Monday, November 14, 2016

Menguasai Dunia dengan Nasi Padang

Lagi-lagi masyarakat Indonesia dibuat terpukau dengan sekelompok bule Norwegia, Audun Kivltan dan teman-temannya yang gemar makan nasi Padang. Padahal ya, saya rasa tak aneh kalau warga dunia menyukai makanan yang ada di warung nasi Padang. Rendang, misalnya, yang merupakan salah satu lauk unggulan Warung Kapau, diakui sebagai makanan terenak di dunia versi CNN.

Sejatinya bukan hanya rendang menu masakan Padang yang membuat orang tergila-gila.

Ada dendeng balado dengan irisan cabe merah, baik basah maupun kriuk, nikmat disantap dengan nasi panas mengepul. Gulai kikil sapi yang kenyal dengan kuah lezat untuk dicecap. Ayam pop yang enak dikrokoti hingga tersisa tulang. Gulai kepala ikan kakap yang bumbunya mubadzir bila tersisa setetes pun. Mari kita jilati sisa kuahnya yang berlumuran di tangan…

Onde mande, lamak bana! Tambuah ciek, Da!

Kita tentu bangga ada orang asing yang menyukai makanan Indonesia, salah satunya nasi Padang. Tapi sebagai pewaris feodalisme dan inferioritas kompleks turun temurun, fenomena bule suka makanan Padang hanya dijadikan sekadar kebanggaan. Padahal lebih dari itu, sebenarnya kita bisa menggunakan menu nasi Padang menjadi alat untuk menguasai dunia.

Kalau Korea terkenal dengan K-popnya, saya sarankan Indonesia merebut hati publik global lewat perut. Berikut cara menggunakan nasi Padang untuk menguasai dunia.

Waralaba Warung Padang

Sulit dipungkiri, franchise makanan yang paling menguasi dunia adalah berasal dari Amerika Serikat. Mulai dari kakek ayam, badut ayam, raja burger, sampai kedai kopi ikan duyung, semuanya milik Abang Sam. Coba hitung, pasti banyak rupiah yang sudah dibawa ke sana hanya untuk memuaskan isi perut.

Padahal, makanan siap saji tersebut jelas jauuuuhhh kalah nikmat bila dibandingkan cita rasa nasi kapau. Selain lezat, kekayaan rempah dalam bumbu masakan Padang juga bisa menjadi trademark Indonesia di mata dunia: Indonesia yang beragam. Jadi mengapa tak dirikan saja warung Padang di seluruh dunia?

Ayam pop tentu bisa menyaingi ayam goreng tepung. Dendeng balado kriuk jelas lebih mantap dibanding kentang goreng. Sebagai lawan mayonise dan saus pedas, sajikan kuah gulai dan sambal cabe hijau. Kurang? Tenang, gulai itiak belum disebut. Juga karupuak sanjai dan kalio dagiang. Oh masih ada lagi: sate Padang!

Setelah merasakannya, masyarakat dunia akan setuju dengan nyanyian Audun. “It's the best thing you will ever taste. If you never tasted, there is a big disgrace. I am your biggest fan. Just remember one thing You need to eat with your hand." Mereka pasti ketagihan.

Tentu saja, semua bahan makanan untuk menu masakan Padang mulai dari beras, rempah-rempah, bumbu, hingga kepala ikan diekspor langsung dari Indonesia. Karena kepulenan beras Padang tak akan bisa tertandingi dengan gandum dari Eropa sekalipun.

Bila para penjajah datang ke Indonesia karena rempah-rempah, kita kuasai mereka dengan bahan yang sama. Devisa pasti menggelembungkan kas negara asal… tidak dikorupsi.

Diplomasi Lewat Nasi

Meniru Jokowi yang melakukan diplomasi lewat makan siang saat menghadapi pedagang kaki lima dan para pemrotesnya, sebenarnya cara itu bisa pula diterapkan di skala internasional. Cara ini, menurut saya, lebih efektif dibanding menyuruh diplomat cantik yang posisinya tidak terlalu tinggi untuk membalas protes pemimpin negara lain terkait persoalan HAM di tanah air.

Sekecil apapun negara pemrotes, Presiden Nauru, Presiden Kepulauan Marshall, Perdana Menteri Vanuatu, PM Kepulauan Solomon, PM Tuvalu, dan PM Tonga tetaplah kepala negara yang mesti Indonesia hormati. Pernyataan sikap ala diplomat cantik itu lebih arogan dibanding saat Raja Singosari memotong telinga delegasi Kubilai Khan. Berani kok sama negara gurem…

Usul saya, diplomasi seharusnya dilaksanakan dengan jamuan makan yang hangat dan ramah. Undang pemimpin enam negara itu menyantap makanan Padang. Disediakan air kobokan agar mereka bisa menggunakan tangan.

Di sela-sela para presiden dan perdana menteri menyecap gurihnya gulai kepala ikan sambil menyeruput teh talua, ceritakan tentang kondisi Papua dan upaya perdamaian dari Indonesia. Sewaktu pulang, sertai karipiak balado.

Berikutnya, sewaktu Diplomat Tinggi Indonesia memberi sanggahan di forum PBB, kemungkinan besar para pemimpin negara lain itu tinggal manggut-manggut setuju. Pikirannya sudah tak konsen, lidahnya berdecap, karena membayangkan nikmatnya rendang, dendeng cabe merah, dan renyahnya karipiak balado.

Siapa tahu mereka malah mengimpor pelbagai jenis menu masakan Padang. Duit lagi.

Metode diplomasi ini bisa diterapkan tak hanya untuk negara kecil, tetapi juga negara maju. Perundingan soal investasi, penambahan nilai ekspor Indonesia, kenaikan kuota haji dan beasiswa untuk mahasiswa nusantara niscaya akan kian mudah dengan nasi Padang.

Spionase Karet Gelang

Saya luar biasa heran, mengapa Indonesia mempersilakan Kantor Kedutaan Besar Amerika Serikat berlokasi di ring satu, bilangan Jalan Medan Merdeka. Kantor perwakilan itu berseberangan Istana Kepresidenan, sebelah Istana Wakil Presiden, sejalan dengan Balaikota Jakarta, dan dekat dengan kementerian strategis lainnya. Begitu mudahnya Amerika memata-matai kita.

Sedangkan Kantor Kedutaan Indonesia di negara lain sulit mendapatkan lokasi utama. Tapi tak apalah, semua itu bisa diatasi cukup dengan membuka warung nasi Padang di dekat kantor presiden atau perdana menteri negara lain. Pekerja kantor kepresidenan pasti akan sering membeli makan di kapau kita.

