tembakan di kepala. Seperti sebuah kelahiran baru dan, menyadari pemuda ini telah kehilangan ingatan dan indentitas dirinya, Ailin menamakan pemuda tersebut Ishmael.

Keduanya langsung menjadi dekat tanpa menyadari bahwa dibalik kedamaian sesaat tersebut bahaya mengintai. Hidup mereka dalam waktu dekat akan berbenturan dengan geng kriminal berbahaya yang dipimpin oleh seorang pemimpin misterius yang dikenal hanya dengan sebutan Lee.

Ishmael mulai mamahami identitas asli dirinya yang sangat erat berkaitan dengan para kriminal, dimana Ailin diculik dengan kejam. Bertekad untuk menyelamatkan wanita yang telah memberikannya kehidupan baru, Ishmael tidak punya pilihan selain menghadapi masa lalunya. Namun dengan semua konfrontasi kekerasan yang membuat Ishamel menghadapi ingatan yang membawanya selangkah lebih dekat dengan masa lalu kelam yang sebenarnya, kepribadian yang mematikan terbangun di dalam dirinya mulai menguak siapa Ishmael sebenarnya.

Lebih detailnya saksikan sendiri. Saya agak malas memberikan sop iler alias spoiler di tulisan ini. Sekarang, mari kita memberikan penilaian.

Izinkan saya memaparkan kelebihan Headshot terlebih dahulu. Saya menganggap Headshot berjenis popcorn movie meski deretan penghargaan berhasil diraihnya.  Di L'Etrange Festival Paris 2016, Headshot meraih gelar Grand Prix Nouveau Genre Award di kategori International Feature Film Competition.

Saat diputar perdana di Toronto International Film Festival, Headshot mendapatkan apresiasi lewat tepukan panjang penontonnya. Di dalam negeri sendiri, Headshot diganjar dua penghargaan untuk kategori Penata Suara Terbaik dan Penata Efek Visual Terbaik.

Tentu sederet penghargaan ini saya duga karena Headshot mampu memberikan tensi ketegangan yang stabil. Alur cerita, menurut saya, lumayan kuat dengan bumbu drama yang tak berlebihan. Setidaknya saya tak sempat nglamun seperti saat nonton film Mo Brother sebelumnya, 'Killers.' Atau tidak juga sampai terlalu sering menutup mata seperti 'Rumah Dara'.

Akting yang paling menonjol adalah Sunny Pang, pemeran Lee yang menjadi tokoh antagonis. Sikapnya santai tapi luar biasa sadis. Adegan makan mie sebelum transaksi menunjukan ketenangan seorang penjahat yang elegan, father of hell.


Akting Iko sedikit meningkat dibanding film-filmnya yang lalu. Dia sudah bisa mengucapkan kata-kata dengan jelas, tak lagi kumur-kumur. Wajahnya sudah lebih lentur, tidak disuntik botox seperti akting sebelumnya.

Chelsea Islan juga menarik. Aktingnya tak berlebihan layaknya saat bermain di Dibalik 98. Saya suka perubahan sikapnya dari yang ramah dan lincah ketika masih di rumah sakit menjadi pemarah saat disekap.

Setelah kelebihan, mari kita kulik kekurangannya. Saya agak janggal dengan tata bahasa yang digunakan Chelsea saat Iko masih koma. Naskah dialog kurang alami, seperti berdeklamasi.

Kalau anda berniat menonton Headshot untuk melihat seni bela diri yang indah,lebih baik pulang saja. Dari awal hingga 3/4 film hanya bag big bug tanpa teknik. Iko seperti asal pukul, asal tendang, tidak menggunakan jurus. Mungkin karena lawan mainnya buta bela diri jadi dia menggampangkan. Andai saja ada Yayan "Mad Dog" Ruhiyan jadi lawannya.

Saat final battle melawan Sunny Pang, Iko baru menggunakan teknik bela diri tapi masih juga setengah-setengah. Saya malah mengira gerakan Iko bukan silat nusantara melainkan aliran kungfu dari Tiongkok.

"Wingchun ya itu?" bisik saya kepada suami.
"Bukan, itu silat harimau," jawabnya.

Sampai sekarang, saya tak percaya teknik yang digunakan Iko adalah silat harimau seperti di 'Merantau' atau 'The Raid'. Gerakannya sangat jauh berbeda.

Bagi anda yang bermata jeli, awas ada ranjau sinematografi di tengah film. Saya menemukan kamera bocor saat adegan di hutan. Titik titik air mengumpul di atas kaca kamera hingga menimbulkan bias pelangi.

Kekurangan lainnya, Headshot nampaknya juga kurang riset. Bagaimana mungkin seorang dokter muda atau dokter magang menggunakan jas putih lengan panjang? Seingat saya, jas putih lengan panjang dikenakan dokter spesialis sedangan lengan pendek untuk dokter umum.

Sedangkan dokter muda, ada yang menggunakan jas berlengan panjang namun selutut. Perhatikan jas yang digunakan Ailin, tidak selutut tetapi berlengan panjang. Mengingat statusnya yang magang di pelosok Bangka Belitung, harusnya Chelsea tak menggunakan jas spesialis.

Nah keseimpulannya, film ini memang menghibur dengan ketegangannya tapi tak cukup untuk dianggap mengesankan. Nilai 6,5 secara keseluruhan.

Lantas, apa hubungannya dengan Ra's Al Ghul atau Darth Vader? Begini, entah mengapa saat menyaksikan beberapa adegan di Headshot, saya malah teringat dengan Trilogi Batman-nya Nolan dan Starwars.

