Showing posts with label Literasi Media. Show all posts
Showing posts with label Literasi Media. Show all posts

Wednesday, August 1, 2018

#sahabatkeluarga : Pendidikan Literasi Media dari Rumah



Membaca artikel berjudul " Mempersiapkan Generasi yang Cerdas Digital"  di laman resmi Sahabat Keluarga Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/laman/index.php?r=tpost/xview&id=4899) membuat saya terinspirasi bahwa pendidikan literasi media sangatlah penting untuk anak-anak di masa kini. Adanya teknologi komunikasi memudahkan orang mengakses internet dan mendapatkan informasi dari dunia maya. Tak hanya orang dewasa, anak-anak dan remaja leluasa berselancar dan bertemu di ranah online yang acap kali tanpa pantauan orang tua. Inilah yang menjadi tantangan kekinian dalam hal mendidik dan mengajar anak-anak di era milenial dan serba digital seperti sekarang.

Dilansir dari penelitian Kaspersky Lab dan B2b International, satu dari 10 anak atau 12 persen anak di bawah umur 18 tahun mengalami kecanduan internet. Masih dari sumber yang sama, 44 persen anak-anak menghadapi paling sedikit satu ancaman saat sedang online. Satu dari sepuluh anak pernah mengakses konten yang berbahaya dan tak sesuai umur.


Konten yang beredar di dunia maya beragam dan patut diwaspadai. Tak hanya yang berbau pornografi dan kekerasan, isu hoax dan ujaran kebencian terhadap kelompok lain yang berbeda juga mudah menyebar.


Karena itulah, langkah yang mesti diambil orang tua agar anak tidak terpapar hal buruk di dunia maya adalah edukasi. Salah satunya dengan literasi media atau cara mengonsumsi media dengan cerdas. Pendidikan literasi media tentunya bertujuan memastikan anak-anak siap berinternet secara bertanggungjawab.


Menurut James W. Potter (2005), literasi media bisa menjadi semacam perangkat perspektif di mana khalayak bisa aktif memberdayakan diri sendiri dalam menafsirkan pesan-pesan yang diterima dan bagaimana mengantisipasinya. Literasi media sering diartikan sebagai cara cerdas mengonsumsi media, baik media sosial maupun media mainstream. Masyarakat diajak untuk dapat memahami bahwa informasi yang diterimanya bukanlah kebenaran yang bulat.


Sejatinya, literasi media merupakan pendekatan pendidikan yang tepat di abad 21 ini melihat adanya kemudahan mendapatkan informasi dari pelbagai bentuk media. Literasi media menyediakan kerangkan kerja untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan berpartisipasi dengan pesan yang disampaikan melaui media massa. Literasi media membangun pemahaman tentang kerja media dan pengaruh media di masyarakat. Artinya, liretasi media membuat masyarakat lebih melek media.


Dengan pendidikan literasi, anak-anak diajari cara mengonsumsi media massa dan berselancar di dunia maya yang benar. Tak hanya sekadar didampingi saat mengakses internet tetapi pendidikan literasi mengajarkan anak memilah memilih kabar secara tepat dan sebaliknya tak gampang membocorkan informasi pribadi di media sosial. Tentu saja, pendidikan literasi media membutuhkan peran kolektif orang
  tua dan guru sebagai pengawas dan role model sehari-hari.


Orang Tua Tak Selalu Tau


Orang tua pasti sudah mahfum bahwa informasi yang ada di internet tak selalu tepat. Namun masih sedikit orang tua yang paham bagaimana cara memilih media yang benar. Orang
 cenderung memilih media yang mempunyai informasi yang  dia sukai, bukan media yang terakreditasi dan sesuai etik. Mereka berkilah media yang tak menulis sesuai keinginanya itu tidak netral dan memuat berita untuk melayani pemilik atau bahkan penguasa.