BIN bisa menempatkan agen-agen terbaiknya sebagai pelayan atau petugas delivery order warung Padang. Daripada mereka sering memata-matai rakyat sendiri, lebih baik BIN mencari tahu kelemahan negara lain dan bagaimana cara menguasainya. Lebih berguna dan bermartabat.

Ditambah lagi kalau kampus-kampus, LIPI, dan badan penelitian lain bisa menemukan alat sadap yang unik dan tak kentara. Misalnya saja alat sadap berbentuk karet gelang, kertas nasi, kotak nasi, bisa disusupkan saat mengantarkan makanan ke kantor kepresidenan. Jokowi bisa menyuruh Pindad untuk menggandakannya.

Kelak, melalui karet gelang canggih ini, dunia tak akan lagi mengenal agen rahasia bernama James Bond. Ia akan kalah keren dengan Robert David Chaniago.

Nah, itulah seklumit cara awal untuk menguasai dunia dengan nasi Padang. Metode ini bisa dipakai pula dengan menggunakan tongseng, sate, rujak, dan sederet makanan enak Indonesia lainnya. Maka, lupakan sudah bule Norwegia itu. Sebab melalui selera nusantara, kita bisa menggengam dunia.

Sumber foto: seputarmakan.com
Tulisan ini pernah ditayangkan di Mojok.co http://www.mojok.co/2016/10/menguasai-dunia-dengan-nasi-padang/

Kalian Para Lelaki, Carilah Istri yang Berkarakter Gerwani

Dari film Pengkhianatan G-30 S-PKI yang saya tonton waktu kecil, saya mengenal Gerwani, Gerakan Wanita Indonesia. Di tontonan propaganda itu, saya percaya bahwa Gerwani adalah perempuan laknat, maniak seks, dan suka menyiksa laki-laki. Gerwani bahkan tega memperkosa Piere Tendean yang tampan, yang membuat penggemar boyband Korea dan ganteng-ganteng serigala lupa idolanya, yang gagah rupawan, yang mirip Mas Agus Harimurti, Cagub Jakarta yang pensiun dini dari TNI itu.


Saya masih ingat adegan seorang perempuan yang disinyalir Gerwani sedang mengambil silet yang terselip di dinding anyaman bambu lalu menyayat muka lelaki di hadapannya, dia berkata “Darah itu merah, Jenderal.” Sejak itu, saya menilai Gerwani sebagai organisasi perempuan keji.

Kata Gerwani semakin mengalami peyorasi di pikiran saya ketika sekolah dasar. Sewaktu saya menampar teman laki-laki, dia mengolok-olok dengan sebutan Gerwani. Padahal mereka yang salah. Siapa suruh memasang kaca di atas sepatu demi melihat cawat teman perempuan. Entah merah, biru, nila, atau ungu, harusnya mereka tak perlu tahu.

Tapi ejekan Gerwani yang saya terima jelas menghantam sanubari. Saya takut dan waswas kelak tak ada laki-laki yang memperistri seorang perempuan karena dianggap sejahat Gerwani.

Waktu lantas terus berlalu. Ketakutan dan ke-waswas-an saya akan ketidaklakuan perempuan yang dianggap Gerwani semakin hari semakin luntur.

Menginjak bangku kuliahan, bahan bacaan saya kian beragam. Beruntung ngampus setelah era reformasi, akses informasi tentang 65 terbuka luas. Saya jadi tahu, Gerwani tak seburuk yang saya sangka. Mencermati sosok mereka, saya justru menilai para anggota Gerwani mendekati ideal sebagai sosok seorang istri. Saya tak bercanda soal hal ini. Saya punya beberapa alasan yang ampuh dan mumpuni mengapa anggota Gerwani adalah sosok ideal seorang istri.


Cerdas dan Melek Informasi

Kata orang, di balik kesuksesan laki-laki, ada istri yang hebat yang selalu mendampingi. Pasangan hebat biasanya cerdas dan berpandangan ke depan. Tentu saja, istri yang hebat bisa dimintai pendapat.

Kriteria perempuan cerdas ada di sosok Gerwani. Mereka mempunyai agenda besar memberantas buta huruf dan memberikan pendidikan bagi perempuan miskin seperti buruh dan petani.

Dari sini kita lihat, anggota Gerwani tentu sangat layak untuk memenuhi kriteria sebagai istri yang hebat. Bila perempuan zaman sekarang ahli membentuk alis yang presisi, para anggota Gerwani piawai memberi solusi. Maka, inilah jaminan terhebat demi kesuksesan suami yang meningkat pesat.

Berjiwa Sosial dan Rela Berkorban

Anggota Gerwani dituntut peduli dengan keadaan sekitar. Di desa-desa, Gerwani memperjuangkan kaum tani seperti hak atas tanah, pembagian hasil panen, penetapan harga panen, dan lain sebagainya. Polemik sosial hingga sandang pangan sudah menjadi makanan sehari-hari bagi program Gerwani. Bahkan saat pembebasan Irian Barat, Gerwani juga ikut mengirimkan anggotanya untuk menjadi sukarelawan.

Karenanya, sebagai seorang istri, Gerwani tentu lebih perhatian. Orang lain saja disayang, apalagi suami sendiri. Hal ini tentu punya efek yang sangat besar: Para lelaki tak akan diabaikan gara-gara sinetron Uttaran.

Mau Hidup Susah

Berjiwa sosial, sering masuk keluar pelosok kampung mengajar rakyat dan mengadvokasi buruh tani, artinya Gerwani mau diajak hidup susah. Layaknya petugas SPBU, mereka bersedia memulai hidup dari nol. Dengannya, suami akan bersama-sama meniti rumah tangga dari tak punya apa-apa hingga bisa kaya raya.

Laki-laki tak akan was-was istrinya tergoda pria lain yang mengiming-imingi tas Hermes atau sepatu Louboutin. Tas kresek atau sandal jempit tak masalah, asal tetap setia.

Tak Benar-Benar Menentang Poligami

Ini poin yang terpenting. Banyak yang mencatat bahwa Gerwani menentang poligami. Tapi saya rasa itu sekadar retorika saja, masih bisa diperdebatkan. Terbukti saat Soekarno poligami, Gerwani tak menentangnya. Ini artinya, ada celah untuk para lelaki beristrikan Gerwani yang ingin menikah lagi.

Kata Pramoedya, semua lelaki memang kucing berlagak kelinci. Sebagai kelinci dimakannya semua daun, sebagai kucing dimakannya semua daging. Meski sudah beristri, banyak laki-laki yang ingin nambah lagi.

Kalau istri menentang, pintar-pintarlah merayu. Meski Gerwani, semua perempuan pasti suka dirayu.