Saat adegan di sebuah sumur dan upaya Lee menangkap Ishmael/Abdi, saya teringat adegan antara Ra's Al Ghul dan Batman/Bruce Wayne. Sedangkan saat Lee mengatakan "I am your father", saya malah langsung terpikir adegan antara Darth Vader dengan Luke Skywalker di Starwars.

Sedikit bocoran untuk para lelaki. Ada adegan berantem yang membuat Julie Estelle nampak seksi dengan cleavage-nya.

Selamat menonton.

Tuesday, November 15, 2016

Sama Seperti Asmara, Jangan Lawan Politik dengan Kebencian

Tumbangnya Calon Presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat Hillary Clinton melawan Donald Trump, mengingatkan saya pada masalah asmara para manusia-manusia galau. Bahwa sejatinya terlalu benci itu tak bagus, karena itu justru menyiksa dan membuat kalah.




Begini alasannya, biarkan saya yang pengamat politik dan percintaan abal-abal ini menjelaskan. Orang bilang lawan cinta itu adalah benci, menurut teori saya tidak. Lawan cinta adalah tidak peduli. Ketika kamu benci mantan pacarmu, artinya masih cinta karena ada peduli lewat segala perkepoan dengan nasibnya setelah kalian berpisah. 

Melawan cinta dengan benci sampai di ubun-ubun justru menyakitimu. Apalagi kalau melihat mantan pacarmu sudah move on dengan pasangan yang lebih dari segalanya, apa kamu ndak kian terpuruk di sini hingga menggigil palung hati. Artinya kamu masih cinta dengannya.

Tapi kalau kamu mengabaikannya, ndak ngintip facebooknya lagi, ndak njelek-njelekin lagi, melainkan fokus menyambut calon pacar baru. Meyakinkan diri dan publik kalau gebetanmu itu lebih baik dari mantanmu, saya yakin kamu akan memenangkan segala kegalauan dalam hati dan pikiran. Kamu bakal lebih cepat move on.

Baiklah, daripada kian nglantur, jadi inilah yang sebenarnya membuat Hillary Clinton kalah suara dibanding Donald Trump. Pembenci Donald Trump terlau berapi-api menjelekan Calon Presiden dari Partai Republik sampai lupa mengenalkan apa sih bagusnya Nyonyah Clinton itu. Koar-koar misuhi Trump di medsos juga percuma, malah nambah popularitas bapaknya Ivanka yang demplon itu makin meroket.

Sewaktu Hillary Clinton dihajar isu ritual aneh spirit cooking yang melibatkan darah, daging, air susu perempuan, dan sperma (hayo pikirannya jangan ngeres), juga tidak ada tuh yang mati-matian mengcounter atau minimal ditumpuk dengan positifnya mantan ibu negara. Isinya njelek-njeleki Trump terus. Itu artinya di dalam hati para pembenci Trump tak benar-benar cinta dengan Clinton.

Seperti yang ada di bukunya Rhonda Byrne, hukum tarik-menarik bekerja karena pikiran dominan yang ada di benak kita. Kalau di otak kita pengen kaya, kemudahan bakal terus ngalir. Tapi sebaliknya, ketika yang dominan dalam benak kita itu pikiran ndak punya duit maka yang bakal hadir adalah kesulitan finansial. Meski kita tentu tak berharap.

Seharusnya pembenci Trump belajar ke kasus pendukung Prabowo di Pemilu Presiden 2014. Ketika itu, pendukung Prabowo lebih sibuk hina-hina sampai bikin isu aneh-aneh soal Jokowi, mereka lupa ada Prabowo yang lebih perlu dikenalkan. Isu PKI, antek liberal, antek komunis, non-muslim, disematkan ke Jokowi sementara tim-nya Jokowi sibuk menangkis dan sikat miring. Sampai akhirnya kabar calon nomor urut dua lebih menggema daripada pasangan nomor urut satu.

Tidak heran, capres yang mendominasi di otak pendukung kedua pasangan calon adalah Jokowi. Sebagaimana hukum tarik menarik, yang banyak dibicarakan adalah yang banyak menang. Bisa jadi alasannya karena pemilih mengambang menjadi iba dan jadinya membela. Kalau yang tetap benci, jangan-jangan salah coblos  sewaktu milih. Bukannya penduduk Indonesia itu gampang terbawa suasana. Buktinya, orang lebih kenal Tapasya dibanding Ichcha di Uttaran. Saya rasa begitu juga dengan di Amerika sana.

Kasus kemenangan Donald Trump dan Jokowi di pemilihan masing-masing semakin meyakinkan saya benci itu tak akan berjaya di politik. Abaikan dan cintai calonmu sepenuh hati. Apakah ini bakal terbukti di Pilgub Jakarta 2017? Kalau pemenangnya Ahok berarti masuk itu barang. Tak ada calon gubernur di Indonesia yang paling banyak dimaki selain Ahok. Tapi kalau prediksi salah, sebagai pengamat politik dan percintaan abal-abal, saya perlu belajar lagi.


Pada ujungnya, saran ini tak hanya ditujukan kepada pembenci calon kepala-kepala yang bakal dipilih di pemilu, tetapi juga para jomblo yang barusan putus dan masih sakit hati. Cepat move on, fokus ke calon gebetan.  Ingat ya, stock jomblo berkualitas kian menipis. Terbukti, gebetan yang dulu kamu tolak sudah punya pasangan. Kamu kapan?

Monday, November 14, 2016

Menguasai Dunia dengan Nasi Padang

Lagi-lagi masyarakat Indonesia dibuat terpukau dengan sekelompok bule Norwegia, Audun Kivltan dan teman-temannya yang gemar makan nasi Padang. Padahal ya, saya rasa tak aneh kalau warga dunia menyukai makanan yang ada di warung nasi Padang. Rendang, misalnya, yang merupakan salah satu lauk unggulan Warung Kapau, diakui sebagai makanan terenak di dunia versi CNN.