Data Dewan Pers tahun 2017 mencatatkan, ada 43.300 media  online di Indonesia saat ini namun kurang dari satu persen  yang dinyatakan terverifikasi. Media online yang tak terverifikasi sering kali menghasilkan produk yang tak memenuhi kode etik jurnalistik. Media ini menyajikan informasi sensasional untuk menarik pembaca. Judul yang click bait (jebakan klik) tanpa disertai isi yang sesuai. Berita itu kemudian disebarkan melalui media sosial dan menjadi perdebatan di ranah publik. Alih-alih memberikan pencerahan, banyak orang yang percaya informasi palsu atau hoax kemudian berujung pada ujaran kebencian terhadap kelompok lain.


Lantas bagaimana mungkin orang tua mampu mengajarkan pendidikan literasi kepada buah hatinya bila dia sendiri tak tahu cara mengonsumsi yang tepat?


Berbicara mengenai literasi media, ada seperangkat alat yang bisa digunakan untuk menilai baik buruknya sebuah berita. Bila informasi itu berasal dari televisi, regulasinya ialah Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran milik Komisi Penyiaran Indonesia. Sedangkan jika informasi itu berasal dari media massa, standarnya mengacu pada aturan Dewan Pers, UU Pers, dan kode etik jurnalistik. 


Masyarakat perlu mencerna informasi berdasarkan regulasi-regulasi yang telah ada. Apakah berita itu berasal dari media yang terpercaya? Apakah si jurnalis turun langsung ke sumber berita atau mengutip dari media lain? Tentu saja tak ada media yang benar-benar independen, tapi apakah media tersebut sudah menerapkan
cover both side, menampilkan pendapat kedua belah pihak yang bertentangan?

Bagaimana bila informasi tersebut menyebar dari individu-individu di media sosial? Tentu saja proses menelaah membutuhkan waktu tak singkat. Netizen perlu menggali lebih lanjut apakah penulis merupakan sumber utama atau hanya sekadar penyebar saja. Hindari akun tak jelas identitasnya. Jika pun itu mengaku korban atau saksi kejadian langsung, ketahui keterangan dari pihak yang berseberangan sebelum menyebarkan ke media sosial. Dengan demikian, kita mendapatkan informasi dari dua sisi.


Kepakaran juga perlu diperhatikan. Misalnya saat membicarakan perang saudara di Suriah, pakar resolusi konflik atau hubungan internasional tentu lebih patut didengar daripada seorang dokter yang merupakan selebtwit atau selebgram dengan jumlah follower bejibun. Orang tua yang peduli dengan pencarian informasi seperti ini tentu lebih mudah mengajari anak tentang bagaimana mengonsumsi media yang tepat.



Kurikulum Pendidikan Berbasis Literasi Media


Sejatinya, wacana tentang pendidikan literasi media bukanlah barang baru. Banyak pakar komunikasi yang telah membahas mengenai pendidikan literasi media namun tak berhasil membumi di kalangan masyarakat luas. Ide tentang pendidikan literasi media hanya sebatas diskusi kelompok akademisi belum berhasil dikampanyekan melalui media yang bisa menjangkau di akar rumput. Berharap pada media massa konvensional tentu sulit karena akan mengubah kebiasaan mereka memproduksi berita dan informasi.


Solusinya adalah memaksakan pendidikan literasi media melalui kurikulum sekolah sehingga dapat diterima anak didik secara formal. Upaya ini tak serta merta berhasil dalam waktu singkat, butuh waktu agar khalayak mampu mengonsumsi media secara kritis dan bijak. Publik di negara maju sudah paham dengan literasi media karena telah diajarkan sejak puluhan tahun sebelumnya.
  Eropa sudah mengajarkan literasi media sejak tahun 1930-an. Sementara warga Amerika mulai belajar  pada tahun 1970-an.

Kerja kolektif antara contoh sehari-hari orang tua di rumah dan kurikulum formal yang dipandu guru di sekolah menjadi solusi terbaik mengajarkan pendidikan literasi media kepada anak. Sejalan dengan yang disampaikan Ki Hajar Dewantara “Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah.”


#SahabatKeluarga #MediaLiterasi