Nah, itulah poin-poin karakter Gerwani yang seharusnya bisa dipertimbangkan masak-masak oleh para lelaki dalam mencari istri. Karakter yang hebat dan unggul, namun sudah mulai langka dan sukar ditemui, terlebih di jaman yang serba materialistis seperti sekarang ini.

So, Wahai kalian para lelaki, jika kalian mencari istri yang sebenar-benarnya istri, maka carilah yang berkarakter Gerwani, percayalah, ia bisa jauh lebih menyenangkan dan menentramkan ketimbang wanita berkarakter Syahrini.

Tulisan ini pernah dimuat dalam Mojok.co pada tanggal 30 September 2016. http://www.mojok.co/2016/09/istri-berkarakter-gerwani/

Tuesday, November 1, 2016

Cerpen: TAK ADA KOPI UNTUK BAPAK

Dua pagi terakhir ini, tak ada kopi untuk Bapak. Emak tetap menjerang air namun tanpa gula, tiada bubuk kopi.  Ekonomi keluarga semakin terpuruk membuat Emak berhati-hati membelanjakan uang. Lebih baik membeli beras dan biaya sekolah daripada kopi. Bapak mengalah.

Padahal, sejatinya secangkir kopi bagi Bapak setiap pagi lebih dari sekadar minuman. Mencium aromanya dan menyecap rasanya mampu menumbuhkan optimisme  sang tulang punggung keluarga. Kopi membuat Bapak semangat berangkat menguli, memanggul semen, menimbun pasir seraya berharap ada uang untuk esok hari. Tapi tak apalah, pikir Bapak, esok, siapa tahu ada rezeki membeli kopi.

Jangan  kira, kopi yang diinginkan Bapak seperti yang dinikmati di cafe, atau franchise multinasional ternama. Secangkir kopi yang harga termurahnya lebih mahal dibanding telur sekilo. Tidak, kopi yang biasa bapak minum  dibeli curah di pasara. Emak menyangrainya di atas wajan dengan campuran beras atau jagung kering agar hasilnya lebih banyak.

Disangrai sampai menghitam di atas kompor kayu yang menghasilkan asap, membuat mata pedas. Setelah hitam, susah payah Emak menggunakan alu dan lumping untuk menumbuk. Tak halus memang dibandingkan menggunakan  mesin penggiling tapi rasanya lebih kuat dan setidaknya tak mengeluarkan uang lagi.

Kini, uang membeli kopi tiada lagi. Semenjak Emak tak bisa lagi jadi buruh tani, keuangan keluarga kian sulit. Pembangunan  perumahan tapak dan susun telah menggusur sawah-sawah di desa. Perempuan tabah  itu kini menganggur. Praktis, hanya mengandalkan penghasilan Bapak dari menguli. Bapak menjadi tukang bangunan di apartemen baru yang tak pernah sanggup mereka beli.

Tak mengapa. Emak sudah cukup bersyukur meski  tinggal di rumah berdinding bambu dan lantai dari campuran pasir dan semen, setidaknya mereka bisa berteduh.  Cita-citanya sederhana, punya warung kecil di depan rumah. Tempat menjual kopi, gorengan, dan indomie rebus. Membantu suami mencari nafkah sembari momong si bungsu yang baru gemar berjalan.

Emak meletakkan segelas air hangat di meja depan Bapak.

“Pak,” panggil Emak.

Bapak menoleh. Dia sudah menerka istrinya pasti akan meminta sesuatu, permintaan sama seperti kemarin.

“Tole, sudah ndak mau sekolah. Kemarin masih bisa Emak bujuk, tapi sekarang tidak,” lanjut Emak.

 “Masih soal sepatu?” tanya Bapak.

“Iya, katanya malu diejek. Sepatunya jebol sampai kelihatan jempol,”

Bapak menghela nafas. Disruputnya segelas air hangat perlahan. Air mengalir dari rongga mulut hingga ke perut, tapi rasanya tak cukup melegakan, pikirannya semakin buntu. Berbeda saat menikmati kopi, pahitnya justru meringankan beban. Mungkin kalau yang dia cecap saat ini adalah  kopi, otaknya mungkin akan menghasilkan solusi.

Si sulung sebenarnya bukanlah anak yang penuntut.  Masih kelas empat SD, tapi sangat pengertian. Sepulang sekolah, anak pertamanya hampir tak pernah bermain.  Lekas membantu ibu, dia mengumpulkan kayu untuk memasak. Badannya kurus tapi gempal karena terbiasa membawa beban. Kaki kapalan hingga duri tak bisa melukai lagi. Kadang, sulungnya itu membantu mencari rumput pakan kambing tetangga. Tak dipakai jajan, uangnya malah diserahkan ke orang tua.

Bapak menyesal. Semestinya uang itu tak pernah dia gunakan sebagai tambahan belanja beli beras, lauk pauk, kadang bayar listrik. Jerih payah  merumput itu semestinya ditabung untuk beli sepatu baru. Seharusnya, dia bisa menghemat lebih keras lagi dengan upah  nguli lima puluh ribu sehari. Bapak sudah lama tak merokok, kopi juga sudah tak rutin dibeli. Kini, pengeluaran apalagi yang harus direduksi?

Ditandaskan segelas air hangat. “Doakan , semoga hari ini ada rezeki lebih, entah dari mana,” pukul tujuh pagi, Bapak segera bergegas.

Emak mengangguk. Diciumnya tangan suami takzim. Guratan kasar di telapak menunjukan lelakinya seorang pekerja keras, hanya saja mungkin kurang beruntung.

“Hati-hati,” jawabnya saat  melihat suami beranjak pergi.

***

Sepanjang jalan, pikiran Bapak tak pernah berhenti mencari solusi. Bagaimana cara mendapatkan uang halal? Dia tak ingin mencuri, apalagi mengambil yang bukan haknya. Bapak masih punya harga diri.

Ada satu cara memperoleh uang lebih. Beberapa hari yang lalu, Mandor menawarinya tugas baru memasang  plafon di ballroom apartemen. Selama ini, dia hanya betugas mengangkut semen, pasir, dan membuat adonan adukan beton dengan  mesin  molen. Saat awal bekerja, Bapak meminta kompensasi tidak disuruh memanjat. Bukan karena malas, dia takut ketinggian. Orang menyebutnya fobia.

Kemarin, salah satu  kuli bagian  plafon  mengundurkan diri, belum ada ganti. Bapak bertekad menerima tawaran  Mandor. Upahnya lumayan, dua kali gajinya yang sekarang. Bapak masih takut ketinggian. Tapi bayangan sepatu untuk si sulung, modal warung istri, dan mencecap secangkir kopi setiap pagi menepis segala keraguan.

Dengan mantap, Bapak menghadap Mandor. Diutarakan keinginannya. Dia bersedia di posisi baru.

“Kapan kamu siap?” tanya Mandor.