Sejatinya bukan hanya rendang menu masakan Padang yang membuat orang tergila-gila.

Ada dendeng balado dengan irisan cabe merah, baik basah maupun kriuk, nikmat disantap dengan nasi panas mengepul. Gulai kikil sapi yang kenyal dengan kuah lezat untuk dicecap. Ayam pop yang enak dikrokoti hingga tersisa tulang. Gulai kepala ikan kakap yang bumbunya mubadzir bila tersisa setetes pun. Mari kita jilati sisa kuahnya yang berlumuran di tangan…

Onde mande, lamak bana! Tambuah ciek, Da!

Kita tentu bangga ada orang asing yang menyukai makanan Indonesia, salah satunya nasi Padang. Tapi sebagai pewaris feodalisme dan inferioritas kompleks turun temurun, fenomena bule suka makanan Padang hanya dijadikan sekadar kebanggaan. Padahal lebih dari itu, sebenarnya kita bisa menggunakan menu nasi Padang menjadi alat untuk menguasai dunia.

Kalau Korea terkenal dengan K-popnya, saya sarankan Indonesia merebut hati publik global lewat perut. Berikut cara menggunakan nasi Padang untuk menguasai dunia.

Waralaba Warung Padang

Sulit dipungkiri, franchise makanan yang paling menguasi dunia adalah berasal dari Amerika Serikat. Mulai dari kakek ayam, badut ayam, raja burger, sampai kedai kopi ikan duyung, semuanya milik Abang Sam. Coba hitung, pasti banyak rupiah yang sudah dibawa ke sana hanya untuk memuaskan isi perut.

Padahal, makanan siap saji tersebut jelas jauuuuhhh kalah nikmat bila dibandingkan cita rasa nasi kapau. Selain lezat, kekayaan rempah dalam bumbu masakan Padang juga bisa menjadi trademark Indonesia di mata dunia: Indonesia yang beragam. Jadi mengapa tak dirikan saja warung Padang di seluruh dunia?

Ayam pop tentu bisa menyaingi ayam goreng tepung. Dendeng balado kriuk jelas lebih mantap dibanding kentang goreng. Sebagai lawan mayonise dan saus pedas, sajikan kuah gulai dan sambal cabe hijau. Kurang? Tenang, gulai itiak belum disebut. Juga karupuak sanjai dan kalio dagiang. Oh masih ada lagi: sate Padang!

Setelah merasakannya, masyarakat dunia akan setuju dengan nyanyian Audun. “It's the best thing you will ever taste. If you never tasted, there is a big disgrace. I am your biggest fan. Just remember one thing You need to eat with your hand." Mereka pasti ketagihan.

Tentu saja, semua bahan makanan untuk menu masakan Padang mulai dari beras, rempah-rempah, bumbu, hingga kepala ikan diekspor langsung dari Indonesia. Karena kepulenan beras Padang tak akan bisa tertandingi dengan gandum dari Eropa sekalipun.

Bila para penjajah datang ke Indonesia karena rempah-rempah, kita kuasai mereka dengan bahan yang sama. Devisa pasti menggelembungkan kas negara asal… tidak dikorupsi.

Diplomasi Lewat Nasi

Meniru Jokowi yang melakukan diplomasi lewat makan siang saat menghadapi pedagang kaki lima dan para pemrotesnya, sebenarnya cara itu bisa pula diterapkan di skala internasional. Cara ini, menurut saya, lebih efektif dibanding menyuruh diplomat cantik yang posisinya tidak terlalu tinggi untuk membalas protes pemimpin negara lain terkait persoalan HAM di tanah air.

Sekecil apapun negara pemrotes, Presiden Nauru, Presiden Kepulauan Marshall, Perdana Menteri Vanuatu, PM Kepulauan Solomon, PM Tuvalu, dan PM Tonga tetaplah kepala negara yang mesti Indonesia hormati. Pernyataan sikap ala diplomat cantik itu lebih arogan dibanding saat Raja Singosari memotong telinga delegasi Kubilai Khan. Berani kok sama negara gurem…

Usul saya, diplomasi seharusnya dilaksanakan dengan jamuan makan yang hangat dan ramah. Undang pemimpin enam negara itu menyantap makanan Padang. Disediakan air kobokan agar mereka bisa menggunakan tangan.

Di sela-sela para presiden dan perdana menteri menyecap gurihnya gulai kepala ikan sambil menyeruput teh talua, ceritakan tentang kondisi Papua dan upaya perdamaian dari Indonesia. Sewaktu pulang, sertai karipiak balado.

Berikutnya, sewaktu Diplomat Tinggi Indonesia memberi sanggahan di forum PBB, kemungkinan besar para pemimpin negara lain itu tinggal manggut-manggut setuju. Pikirannya sudah tak konsen, lidahnya berdecap, karena membayangkan nikmatnya rendang, dendeng cabe merah, dan renyahnya karipiak balado.

Siapa tahu mereka malah mengimpor pelbagai jenis menu masakan Padang. Duit lagi.

Metode diplomasi ini bisa diterapkan tak hanya untuk negara kecil, tetapi juga negara maju. Perundingan soal investasi, penambahan nilai ekspor Indonesia, kenaikan kuota haji dan beasiswa untuk mahasiswa nusantara niscaya akan kian mudah dengan nasi Padang.

Spionase Karet Gelang

Saya luar biasa heran, mengapa Indonesia mempersilakan Kantor Kedutaan Besar Amerika Serikat berlokasi di ring satu, bilangan Jalan Medan Merdeka. Kantor perwakilan itu berseberangan Istana Kepresidenan, sebelah Istana Wakil Presiden, sejalan dengan Balaikota Jakarta, dan dekat dengan kementerian strategis lainnya. Begitu mudahnya Amerika memata-matai kita.

