Thursday, September 15, 2016

Review: Warkop DKI Reborn dan Pop Corn yang Tak Renyah

Warkop DKI Reborn bagian pertama. Rasanya, inilah salah satu film yang mesti ditonton dengan penuh perjuangan mendapatkan tiket. Bayangkan, di bioskop tempat saya menonton, film ini diputar dengan lima layar. Saya sengaja berencana nonton di hari ketiga karena yakin hari pertama dan kedua akan kehabisan dan sulit mendapatkan posisi yang uenak.



Ternyata salah. Membeli di hari ketiga tetap tak mendapatkan posisi tengah. Meski membeli dua jam sebelumnya, posisi yang saya dapatkan nomor empat dari bawah. Tapi tak apalah, saya terima asal film ini sesuai dengan ekspektasi.

Penjualan tiket  film yang dibesut Anggy Umbara ini memang benar-benar gilaan. Di hari ke enam sejak premier pada 8 September 2016, 2,8 juta tiket ludes terjual. Saya yakin, akhir perolehan akan mampu melampaui Ada Apa Dengan Cinta 2 yang perolehannya mencapai 3,6 juta tiket. Maaf ya, Mbak Dian dan Mas Nico, tolong minggir dulu.

Promo gila-gilaan, tentu membuat penggemar Warkop DKI semakin penasaran. Di commuter line saya temui iklannya, nyalakan TV juga ada promosi, buka facebook dan twitter ada lagi, beli tiket hari pertama dapat CD lagu gratis. Sulit tak tergoda.

Tak hanya penggemar Warkop DKI, para perempuan juga tertarik menonton karena ada tiga papah muda rupawan, Abimana Aryasatya, Vino G. Bastian, dan Tora Sudiro. Terutama pemeran Dono, yang meski wajahnya dijelek-jelekin dengan mrongosnya, tetap tampan.

Promosi gencar, pemain terkenal berakting paten, tentu membuat saya ingin menonton dengan ekspektasi tinggi. Saya sadar, film ini bukan film serius melainkan pop corn movie yang bisa ditonton tanpa kapasitas otak buat mikir. Tapi paling tidak, Warkop DKI digarap dengan lebih segar dan kekinian.

Namun ternyata harapan saya jauh panggang dari pada api. Warkop DKI masih dengan formula yang sama, cewek seksi dan komedi slaptick. Padahal, saya berharap DKI Reborn menjadi lawakan cerdas tanpa harus mengumbar paha Nikita Mirzani dan dada Hannah Al Rasyid.

Apalagi Anggy Umbara, terkenal sutradara dengan unsur-unsur fantastis, selalu ada keributan dalam keramaian di setiap filmnya, sinematografi yang komikal. Ciri ini juga ternyata ada di Warkop DKI Reborn. Mobil dan motor terbang, motor yang menerjang kaca hingga menimbulkan serpihan, hingga dikejar penduduk karena dikira menyebarkan uang palsu. Saya merasa terlalu banyak bumbu di film ini.

Beralih ke jajaran pemain. Hannah Al Rasyid tak ubahnya seperti bidadari Warkop yang dulu, cantik tapi kurang memberi arti. Kecuali Ence Bagus dan Mudy Taylor yang sanggup mengocok perut penonton, para pemain stand up comedy bertebaran di mana-mana sekadar numpang lewat.

Beranjak ke pemeran utama. Satu-satunya yang berperan bagus di antara tiga orang adalah Abimana Aryasatya meski tak seratus persen mirip. Secemerlang saat menjadi Elang di “Belenggu”, Abimana mampu menghadirkan akting yang memorable. Celetukan “Ini muka lho, Kas” masih terngiang-ngiang di telinga dibanding saat Vino mengatakan “Gila lu, Ndro”. Padahal yang terakhir lebih dulu terkenal.

Akting Abimana juga sukses membuat saya terbahak. Misalnya saat menimpali Mudy Taylor yang sedang bernyanyi lagu “Dasi dan Gincu” atau sok bicara Bahasa Perancis. Meski susah ngomong karena gigi palsu, tampaknya akting Abimana tidak terlalu terganggu.

Sedangkan Vino G. Bastian terlalu ngotot menjadi Kasino yang justru membuat aktingnya tak alami. Oiya, kostum yang dikenakan Vino sedikit gangges, kemeja dengan kancing yang dibuka sampai perut bagian atas. Bukannya seksi atau lucu malah terlihat norak.
Untuk Tora, dia terlalu bermain datar. Aktingnya tertolong oleh Indro Warkop yang asli. Coba tak dibantu kehadiran Indro entah sebagai malaikat dan iblis, atau dirinya yang datang dari masa depan, scene bagian Tora bakal kurang greget.

Satu yang saya sesalkan, sindiran atau lawakan politik justru diberikan Indro Warkop dan tokoh lain, bukan tiga pemeran utama. Padahal, awal kemunculan Warkop DKI di radio karena celetukan cerdas dan sindiran nyrempet politik.  Entah apa niat Anggy Umbara sebenarnya. Ditambah alur yang terseret-seret, membuat serasa menonton lawakan di televisi. Lucu sih, tapi kurang berkesan.


Namun, nilai film komedi sangat relatif tergantung penontonnya. Bagi saya garing dan tidak lucu, bisa jadi membuat orang lain ngakak terguling-guling. Pada akhirnya banyaknya ‘bumbu’ tak membuat Warkop DKI Reborn menjadi pop corn yang gurih dan renyah.