“Hari ini juga, Pak,” jawab Bapak.mantap.

Mandor menunjukan tugas-tugas yang harus dikerjakan.  Ballroom mempunyai  tinggi tujuh meter. Tugas Bapak membantu tukang utama memasang rangka plafon yang terbuat dari baja ringan. Para pekerja plafon harus bekerja dengan teliti dan presisi. Keliru sedikit, plafon tak terpasang rapi.

Bapak takut salah. Rasanya, perlu minuman yang membuatnya berkonsentrasi. Membayangkan secangkir kopi, dia menelan ludahnya sendiri.

Pekerjaan dimulai. Langit-langit yang akan dipasang plafon telah dibersihkan. Penggantung plafon sudah dipasang. Perlahan, Bapak mulai naik di atas stager. Rangka plafon akan dipasang  ke tiang penggantung.

Bapak tak sendiri, tugasnya pun menunggu arahan temannya yang lebih ahli. Sementara yang lain memasang rangka, Bapak sekadar memegang agar tak goyah. Namun, Bapak gugup setengah mati. Jantungnya berdebar, baru kali ini dia berdiri setinggi ini. Keringat dingin mulai mengucur.

“Jangan lihat bawah, jangan lihat,” Bapak mensugesti dirinya sendiri.  Tangannya mulai gemetar. Dia teguhkan hatinya, tenangkan pikirannya.

“Argh,” tiba-tiba teman kerjanya berteriak. Belum sempat Bapak mencerna, tangannya tersengat listrik entah berapa besar arusnya. Dia hilang keseimbangan, kesadaran semakin lama kian berkurang. Suara keributan sayup-sayup mulai menghilang, yang ada tinggal kesunyian.

***

“Kami tak menyangka langit-langit bakal plafon belum benar-benar bersih. Suami ibu dan lima rekan lainnya terkena aliran listrik yang bocor. Listrik mengenai setelan kuda-kuda yang dipakai untuk memasang rangka plafon ballroom.Kemudian terjatuh  dari ketinggian enam meter,” kata Mandor menjelaskan.
   
“Ini mohon diterima. Besarnya memang tak bisa pernah mengganti kehadirannya suami Ibu. Semoga bisa membantu,” lanjut Mandor sembari menyerahkan uang dalam amplop.

Emak  terdiam. Matanya nanar memandang suaminya yang telah dimandikan dan terbungkus kain kafan putih. Uang sepuluh juta pemberian perusahaan kontraktor tempat Bapak bekerja memang bisa digunakan untuk membeli sepatu sulungnya, bahkan cukup sebagai modal usaha warung. Tapi bagaimana Emak sanggup mengarungi hidup dan membesarkan dua anak tanpa Bapak. Sandaran hatinya telah pergi. Air mata kembali mengairi  pipi Emak.


“Silahkan diminum,” suara kerabat memecah keheningan. Tiga cangkir kopi disajikan untuk Mandor dan dua tamu  laiinya. Secangkir kopi, minuman kegemaran suami Emak. Dan kini, Bapak tak lagi bisa menikmati kopi.***

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO danNulisbuku.com


Friday, October 21, 2016

Silampukau yang Memukau


-2009-
Kharis Junandharu. Laki-laki itu tampak sibuk menyiapkan aneka tetabuhan untuk teater gapus. Badannya kurus lincah hilir mudik ke sana kemari. Wajahnya tak terlalu jelas, pencahayaan terlalu gelap. Padahal tujuan kemari adalah mengamati rupa empunya hati adik kos waktu itu. Tentu, niat utama adalah menikmati pertunjukan. 

Sumpah, aku penasaran dengan wajahnya akibat setiap hari mendengarkan cerita yang berbunga-bunga dengan mata yang menerawang dan muka yang tersipu. Setiap gerak gerik Kharis terlihat mempesona di hadapan adik kos. Sebut saja Diya, bagian dari nama lengkap tapi bukan panggilannya.  

"Oh, Mas Kharis," ujarnya 

Seulas senyum Kharis saat papasan di kantin akan membuat Diya melayang. Seucap sapaan selalu akan dikenang. Cerita tentang Kharis tentu tak membuat Diya bosan, tapi aku jadi penasaran. Seperti apa rupanya?

Dan hari ini, aku bisa melihat jelas wajahnya setelah pagelaran usai. Kacamata bingkai tepat di atas hidung. Kaos oblong tampak sedikit kebesaran. Kharis tak terlalu rupawan. Tapi sesuai dengan namanya, dia memang punya kharisma tersendiri. 

"Oalah, iki tha sing nggawe koen edan," bisikku. Dari Diya pula, aku tahu Kharis punya grup musik bernama Silampukau, alias burung kepodang. 

Ngomong-ngomong, Mas Kharis, kalau sampeyan membaca blog ini. Diya, adik kosku yang pernah naksir berat sama kamu waktu itu, entah sekarang, adalah adik tingkatmu. Diya anak Sastra Indonesia Unair angkatan 2007. Kini, gelar pascasarjana sudah dia sandang. Kosnya di Karang Menjangan. Tebak sendiri ya, mas. Kalau ternyata pernah naksir juga, lamar aja sekarang. Diya masih jomblo.


2016
Ingatan soal Kharis kembali lagi setelah menonton Net 3.0. Band indienya, Silampukau, masuk ke dalam satu nominasi. Melihat itu, aku kembali terbayang dengan kisah cinta platonis antara Diya dan Kharis. Tawaku pecah. 

Perjumpaan kembali nama Silampukau dan tentu dengan Kharis Junandharu membuatku kembali penasaran. Tapi kali ini beda, aku tak tertarik dengan Kharis tetapi lebih pada Silampukau. Pencarian di youtube pun dimulai. 

Dan ternyata, aku terpukau dengan lagu Silampukau. Lirik cerdas dan nakal, dengan instrument sederhana yang malah memunculkan rasa kangen dengan Surabaya. 

Beberapa kosakata di dalam lirik justru menambah perbendaharaan kata. Kamu akan menemukan istilah baru seperti "matrimoni" setelah mendengar lagu "Sang Pelanggan."  Sejumlah syair kadang menjadi katarsis saat sedang sedih, jenuh, dan kecewa dengan keadaan, Sambil berujar "ini aku banget". 

Berikut ini beberapa lirik lagu Silampukau yang paling sering didengar. 