Sedangkan Kantor Kedutaan Indonesia di negara lain sulit mendapatkan lokasi utama. Tapi tak apalah, semua itu bisa diatasi cukup dengan membuka warung nasi Padang di dekat kantor presiden atau perdana menteri negara lain. Pekerja kantor kepresidenan pasti akan sering membeli makan di kapau kita.

BIN bisa menempatkan agen-agen terbaiknya sebagai pelayan atau petugas delivery order warung Padang. Daripada mereka sering memata-matai rakyat sendiri, lebih baik BIN mencari tahu kelemahan negara lain dan bagaimana cara menguasainya. Lebih berguna dan bermartabat.

Ditambah lagi kalau kampus-kampus, LIPI, dan badan penelitian lain bisa menemukan alat sadap yang unik dan tak kentara. Misalnya saja alat sadap berbentuk karet gelang, kertas nasi, kotak nasi, bisa disusupkan saat mengantarkan makanan ke kantor kepresidenan. Jokowi bisa menyuruh Pindad untuk menggandakannya.

Kelak, melalui karet gelang canggih ini, dunia tak akan lagi mengenal agen rahasia bernama James Bond. Ia akan kalah keren dengan Robert David Chaniago.

Nah, itulah seklumit cara awal untuk menguasai dunia dengan nasi Padang. Metode ini bisa dipakai pula dengan menggunakan tongseng, sate, rujak, dan sederet makanan enak Indonesia lainnya. Maka, lupakan sudah bule Norwegia itu. Sebab melalui selera nusantara, kita bisa menggengam dunia.

Sumber foto: seputarmakan.com
Tulisan ini pernah ditayangkan di Mojok.co http://www.mojok.co/2016/10/menguasai-dunia-dengan-nasi-padang/

Kalian Para Lelaki, Carilah Istri yang Berkarakter Gerwani

Dari film Pengkhianatan G-30 S-PKI yang saya tonton waktu kecil, saya mengenal Gerwani, Gerakan Wanita Indonesia. Di tontonan propaganda itu, saya percaya bahwa Gerwani adalah perempuan laknat, maniak seks, dan suka menyiksa laki-laki. Gerwani bahkan tega memperkosa Piere Tendean yang tampan, yang membuat penggemar boyband Korea dan ganteng-ganteng serigala lupa idolanya, yang gagah rupawan, yang mirip Mas Agus Harimurti, Cagub Jakarta yang pensiun dini dari TNI itu.


Saya masih ingat adegan seorang perempuan yang disinyalir Gerwani sedang mengambil silet yang terselip di dinding anyaman bambu lalu menyayat muka lelaki di hadapannya, dia berkata “Darah itu merah, Jenderal.” Sejak itu, saya menilai Gerwani sebagai organisasi perempuan keji.

Kata Gerwani semakin mengalami peyorasi di pikiran saya ketika sekolah dasar. Sewaktu saya menampar teman laki-laki, dia mengolok-olok dengan sebutan Gerwani. Padahal mereka yang salah. Siapa suruh memasang kaca di atas sepatu demi melihat cawat teman perempuan. Entah merah, biru, nila, atau ungu, harusnya mereka tak perlu tahu.

Tapi ejekan Gerwani yang saya terima jelas menghantam sanubari. Saya takut dan waswas kelak tak ada laki-laki yang memperistri seorang perempuan karena dianggap sejahat Gerwani.

Waktu lantas terus berlalu. Ketakutan dan ke-waswas-an saya akan ketidaklakuan perempuan yang dianggap Gerwani semakin hari semakin luntur.

Menginjak bangku kuliahan, bahan bacaan saya kian beragam. Beruntung ngampus setelah era reformasi, akses informasi tentang 65 terbuka luas. Saya jadi tahu, Gerwani tak seburuk yang saya sangka. Mencermati sosok mereka, saya justru menilai para anggota Gerwani mendekati ideal sebagai sosok seorang istri. Saya tak bercanda soal hal ini. Saya punya beberapa alasan yang ampuh dan mumpuni mengapa anggota Gerwani adalah sosok ideal seorang istri.


Cerdas dan Melek Informasi

Kata orang, di balik kesuksesan laki-laki, ada istri yang hebat yang selalu mendampingi. Pasangan hebat biasanya cerdas dan berpandangan ke depan. Tentu saja, istri yang hebat bisa dimintai pendapat.

Kriteria perempuan cerdas ada di sosok Gerwani. Mereka mempunyai agenda besar memberantas buta huruf dan memberikan pendidikan bagi perempuan miskin seperti buruh dan petani.

Dari sini kita lihat, anggota Gerwani tentu sangat layak untuk memenuhi kriteria sebagai istri yang hebat. Bila perempuan zaman sekarang ahli membentuk alis yang presisi, para anggota Gerwani piawai memberi solusi. Maka, inilah jaminan terhebat demi kesuksesan suami yang meningkat pesat.

Berjiwa Sosial dan Rela Berkorban

Anggota Gerwani dituntut peduli dengan keadaan sekitar. Di desa-desa, Gerwani memperjuangkan kaum tani seperti hak atas tanah, pembagian hasil panen, penetapan harga panen, dan lain sebagainya. Polemik sosial hingga sandang pangan sudah menjadi makanan sehari-hari bagi program Gerwani. Bahkan saat pembebasan Irian Barat, Gerwani juga ikut mengirimkan anggotanya untuk menjadi sukarelawan.

Karenanya, sebagai seorang istri, Gerwani tentu lebih perhatian. Orang lain saja disayang, apalagi suami sendiri. Hal ini tentu punya efek yang sangat besar: Para lelaki tak akan diabaikan gara-gara sinetron Uttaran.

Mau Hidup Susah

Berjiwa sosial, sering masuk keluar pelosok kampung mengajar rakyat dan mengadvokasi buruh tani, artinya Gerwani mau diajak hidup susah. Layaknya petugas SPBU, mereka bersedia memulai hidup dari nol. Dengannya, suami akan bersama-sama meniti rumah tangga dari tak punya apa-apa hingga bisa kaya raya.

Laki-laki tak akan was-was istrinya tergoda pria lain yang mengiming-imingi tas Hermes atau sepatu Louboutin. Tas kresek atau sandal jempit tak masalah, asal tetap setia.

Tak Benar-Benar Menentang Poligami

Ini poin yang terpenting. Banyak yang mencatat bahwa Gerwani menentang poligami. Tapi saya rasa itu sekadar retorika saja, masih bisa diperdebatkan. Terbukti saat Soekarno poligami, Gerwani tak menentangnya. Ini artinya, ada celah untuk para lelaki beristrikan Gerwani yang ingin menikah lagi.

Kata Pramoedya, semua lelaki memang kucing berlagak kelinci. Sebagai kelinci dimakannya semua daun, sebagai kucing dimakannya semua daging. Meski sudah beristri, banyak laki-laki yang ingin nambah lagi.

Kalau istri menentang, pintar-pintarlah merayu. Meski Gerwani, semua perempuan pasti suka dirayu.

Nah, itulah poin-poin karakter Gerwani yang seharusnya bisa dipertimbangkan masak-masak oleh para lelaki dalam mencari istri. Karakter yang hebat dan unggul, namun sudah mulai langka dan sukar ditemui, terlebih di jaman yang serba materialistis seperti sekarang ini.

So, Wahai kalian para lelaki, jika kalian mencari istri yang sebenar-benarnya istri, maka carilah yang berkarakter Gerwani, percayalah, ia bisa jauh lebih menyenangkan dan menentramkan ketimbang wanita berkarakter Syahrini.

Tulisan ini pernah dimuat dalam Mojok.co pada tanggal 30 September 2016. http://www.mojok.co/2016/09/istri-berkarakter-gerwani/

Tuesday, November 1, 2016

Cerpen: TAK ADA KOPI UNTUK BAPAK

Dua pagi terakhir ini, tak ada kopi untuk Bapak. Emak tetap menjerang air namun tanpa gula, tiada bubuk kopi.  Ekonomi keluarga semakin terpuruk membuat Emak berhati-hati membelanjakan uang. Lebih baik membeli beras dan biaya sekolah daripada kopi. Bapak mengalah.

Padahal, sejatinya secangkir kopi bagi Bapak setiap pagi lebih dari sekadar minuman. Mencium aromanya dan menyecap rasanya mampu menumbuhkan optimisme  sang tulang punggung keluarga. Kopi membuat Bapak semangat berangkat menguli, memanggul semen, menimbun pasir seraya berharap ada uang untuk esok hari. Tapi tak apalah, pikir Bapak, esok, siapa tahu ada rezeki membeli kopi.

Jangan  kira, kopi yang diinginkan Bapak seperti yang dinikmati di cafe, atau franchise multinasional ternama. Secangkir kopi yang harga termurahnya lebih mahal dibanding telur sekilo. Tidak, kopi yang biasa bapak minum  dibeli curah di pasara. Emak menyangrainya di atas wajan dengan campuran beras atau jagung kering agar hasilnya lebih banyak.

Disangrai sampai menghitam di atas kompor kayu yang menghasilkan asap, membuat mata pedas. Setelah hitam, susah payah Emak menggunakan alu dan lumping untuk menumbuk. Tak halus memang dibandingkan menggunakan  mesin penggiling tapi rasanya lebih kuat dan setidaknya tak mengeluarkan uang lagi.

Kini, uang membeli kopi tiada lagi. Semenjak Emak tak bisa lagi jadi buruh tani, keuangan keluarga kian sulit. Pembangunan  perumahan tapak dan susun telah menggusur sawah-sawah di desa. Perempuan tabah  itu kini menganggur. Praktis, hanya mengandalkan penghasilan Bapak dari menguli. Bapak menjadi tukang bangunan di apartemen baru yang tak pernah sanggup mereka beli.

Tak mengapa. Emak sudah cukup bersyukur meski  tinggal di rumah berdinding bambu dan lantai dari campuran pasir dan semen, setidaknya mereka bisa berteduh.  Cita-citanya sederhana, punya warung kecil di depan rumah. Tempat menjual kopi, gorengan, dan indomie rebus. Membantu suami mencari nafkah sembari momong si bungsu yang baru gemar berjalan.

Emak meletakkan segelas air hangat di meja depan Bapak.

“Pak,” panggil Emak.

Bapak menoleh. Dia sudah menerka istrinya pasti akan meminta sesuatu, permintaan sama seperti kemarin.

“Tole, sudah ndak mau sekolah. Kemarin masih bisa Emak bujuk, tapi sekarang tidak,” lanjut Emak.

 “Masih soal sepatu?” tanya Bapak.

“Iya, katanya malu diejek. Sepatunya jebol sampai kelihatan jempol,”

Bapak menghela nafas. Disruputnya segelas air hangat perlahan. Air mengalir dari rongga mulut hingga ke perut, tapi rasanya tak cukup melegakan, pikirannya semakin buntu. Berbeda saat menikmati kopi, pahitnya justru meringankan beban. Mungkin kalau yang dia cecap saat ini adalah  kopi, otaknya mungkin akan menghasilkan solusi.