1. Lirik "Cinta Itu"

Cinta bukan soal pengorbanan
Dengan tulus tak terasa beban
Biarlah yang terbaik jadi manis
Dan pahit takkan jadi tangis

Cinta memang tak perlu berbalas
Tak usah mengemis dan memelas
Biarlah yang terbaik jadi manis
Dan pahit takkan jadi tangis

Cinta itu buat kapan-kapan (kapan?)
Kala hidup tak banyak tuntutan
Biarlah yang terbaik jadi manis
Dan pahit takkan jadi tangis


Lagu "Cinta Itu" terasa menyidir anak zaman sekarang yang suka galau. Kadang, seperti menelanjangi saat mengingat zaman-zaman dulu. Bodoh sekali aku waktu itu. 


2. Lirik "Balada Harian" 

Tik-tok jam. Dering alarm.
Pagi tak terhindarkan.
Tik-tok jam. Dering alarm.
Impian pudar perlahan. Diam-diam,
pagi tak terhindarkan.

Tik-tok jam. Kubayangkan,
hari begitu panjang.
Tik-tok jam. Lalu-lalang,
derum dan bising jalanan.
Kuberbaring, membayangkan
hari pasti ‘kan panjang.

Di luar pagar sana, kawanku,
kehidupan memanggilmu.
Tapi tahun kian kelabu.
Makna gugur satu-satu,
dari pengetahuanku,
dari seluruh pandanganku,
pendengaranku,
penilaianku.

Mentari tinggal terik bara tanpa janji.
Kota tumbuh,
kian asing, kian tak peduli;
dan kita tersisih di dunia yang ngeri,
dan tak terpahami ini.

Tik-tok jam. Dering alarm.
Pagi tak terhindarkan.
Tik-tok jam. Kini ku paham,
waktu sekedar hitungan yang melingkar,
kekal di kehampaan.

O, bocah riang di jiwaku,
di manakah dirimu?
Tahun-tahun masih menunggu,
kembalilah kepadaku.


Mendengar lagu ini membuat aku ingat untuk kembali mengorek-orek sisa mimpi. Semakin dewasa, kita sering kehilangan rasa jenaka, terlampau serius hingga sulit menikmati hidup. Bekerja seperti mesin, melupakan obsesi. Terimakasih Mas Kharis dan Mas Eki, maaf namanya baru disebut di bagian ini. Semoga belum terlambat. 


3. Lirik "Puan Kelana" 

Kau putar sekali lagi Champs-Elysees.
Lidah kita bertaut a la Francais.
Langit sungguh jingga itu sore,
dan kau masih milikku.

Kita tak pernah suka air mata.
Berangkatlah sendiri ke Juanda.
Tiap kali langit meremang jingga,
aku ‘kan merindukanmu.

Ah, kau Puan Kelana,
mengapa musti ke sana?
Jauh-jauh Puan kembara,
sedang dunia punya luka yang sama.

Mari, Puan Kelana,
jangan tinggalkan hamba.
Toh, hujan sama menakjubkannya,
di Paris atau di tiap sudut Surabaya.

Rene Descartes, Moliere, dan Maupassant.
Kau penuhi kepalaku yang kosong;
dan Perancis membuat kita sombong,
saat kau masih milikku.

Kita tetap membenci air mata.
Tiada kabar tiada berita.
Meski senja tak selalu tampak jingga,
aku terus merindukanmu.

Ah, kau Puan Kelana,
mengapa musti ke sana?
Jauh-jauh Puan kembara,
sedang dunia punya luka yang sama.

Mari, Puan Kelana,
jangan tinggalkan hamba.
Toh, anggur sama memabukkannya,
entah Merlot entah Cap Orang Tua .

Aih, Puan Kelana,
mengapa musti ke sana?
Paris pun penuh mara bahaya dan duka nestapa,
seperti Surabaya.


Satu-satunya lagu tentang cinta, puitis tapi tak romantis. Puan dan Tuan, ada harga yang harus dibayar mahal setiap pengembaraan.


4. Lirik "Lagu Rantau Sambat Omah"

Waktu memang jahanam,
kota kelewat kejam,
dan pekerjaan menyita harapan.

Hari-hari berulang,
diriku kian hilang.
Himpitan hutang. Tagihan awal bulan.

O, demi tuhan, atau demi setan,
sumpah aku ingin rumah untuk pulang!

Tujuh tahun yang lalu,
impian membawaku ke Surabaya: berharap jadi kaya.

–hanya bermodal baju dan seratus ribu, nasib ini kuadu—

Tujuh tahun berlalu,
impianku tersapu di Surabaya: gagal jadi kaya.

–kota menghisapku habis, tubuh makin tipis, dompetku kembang-kempis—

O, demi tuhan, atau demi setan,
sumpah aku ingin rumah untuk pulang.

“Rindu menciptakan kampung halaman tanpa alasan.”

Burung pulang ke sarang, ketam diam di liang,
dan di lautan ikan-ikan berenang.

O, demi tuhan, atau demi setan,
sumpah aku ingin rumah untuk pulang.

“Uang bawa ‘tualang sesat di jalan, menjauhi pulang.”


Rasanya, lagu ini lebih cocik untuk kaum urban Jakarta. Bayangkan, saat berdesak-desakkan di commuter line atau Transjakarta, berangkat tepat saat matahari terbit, pulang saat sudah terbenam, di antara ngantuk atau lelah, kemudian lagu ini diputar. Nelangsa atau justru tertawa. Kerja keras, menghabiskan waktu, untuk bayaran yang tak seberapa. Sumpah Tuhan, pasti ingin pulang.  


5. Lirik "Doa" 

Duh Gusti, dulu kala semasa ‘ku remaja,
“nothing else matters,” katanya Metallica.
Sebab hidup, Gusti, kadaluarsa jika
hanya berisi nasehat mama-papa.

Sering, Gusti, aku bertanya-tanya sendiri,
kenapa sih mama tenggelam di televisi,
mengunyah iklan menelan mimpi.
Sabar, mama, tunggu aku masuk ke layar tivi.

Dan inilah nyanyianku.
Semoga mama belum tua saat aku mencapainya.

Duh Gusti, aku kesasar di jalur indie.
Terima sablon kaos dan kadang gantungan kunci.
Musisi, Gusti, musisi,
bukan jadi penjaga distro kayak gini.

Duh Gusti, pernah ‘ku mencoba peruntungan,
dana pas-pasan pokoknya bikin rekaman.
Kuliah, Gusti, kutelantarkan
atas nama musik dan hidup yang penuh kebebasan.

Dan inilah nyanyianku.
Semoga usia belum tua saat mencapainya.

Duh Gusti, kini ‘ku mulai lelah jadi musisi.
Jiwaku remuk terteror televisi.
Aku cemas, Gusti, suatu nanti,
aku berubah murahan seperti Ahmad …

Janggalkah, Gusti, perasaan marah ini
saat nalarku direndahkan televisi?
Lihat itu, Gusti, lihat itu,
b’rapa harga tawa mereka di balik layar tivi?