Si sulung sebenarnya bukanlah anak yang penuntut.  Masih kelas empat SD, tapi sangat pengertian. Sepulang sekolah, anak pertamanya hampir tak pernah bermain.  Lekas membantu ibu, dia mengumpulkan kayu untuk memasak. Badannya kurus tapi gempal karena terbiasa membawa beban. Kaki kapalan hingga duri tak bisa melukai lagi. Kadang, sulungnya itu membantu mencari rumput pakan kambing tetangga. Tak dipakai jajan, uangnya malah diserahkan ke orang tua.

Bapak menyesal. Semestinya uang itu tak pernah dia gunakan sebagai tambahan belanja beli beras, lauk pauk, kadang bayar listrik. Jerih payah  merumput itu semestinya ditabung untuk beli sepatu baru. Seharusnya, dia bisa menghemat lebih keras lagi dengan upah  nguli lima puluh ribu sehari. Bapak sudah lama tak merokok, kopi juga sudah tak rutin dibeli. Kini, pengeluaran apalagi yang harus direduksi?

Ditandaskan segelas air hangat. “Doakan , semoga hari ini ada rezeki lebih, entah dari mana,” pukul tujuh pagi, Bapak segera bergegas.

Emak mengangguk. Diciumnya tangan suami takzim. Guratan kasar di telapak menunjukan lelakinya seorang pekerja keras, hanya saja mungkin kurang beruntung.

“Hati-hati,” jawabnya saat  melihat suami beranjak pergi.

***

Sepanjang jalan, pikiran Bapak tak pernah berhenti mencari solusi. Bagaimana cara mendapatkan uang halal? Dia tak ingin mencuri, apalagi mengambil yang bukan haknya. Bapak masih punya harga diri.

Ada satu cara memperoleh uang lebih. Beberapa hari yang lalu, Mandor menawarinya tugas baru memasang  plafon di ballroom apartemen. Selama ini, dia hanya betugas mengangkut semen, pasir, dan membuat adonan adukan beton dengan  mesin  molen. Saat awal bekerja, Bapak meminta kompensasi tidak disuruh memanjat. Bukan karena malas, dia takut ketinggian. Orang menyebutnya fobia.

Kemarin, salah satu  kuli bagian  plafon  mengundurkan diri, belum ada ganti. Bapak bertekad menerima tawaran  Mandor. Upahnya lumayan, dua kali gajinya yang sekarang. Bapak masih takut ketinggian. Tapi bayangan sepatu untuk si sulung, modal warung istri, dan mencecap secangkir kopi setiap pagi menepis segala keraguan.

Dengan mantap, Bapak menghadap Mandor. Diutarakan keinginannya. Dia bersedia di posisi baru.

“Kapan kamu siap?” tanya Mandor.

“Hari ini juga, Pak,” jawab Bapak.mantap.

Mandor menunjukan tugas-tugas yang harus dikerjakan.  Ballroom mempunyai  tinggi tujuh meter. Tugas Bapak membantu tukang utama memasang rangka plafon yang terbuat dari baja ringan. Para pekerja plafon harus bekerja dengan teliti dan presisi. Keliru sedikit, plafon tak terpasang rapi.

Bapak takut salah. Rasanya, perlu minuman yang membuatnya berkonsentrasi. Membayangkan secangkir kopi, dia menelan ludahnya sendiri.

Pekerjaan dimulai. Langit-langit yang akan dipasang plafon telah dibersihkan. Penggantung plafon sudah dipasang. Perlahan, Bapak mulai naik di atas stager. Rangka plafon akan dipasang  ke tiang penggantung.

Bapak tak sendiri, tugasnya pun menunggu arahan temannya yang lebih ahli. Sementara yang lain memasang rangka, Bapak sekadar memegang agar tak goyah. Namun, Bapak gugup setengah mati. Jantungnya berdebar, baru kali ini dia berdiri setinggi ini. Keringat dingin mulai mengucur.

“Jangan lihat bawah, jangan lihat,” Bapak mensugesti dirinya sendiri.  Tangannya mulai gemetar. Dia teguhkan hatinya, tenangkan pikirannya.

“Argh,” tiba-tiba teman kerjanya berteriak. Belum sempat Bapak mencerna, tangannya tersengat listrik entah berapa besar arusnya. Dia hilang keseimbangan, kesadaran semakin lama kian berkurang. Suara keributan sayup-sayup mulai menghilang, yang ada tinggal kesunyian.

***

“Kami tak menyangka langit-langit bakal plafon belum benar-benar bersih. Suami ibu dan lima rekan lainnya terkena aliran listrik yang bocor. Listrik mengenai setelan kuda-kuda yang dipakai untuk memasang rangka plafon ballroom.Kemudian terjatuh  dari ketinggian enam meter,” kata Mandor menjelaskan.
   
“Ini mohon diterima. Besarnya memang tak bisa pernah mengganti kehadirannya suami Ibu. Semoga bisa membantu,” lanjut Mandor sembari menyerahkan uang dalam amplop.

Emak  terdiam. Matanya nanar memandang suaminya yang telah dimandikan dan terbungkus kain kafan putih. Uang sepuluh juta pemberian perusahaan kontraktor tempat Bapak bekerja memang bisa digunakan untuk membeli sepatu sulungnya, bahkan cukup sebagai modal usaha warung. Tapi bagaimana Emak sanggup mengarungi hidup dan membesarkan dua anak tanpa Bapak. Sandaran hatinya telah pergi. Air mata kembali mengairi  pipi Emak.