Dan inilah nyanyianku.
Semoga usahaku lancar, berkembang, ber-cuan,
perlahan aku bisa mewujudkan
ziarah ke tanah suci, tanah impian.

Dan inilah nyanyianku.
Semoga terkenal, terpandang, dan banyak uang.


Curhatan anak band indie. Tapi saya suka lagu ini karena ada sindiran ke salah satu musisi besar asal Surabaya yang sekarang jadi murahan. Iya, Ahmad yang itu, yanng setelah digugat cerai istri pertama jadi seperti sekarang. Hidupnya ala Kadarshian, lebih suka bikin sensasi daripada karya yang menginspirasi. 

Itu tadi Silampukau, band aliran musik indie folk. Kalau sempat, aku akan membuat tulisan tak penting lagi seputar band indie. Selain Silampukau, aku juga suka Banda Neira, Float, dan Payung Teduh. 

Untuk yang ingin lebih tahu tentang Silampukau, silahkan meluncur ke sini http://silampukau.com/ .

Sumber foto: silampukau.com

Tuesday, October 4, 2016

Brangelina dan Barisan Anti-Pelakor

Tidak ada kabar yang paling menyedihkan akhir-akhir ini selain gugatan cerai Angelina Jolie terhadap suaminya, Brad Pitt. Apalah arti dicampakannya Heru oleh Ahok setelah CLBK dengan Djarot. Bukan pula tentang kebijakan Menko Maritim Luhut Binsar Pandjaitan meneruskan reklamasi Teluk Jakarta. Atau kabar putusnya penyanyi cantik Raisa dengan pacarnya yang gagah rupawan serta mapan.


Berita yang menunjukan tanda-tanda Brangelina akan segera berakhir tentu menyesakkan jiwa banyak orang, maklum, keduanya dianggap sebagai salah satu pasangan paling ideal di muka bumi ini. Bagaimana tidak, Brad dan Angelina sama-sama dikaruniai paras mempesona. Hidup mereka tampak penuh berkah, makmur sentosa, serba berkecukupan dengan enam orang anak, tiga kandung dan sisanya adopsi. Mereka berdelapan terlihat kompak serta harmonis. Nilai tambah diberikan ke Brangelina karena pasangan ini aktif di sejumlah kegiatan sosial kemanusiaan. Kalaupun ada cela dari pasangan ini, paling hanya karena mereka tidak ikut program KB andalan. Sudah, itu saja. Sisanya… Istimiwir….

Kurang apa lagi coba? Cantik, tampan, kaya raya, sejahtera, rukun, dan tentu baik hati. Brangelina were the great Hollywood couple. Empat hari yang lalu.

Setelah sekian lama menjalin kemistri yang begitu luar biasa, akhirnya Angelina minta pisah. Publik terkejut. Sedih, marah, menyayangkan, pasangan maha ideal ini mesti berpisah. Media massa riuh ramai memberitakannya dengan berbagai angle. CNN Indonesia sampai membuat topik khusus “Akhir Dongeng Cinta Brangelina”. Entah salah atau benar, terendus orang ketiga yang menyebabkan perpisahan mereka. Tudingan ditujukan kepada Marion Cottilard, lawan main Brad di film Allied.

Di antara sedu-sedan itu, tentu saja ada yang tertawa. Siapa lagi kalau bukan penggemar Jennifer Aniston dan barisan anti-pelakor. Bagi mereka, Angelina adalah pelakor, alias Perebut Laki Orang. Maklum, Kebersamaan Brad Pitt dan Angelina memang dimulai ketika Brad masih berstatus sebagai suami Jennifer Aniston. Mangkanya, banyak yang mengaitkan perceraian Brangelina sebagai sebuah pembuktian bahwa karma itu ada.

Beruntung Angelina tidak tinggal di Indonesia. Dia luput dari serbuan barisan anti-pelakor yang ganas dan berbahaya.

Barisan anti-pelakor selalu berdiri di pihak istri sah. Membela Maia Estianty dari Mulan Jameela, Halimah dari Mayangsari, atau yang terbaru Nagita Slavina dari Ayu Ting Ting. Mereka bukan para feminis partikelir, melainkan orang-orang yang berempati dengan korban perselingkuhan. Mayoritas perempuan, tetapi tak menutup kemungkinan laki-laki. Slogannya mirip ucapan Bung Karno saat berkonfrontasi dengan Malaysia, “Ganyang Pelakor”.

Bentuk pengganyangannya tentu berbagai macam, mulai dari mblejeti aib pelakor, sampai membully di akun media sosial. Tak percaya? pantau saja medsos Mulan Jameela. Tentu kita bisa menilai julukan pelakor terhujat sepanjang masa pantas disandangnya.

Jangan coba-coba membela orang yang dituduh sebagai pelakor kalau tidak ingin dicari kekurangannya. Teori mutlak mereka, pembela pelakor sama saja seperti pelakor itu sendiri.

Entah kebetulan atau tidak, tapi yang pasti, ramainya perseteruan Mario Teguh dengan ‘anaknya’ bermula ketika Linna Teguh memberi dukungan kepada Ayu Ting Ting lewat instagram awal tahun ini. Penyanyi yang kebingungan cari alamat ini sedang menghadapi serangan barisan anti-pelakor karena dituding menggoyang rumah tangga Raffi Ahmad-Nagita Slavina.

Barisan anti-pelakor langsung mencari cerita buruk masa lalu Linna Teguh yang ternyata istri kedua. Tak tanggung-tanggung, kelompok ini memberikan bukti surat perceraian Mario dengan istri pertama dan akta lahir Kiswinar ke akun instagram @Lambe_turah, akun yang khusus membongkar gosip underground. Dan, Voila, jadilah gosip konsumsi publik yang berkepanjangan hingga saat ini.

Angelina Jolie beruntung tidak menjadi artis di Indonesia. “Aksi” merebut Brad Pitt dari Jennifer Aniston tak akan berimbas di karir atau jadwal manggung. Publik terlupa seiring dengan cerita cinta Brangelina. Tak akan ada petisi boikot di change.org seperti yang dilakukan barisan anti-pelakor kepada Mulan Jameela dan Ayu Ting Ting.

Begitulah nasib para pelakor di nusantara. Berbeda perlakuan, para pria yang direbut lebih minim hujatan daripada para pelakor. Bambang Triatmojo, Ahmad Dhani, atau yang dituding seperti Mario Teguh dan Raffi Ahmad, mereka masih bisa leyeh-leyeh tanpa banyak yang menghakimi.

Di sisi lain, para barisan anti-pelakor terus berharap keadilan bagi istri sah yang terkhianati. Mereka merindukan masa di zaman Tien Soeharto, saat selingkuhan terpaksa rela rumahnya disemprot tinja. Era saat para pelakor tak bisa menyombongkan hasil rampasannya.