“Silahkan diminum,” suara kerabat memecah keheningan. Tiga cangkir kopi disajikan untuk Mandor dan dua tamu  laiinya. Secangkir kopi, minuman kegemaran suami Emak. Dan kini, Bapak tak lagi bisa menikmati kopi.***

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO danNulisbuku.com


Friday, October 21, 2016

Silampukau yang Memukau


-2009-
Kharis Junandharu. Laki-laki itu tampak sibuk menyiapkan aneka tetabuhan untuk teater gapus. Badannya kurus lincah hilir mudik ke sana kemari. Wajahnya tak terlalu jelas, pencahayaan terlalu gelap. Padahal tujuan kemari adalah mengamati rupa empunya hati adik kos waktu itu. Tentu, niat utama adalah menikmati pertunjukan. 

Sumpah, aku penasaran dengan wajahnya akibat setiap hari mendengarkan cerita yang berbunga-bunga dengan mata yang menerawang dan muka yang tersipu. Setiap gerak gerik Kharis terlihat mempesona di hadapan adik kos. Sebut saja Diya, bagian dari nama lengkap tapi bukan panggilannya.  

"Oh, Mas Kharis," ujarnya 

Seulas senyum Kharis saat papasan di kantin akan membuat Diya melayang. Seucap sapaan selalu akan dikenang. Cerita tentang Kharis tentu tak membuat Diya bosan, tapi aku jadi penasaran. Seperti apa rupanya?

Dan hari ini, aku bisa melihat jelas wajahnya setelah pagelaran usai. Kacamata bingkai tepat di atas hidung. Kaos oblong tampak sedikit kebesaran. Kharis tak terlalu rupawan. Tapi sesuai dengan namanya, dia memang punya kharisma tersendiri. 

"Oalah, iki tha sing nggawe koen edan," bisikku. Dari Diya pula, aku tahu Kharis punya grup musik bernama Silampukau, alias burung kepodang. 

Ngomong-ngomong, Mas Kharis, kalau sampeyan membaca blog ini. Diya, adik kosku yang pernah naksir berat sama kamu waktu itu, entah sekarang, adalah adik tingkatmu. Diya anak Sastra Indonesia Unair angkatan 2007. Kini, gelar pascasarjana sudah dia sandang. Kosnya di Karang Menjangan. Tebak sendiri ya, mas. Kalau ternyata pernah naksir juga, lamar aja sekarang. Diya masih jomblo.


2016
Ingatan soal Kharis kembali lagi setelah menonton Net 3.0. Band indienya, Silampukau, masuk ke dalam satu nominasi. Melihat itu, aku kembali terbayang dengan kisah cinta platonis antara Diya dan Kharis. Tawaku pecah. 

Perjumpaan kembali nama Silampukau dan tentu dengan Kharis Junandharu membuatku kembali penasaran. Tapi kali ini beda, aku tak tertarik dengan Kharis tetapi lebih pada Silampukau. Pencarian di youtube pun dimulai. 

Dan ternyata, aku terpukau dengan lagu Silampukau. Lirik cerdas dan nakal, dengan instrument sederhana yang malah memunculkan rasa kangen dengan Surabaya. 

Beberapa kosakata di dalam lirik justru menambah perbendaharaan kata. Kamu akan menemukan istilah baru seperti "matrimoni" setelah mendengar lagu "Sang Pelanggan."  Sejumlah syair kadang menjadi katarsis saat sedang sedih, jenuh, dan kecewa dengan keadaan, Sambil berujar "ini aku banget". 

Berikut ini beberapa lirik lagu Silampukau yang paling sering didengar. 


1. Lirik "Cinta Itu"

Cinta bukan soal pengorbanan
Dengan tulus tak terasa beban
Biarlah yang terbaik jadi manis
Dan pahit takkan jadi tangis

Cinta memang tak perlu berbalas
Tak usah mengemis dan memelas
Biarlah yang terbaik jadi manis
Dan pahit takkan jadi tangis

Cinta itu buat kapan-kapan (kapan?)
Kala hidup tak banyak tuntutan
Biarlah yang terbaik jadi manis
Dan pahit takkan jadi tangis


Lagu "Cinta Itu" terasa menyidir anak zaman sekarang yang suka galau. Kadang, seperti menelanjangi saat mengingat zaman-zaman dulu. Bodoh sekali aku waktu itu. 


2. Lirik "Balada Harian" 

Tik-tok jam. Dering alarm.
Pagi tak terhindarkan.
Tik-tok jam. Dering alarm.
Impian pudar perlahan. Diam-diam,
pagi tak terhindarkan.

Tik-tok jam. Kubayangkan,
hari begitu panjang.
Tik-tok jam. Lalu-lalang,
derum dan bising jalanan.
Kuberbaring, membayangkan
hari pasti ‘kan panjang.

Di luar pagar sana, kawanku,
kehidupan memanggilmu.
Tapi tahun kian kelabu.
Makna gugur satu-satu,
dari pengetahuanku,
dari seluruh pandanganku,
pendengaranku,
penilaianku.

Mentari tinggal terik bara tanpa janji.
Kota tumbuh,
kian asing, kian tak peduli;
dan kita tersisih di dunia yang ngeri,
dan tak terpahami ini.

Tik-tok jam. Dering alarm.
Pagi tak terhindarkan.
Tik-tok jam. Kini ku paham,
waktu sekedar hitungan yang melingkar,
kekal di kehampaan.

O, bocah riang di jiwaku,
di manakah dirimu?
Tahun-tahun masih menunggu,
kembalilah kepadaku.


Mendengar lagu ini membuat aku ingat untuk kembali mengorek-orek sisa mimpi. Semakin dewasa, kita sering kehilangan rasa jenaka, terlampau serius hingga sulit menikmati hidup. Bekerja seperti mesin, melupakan obsesi. Terimakasih Mas Kharis dan Mas Eki, maaf namanya baru disebut di bagian ini. Semoga belum terlambat. 