Mungkin bila masih hidup, Tien Soeharto akan berkata “Piye kabare, enak jamanku tho?” sambil memperbaiki letak konde.

Bersyukurlah, Angelina, anda tidak tinggal di Indonesia.

Pernah dimuat di Mojok.co, 23 September 2016

Membela Mario Teguh

Sahabat-sahabatku yang baik, saya tuliskan catatan ini sebagai pembelaan terhadap motivator, Bapak Mario Teguh, yang telah dicemooh oleh mojoker pendengki lewat artikel berjudul: “Hidup Memang Tak Semudah ‘Cocote’ Mario Teguh”. 

Sumber:youtube.com

Sahabatku, seorang motivator pastilah menginginkan orang termotivasi untuk memandang hidup lebih mudah. Motivator tentunya mengajarkan yang baik-baik meski mungkin tak dilakukan oleh dirinya sendiri.

Tapi, tentu seorang Bapak Mario Teguh menjalankan hidup penuh konsistensi ucapan dan pikiran. Beliau adalah orang yang suskses, pernah menjadi Head Sales Citibank Indonesia. Saat bertemu dengan Bu Lina Teguh, istri yang di awal kemunculan diakui sebagai pernikahan pertama kemudian baru-baru ini diralat jadi pernikahan kedua, Pak Mario berprofesi sebagai Vice President Marketing and Organization Development.

Karena cintanya kepada Bu Lina, dua bulan setelah bertemu langsung menikah. Memang benar, sebelumnya Pak Mario dan Bu Lina mengaku menikah di awal tahun 1993. Setelah beredar surat cerai dengan istri pertama di publik, tim Pak Mario segera meralat tanggal meski tidak bisa menarik kembali video-video yang bertebaran.

Ralat ini tentunya bukan karena Pak Mario tak konsisten dengan ucapannya. Namun semua itu agar pernikahan terlihat lama, agar terlihat lebih dramatis. Bukannya masyarakat Indonesia lebih suka cerita yang fantastis.

Setelah Pak Mario menikah, pasangan emas ini memilih keluar dari pekerjaan masing-masing dan tinggal di garasi tak berpintu ukuran 2,5 x 2,5 meter. Mungkin Pak Mario saat itu belum pintar menabung sehingga tak ada sepeserpun sisa gaji untuk mengontrak yang lebih layak. Berbeda dengan saya yang pegawai rendahan, memaksa beli rumah setelah menikah.

Tak mengapa, toh Bu Lina bersedia hidup miskin demi cinta. Saking miskinnya di tahun 1994, tiap hari mereka hanya bisa makan sarden sehingga tubuhnya licin seperti ikan. Coba kalau mereka makan kerupuk dan garam, mungkin tubuh Pak Mario bisa lebih renyah.

Sahabat-sahabatku yang baik, saya tegaskan bahwa tulisan ini bukan untuk berkomentar tentang polemik yang dihadapi Pak Mario Teguh atas seorang pria yang mengaku sebagai anaknya. Saya yakin Ario Kiswinar Teguh bukanlah anak Pak Mario Teguh. Karena Kiswinar kurus dan berkumis, padahal Pak Mario tidak. Keyakinan yang sama inilah menimbulkan keraguan dengan Jokowi dan Kaesang.

Dari muda sampai tua, presiden ketujuh ini tak pernah sekekar Kaesang. Wajah mereka juga tak mirip-mirip amat. Jangan-jangan Bu Iriana selingkuh, saya sarankan Jokowi dan Kaesang melakukan tes DNA.Saya juga menganjurkan mojokers di sini untuk tes DNA kalau wajahnya tidak sama dengan orang tua masing-masing. Jangan-jangan bukan anak dan dilarang mengaku-aku.

Kembali lagi, saya berkomentar ini karena ingin menunjukkan kepada Mas Agus Nonot Supriyanto bahwa hidup itu semudahnya ‘cocote’ Mario Teguh. Coba Mas Agus nonton tayangan Sapa Indonesia di Kompas TV tanggal 9 September kemarin. Di situ dijelaskan bagaimana jalan emas menggapai kesuksesan ala Mario Teguh.

Jadilah Vice President Perusahaan Orang, Jangan Pengusaha

Sahabatku yang baik, dari tayangan Kompas kemarin, Pak Mario menyayangkan Ario Kiswinar yang berumur 30 tahun hanya menjadi CEO perusahaan main-main yang mengkaryawankan para ODHA. Padahal di umur yang sama, Pak Mario telah menjadi Head Sales bahkan Vice President di usia 30-an.

Dari sini sahabatku, kita bisa belajar bahwa apa yang dikatakan Almarahum Bob Sadino itu salah besar. Bob Sadino merupakan motivator gadungan yang menyarankan pekerja kantoran resign demi membuka usaha sendiri.

Benar kata Pak Mario, ukuran kesuksesan itu bukan proses melainkan gaji yang kita terima. Moivator yang meninggikan pedagang asonan, kaki lima, online shop, usaha ecek-ecek lain dibanding karyawan papan atas sejatinya adalah motivator palsu.

Usia 30 Tahun Jangan Mengaku Anak

Sahabat-sahabatku yang baik, ketika kita berusia 30 tahun hendaknya mampu berdiri sendiri tanpa pengakuan dan doa restu orang tua. Pak Mario mengatakan usia 30 tahun itu tak lagi bisa disebut anak melainkan bapak-bapak.

Jadi buat kamu, Mblo, sadar diri bahwa saat kamu berusia 30 tahun artinya bapak-bapak meski belum punya pacar, menikah, apalagi punya anak. Kalau mau sukses janganlah mengaku anak pada orang yang kamu anggap orang tua. Raihlah kesuksesan dengan mandiri tanpa bantuan siapapun, bahkan rela menjauhkan diri dengan keluarga sekalipun.

Bencilah Mantanmu Semaksimal Mungkin

Sahabat-sahabatku, dari wawancara klarifikasi kita bisa belajar cara menghadapi musuh. Tirulah Pak Mario, ketika ada teror langsung menduga kalau itu adalah dari mantan istri. Segera dia tulis di handphonenya dan milik istrinya dengan nama “Lady Evil”. Jangan lupa sebarkan kepada seluruh masyarakat Indonesia bahwa kita mempunyai panggilan khusus untuk menamai orang yang kita benci.

Cara Pak Mario, menurut saya, sangatlah tepat. Kalau ingin sukses tentu kita harus move on. Bencilah semaksimal seseorang yang membuatmu tampak terpuruk sebagai cambukan meraih kesuksesan. Mengingat mantan pacar atau mantan istri dengan perasaan yang biasa saja tak berkembang.

Lupakan Masa Lalu, Tataplah Masa Depan yang Cerah

Sahabat-sahabatku yang baik, masa lalu yang buruk janganlah diingat karena akan menghambat kesuksesan. Masa lalu akan membuat kita terpuruk dan kian berkubang pada kegagalan. Bila perlu buatlah cerita yang menarik dan mencengangkan untuk menutupi masa lalu.

Dahulu Pak Mario selalu bercerita tentang Bu Lina yang cantik sebagai istri pertama setelah menjomblo sekian lama karena ditolak perempuan manapun. Itu menunjukkan Pak Mario benar-benar move on dari masa lalunya. Perihal nanti kepleset kan bisa diatasi dengan klarifikasi di televisi, hapus tulisan, foto, dan video di facebook dan instagram. Kemudian buat cerita yang baru.

Pesan saya buat Mas Agus untuk melaksanakan jalan emas yang telah diresepkan Pak Mario Teguh. Saya harap sampeyan, Mas, tidak lagi mengolok-olok Mario Teguh. Dia adalah motivator yang sempurna paripurna tiada cela, selalu bisa mengobarkan semangat berapi-api kepada seluruh penggemarnya, dan tentunya konsisten sedari lahir.

Meniru ucapan motivator idola saya tentang anak bungsunya, “Jangan nanti muncul, bekas anak dihajar anak,” saya tekankan Mas Agus untuk meminta maaf. Jangan sampai nanti muncul, bekas penggemar dihajar penggemar.

Pernah diterbitkan di Mojok.co 11 September 2016

Jadi, Apakah Sekarang Tempo Sudah Pro-Rokok?

Sebagai pembaca Tempo sejak zaman kuliah dan nguli tinta selama tiga tahun (2011-2014), saya kaget luar biasa ketika melihat iklan cover edisi khusus “Memperingati Kemerdekaan” yang menyorot kiprah Chairil Anwar. Sang penyair ditampilkan dengan menghisap rokok. Wah, apakah Tempo telah mengubah kebijakan redaksinya?


Saya carep Tempo generasi Velbak, Jakarta Selatan. Sepanjang yang saya tahu, kebijakan redaksi selama ini memang lebih condong ke arah anti-rokok, sehingga pemberitaan juga lebih condong ke arah itu. Ingat ya, bullshit kalau ada yang bilang media itu netral. Semua media pasti berpihak tapi tergantung ke arah mana.

Untuk kasus Tempo, keberpihakan biasanya setelah melewati pertempuran luar biasa mulai sekelas reporter hingga redaktur eksekutif, “bacok-bacokan” di rapat redaksi hari senin. Biasanya, seusai keputusan dibuat, siapapun harus patuh, tak peduli seberapa berdarahnya ia memegang pendapat di dalam rapat.

Kebijakan Tempo yang anti-rokok juga berimbas pada Kawasan Tanpa Rokok di kantor Velbak. Tak ada satu pun tempat diberikan di dalam gedung untuk aktivitas merokok. Perokok harus keluar gedung, atau paling banter di teras depan, hanya untuk sekadar menjadi ahlul-hisap barang sebentar.

Ketika kembali masuk ke ruangan pun, aroma rokok harus segera enyah dari pakaian. Jika tidak, kelompok mayoritas anti-rokok akan menghardik “Habis ngrokok ya, menganggu, cuci tangan dulu sana.”

Karena penegur biasanya atasan, perokok akhirnya terpaksa melipir ke kamar kecil.

Pernah ada cerita tentang salah seorang karyawan Tempo yang mencoba menghisap rokoknya saat di depan layar komputer. Sebut saja namanya JS. . JS ini asyik merokok sambil mengedit berita hingga kepergok TH  yang saat itu punya jabatan sebagai kepala pemberitaan.

Memang agak bandel tapi cerdik, JS mengelak, “Oh iya, ga boleh ya, Mas. Maaf lupa,” kilahnya. TH marah dan geram seraya terus mengimbau kepada JS agar tidak mengulangi lagi. Sampai saya masuk Tempo dan kemudian keluar, cerita ini terus diulang disertai gelak tawa JS dan redaktur se-angkatannya.

Selain kebijakan redaksi yang mempengaruhi pemberitaan hingga penerapannya di lingkungan kantor, para penggede Tempo yang anti-rokok pun akan menunjukan resistensinya terhadap produk tembakau lewat media sosial. Para penjaga gawang Mojok pasti juga tahu, salah seorang lulusan sesama Yogya yang sekarang jadi redaktur senior di Tempo, merupakan aktivis anti-rokok.   Sementara awak Tempo yang merokok, sepertinya sulit menunjukkan sikap di publik perihal rokok.

Nah, iklan cover edisi khusus “Memperingati Kemerdekaan” bergambar Chairil Anwar yang sedang menghisap sebatang rokok itu sedikit banyak mulai membuat saya berfikir tentang perubahan kebijakan di lingkungan Tempo soal rokok. Hal ini semakin menguat tatkala saya tahu bahwa gedung baru Tempo di Palmerah, Jakarta Barat, ternyata telah menyediakan area bebas rokok di lantai tiga. Sebuah area merokok dengan konsep balkon terbuka yang diisi dengan deretan kursi yang cukup untuk menampung puluhan orang.

Tapi, waktu akhirnya menunjukkan skenarionya juga. Tempo mungkin memang sudah ditakdirkan untuk senantiasa anti-rokok. Cover bergambar Chairil Anwar menghisap rokok rupanya telah dianulir. Versi majalah yang dijual adalah cover yang menampilkan Chairil Anwar tanpa rokok.

Cover Tempo Chairil Merokok

Mencoba tabayun, saya akhirnya bertanya kepada redaktur, mantan atasan saya, kebetulan seorang perokok. Dia mengatakan semestinya rokok tetap ada karena memang merupakan ciri khas yang kuat menempel ke sosok Chairil Anwar. Tapi ternyata gambar tersebut banyak menuai protes di internal Tempo.

Ketika saya tanya apakah protes itu menyebabkan turunnya gambar rokok di cover Chairil Anwar, atasan yang menjadi teman baik itu menjawab, “Memang banyak yang protes, tapi bukan karena itu. Aku juga ga tahu pastinya.” Kilahnya disertai rinai tawa yang mencurigakan.

Yah, ihwal rokok, Tempo rupanya masih seperti yang dulu saya kenal. Belakangan, saya baru tahu kalau kebijakan Tempo tak lagi menerima iklan rokok di setiap lini medianya. Apakah Tempo tak ramah dengan perokok? Pimred Tempo Arif menjawab mention-an saya di twitter “Tempo ramah terhadap semua orang.”

Pernah diterbitkan di Mojok.co , Agustus, 18 Agustus 2016