3. Lirik "Puan Kelana" 

Kau putar sekali lagi Champs-Elysees.
Lidah kita bertaut a la Francais.
Langit sungguh jingga itu sore,
dan kau masih milikku.

Kita tak pernah suka air mata.
Berangkatlah sendiri ke Juanda.
Tiap kali langit meremang jingga,
aku ‘kan merindukanmu.

Ah, kau Puan Kelana,
mengapa musti ke sana?
Jauh-jauh Puan kembara,
sedang dunia punya luka yang sama.

Mari, Puan Kelana,
jangan tinggalkan hamba.
Toh, hujan sama menakjubkannya,
di Paris atau di tiap sudut Surabaya.

Rene Descartes, Moliere, dan Maupassant.
Kau penuhi kepalaku yang kosong;
dan Perancis membuat kita sombong,
saat kau masih milikku.

Kita tetap membenci air mata.
Tiada kabar tiada berita.
Meski senja tak selalu tampak jingga,
aku terus merindukanmu.

Ah, kau Puan Kelana,
mengapa musti ke sana?
Jauh-jauh Puan kembara,
sedang dunia punya luka yang sama.

Mari, Puan Kelana,
jangan tinggalkan hamba.
Toh, anggur sama memabukkannya,
entah Merlot entah Cap Orang Tua .

Aih, Puan Kelana,
mengapa musti ke sana?
Paris pun penuh mara bahaya dan duka nestapa,
seperti Surabaya.


Satu-satunya lagu tentang cinta, puitis tapi tak romantis. Puan dan Tuan, ada harga yang harus dibayar mahal setiap pengembaraan.


4. Lirik "Lagu Rantau Sambat Omah"

Waktu memang jahanam,
kota kelewat kejam,
dan pekerjaan menyita harapan.

Hari-hari berulang,
diriku kian hilang.
Himpitan hutang. Tagihan awal bulan.

O, demi tuhan, atau demi setan,
sumpah aku ingin rumah untuk pulang!

Tujuh tahun yang lalu,
impian membawaku ke Surabaya: berharap jadi kaya.

–hanya bermodal baju dan seratus ribu, nasib ini kuadu—

Tujuh tahun berlalu,
impianku tersapu di Surabaya: gagal jadi kaya.

–kota menghisapku habis, tubuh makin tipis, dompetku kembang-kempis—

O, demi tuhan, atau demi setan,
sumpah aku ingin rumah untuk pulang.

“Rindu menciptakan kampung halaman tanpa alasan.”

Burung pulang ke sarang, ketam diam di liang,
dan di lautan ikan-ikan berenang.

O, demi tuhan, atau demi setan,
sumpah aku ingin rumah untuk pulang.

“Uang bawa ‘tualang sesat di jalan, menjauhi pulang.”


Rasanya, lagu ini lebih cocik untuk kaum urban Jakarta. Bayangkan, saat berdesak-desakkan di commuter line atau Transjakarta, berangkat tepat saat matahari terbit, pulang saat sudah terbenam, di antara ngantuk atau lelah, kemudian lagu ini diputar. Nelangsa atau justru tertawa. Kerja keras, menghabiskan waktu, untuk bayaran yang tak seberapa. Sumpah Tuhan, pasti ingin pulang.  


5. Lirik "Doa" 

Duh Gusti, dulu kala semasa ‘ku remaja,
“nothing else matters,” katanya Metallica.
Sebab hidup, Gusti, kadaluarsa jika
hanya berisi nasehat mama-papa.

Sering, Gusti, aku bertanya-tanya sendiri,
kenapa sih mama tenggelam di televisi,
mengunyah iklan menelan mimpi.
Sabar, mama, tunggu aku masuk ke layar tivi.

Dan inilah nyanyianku.
Semoga mama belum tua saat aku mencapainya.

Duh Gusti, aku kesasar di jalur indie.
Terima sablon kaos dan kadang gantungan kunci.
Musisi, Gusti, musisi,
bukan jadi penjaga distro kayak gini.

Duh Gusti, pernah ‘ku mencoba peruntungan,
dana pas-pasan pokoknya bikin rekaman.
Kuliah, Gusti, kutelantarkan
atas nama musik dan hidup yang penuh kebebasan.

Dan inilah nyanyianku.
Semoga usia belum tua saat mencapainya.

Duh Gusti, kini ‘ku mulai lelah jadi musisi.
Jiwaku remuk terteror televisi.
Aku cemas, Gusti, suatu nanti,
aku berubah murahan seperti Ahmad …

Janggalkah, Gusti, perasaan marah ini
saat nalarku direndahkan televisi?
Lihat itu, Gusti, lihat itu,
b’rapa harga tawa mereka di balik layar tivi?

Dan inilah nyanyianku.
Semoga usahaku lancar, berkembang, ber-cuan,
perlahan aku bisa mewujudkan
ziarah ke tanah suci, tanah impian.

Dan inilah nyanyianku.
Semoga terkenal, terpandang, dan banyak uang.


Curhatan anak band indie. Tapi saya suka lagu ini karena ada sindiran ke salah satu musisi besar asal Surabaya yang sekarang jadi murahan. Iya, Ahmad yang itu, yanng setelah digugat cerai istri pertama jadi seperti sekarang. Hidupnya ala Kadarshian, lebih suka bikin sensasi daripada karya yang menginspirasi. 

Itu tadi Silampukau, band aliran musik indie folk. Kalau sempat, aku akan membuat tulisan tak penting lagi seputar band indie. Selain Silampukau, aku juga suka Banda Neira, Float, dan Payung Teduh. 

Untuk yang ingin lebih tahu tentang Silampukau, silahkan meluncur ke sini http://silampukau.com/ .

Sumber foto: silampukau.com