Monday, September 12, 2016

Andai Risma Beradu “Pisuhan” Dengan Ahok

Seperti kita ketahui bersama, bahwa Indonesia memang diberkahi keanekaragaman hayati dan pisuhi. Karenanya, suasana tegang antara Ahok dan Risma ini sangat cocok dijadikan sebagai ajang perkenalan kosakata-kosakata pisuhan dari pihak yang bersangkutan. Jika Ahok sudah memperkenalkannya sejak lama, maka rasanya, inilah saatnya bagi Risma untuk tampil dan memperkenalkan kosakata pisuhan alias umpatan khas Surabaya.


Tanggal 11 Agustus kemarin, emboke arek-arek Surabaya murka. Walikota Surabaya Tri Rismaharini merasa kotanya direndahkan oleh Basuki Tjahaja Purnama. Risma tak terima Surabaya dinilai hanya seluas Jakarta Selatan, padahal wilayahnya mencakup separuh Ibu Kota.

Risma membandingkan APBD Surabaya yang hanya Rp 7,9 triliun dibanding Jakarta Rp 64 triliun. Dia juga mengklaim mampu menerapkan manajemen pemerintahan dengan uang yang hanya sebesar itu untuk membangun trotoar, sekolah gratis, kesehatan gratis bahkan memberi makan orang-orang jompo setiap hari.

Risma dan Ahok memang tengah menjadi sorotan media massa dan jejaring sosial terkait perebutan kursi Gubernur Jakarta. Salah satu persamaan dari keduanya adalah cepat marah. Namun, saya melihat ada yang kurang dan berbeda marahnya Risma kemarin dibanding Ahok.

Ahok terkenal dengan kosakata umpatan atau makian yang khas seperti “taik”, “pemahaman nenek lu”, “bodoh”, hingga “brengsek”. Ini membuat Ahok di atas kertas unggul dalam kosakata emosi. Nah, agar berimbang dan “pertarungan” tetap seru, Risma agaknya perlu melawan dengan kata-kata yang punya konteks serupa tetapi lebih nyurabaya.

Seperti kita ketahui bersama, bahwa Indonesia memang diberkahi keanekaragaman hayati dan pisuhi. Karenanya, suasana tegang antara Ahok dan Risma ini sangat cocok dijadikan sebagai ajang perkenalan kosakata-kosakata pisuhan dari pihak yang bersangkutan. Jika Ahok sudah memperkenalkannya sejak lama, maka rasanya, inilah saatnya bagi Risma untuk tampil dan memperkenalkan kosakata pisuhan alias umpatan khas Surabaya.

Nah, Sebagai orang yang pernah jadi penduduk Surabaya selama lima tahun dan ndilalah pernah mencecap kepemimpinan Risma selama satu setengah tahun, saya akan membantu beliau mendata dan mengenalkan beberapa pisuhan Surabaya kepada khalayak luas. Siapa tahu, setelah beliau menjadi Gubernur Jakarta nanti #eh, saya dipanggil ke Balai Kota untuk menjadi tim humas atau minimal penulis naskahnya Risma. Ngarep ga apa-apa kan, bu?

Jancuk 

Jancuk merupakan kosakata umpatan Surabaya yang paling terkenal di daerah luar. Ada banyak versi tentang asal mula kata Jancuk, salah satu yang paling populer adalah Jancuk berasal dari kata jaran ngencuk, alias kuda yang sedang berhubungan badan.

Jancuk sering digunakan waktu marah dan diartikan selaku kata “brengsek”, “sialan”, “ngehe” dan sejenisnya. Namun sejatinya, kata jancuk mempunyai arti lebih dari itu.

Kata jancuk bisa mempunyai arti seperti “what” di kalimat “What a wonderful world” atau “What a handsome boy”. Arek Surabaya sering menggunakan ini ketika melihat gadis cantik, “Jancuk, ayune rek, mboke nyidam opo?!”

Bagi orang Jawa kebanyakan, kata Jancuk itu termasuk kata yang cukup tabu dan kasar untuk diucapkan karena memang punya konotasi yang negatif. Namun, penduduk Surabaya, Gresik, Malang, dan sebagian daerah Jawa Timur justru menggunakan kata tersebut sebagai identitas komunitas mereka, sehingga kata “Jancuk” kemudian memiliki perubahan makna ameliorasi (perubahan makna ke arah positif).

Saya jadi teringat cerita ketika teman-teman saya asal Surabaya kuliah ke Yogyakarta. Setiap kali mereka di warung makan, Ibu pedagang nasi selalu memasang wajah takut atau mungkin was-was saat mendengar percakapan mereka.

“Cuk, koen athe mangan opo?” tanya salah satu teman dengan logat Surabaya.

“Podo ae, cuk. Melok,”

Ibu penjual nasi ini mungkin khawatir bakal terjadi perkelahian di warungnya. Padahal pertanyaan itu bila diartikan berbunyi, “Bro, mau makan apa?”

Nah, jika diaplikasikan pada “perseteruan” Risma-Ahok, kata jancuk ini bisa digunakan Risma untuk menegur Ahok. “Cuk, lek athe ngomong dipikir disik,”

Tembelek kingkong

Tembelek artinya tahi. Bayangkan melihat tahi kingkong, bau dan ukurannya. Penggunaan idiom tembelek kingkong ini tak mutlak digunakan, bisa digantikan jenis binatang lain. Orang Surabaya sering menggantinya dengan tembelek gajah, tembelek sapi, asal binatang yang mempunyai ukuran badan dan tai yang besar.

Bila Ahok sering menggunakan kata “taik” untuk mengumpat, Risma bisa memakai tembelek kingkong atau tembelek gajah. Ukuran tai binatang jelas lebih besar dan menjijikkan daripada kotoran manusia.

Bisa dibilang, “taik”-nya Ahok itu nggak ada setaik-taiknya “tembelek”-nya Risma…

Makmu kiper

Makmu kiper, artinya ibumu penjaga gawang. Di permainan anak-anak kampung Surabaya, biasanya penjaga gawang dipilih karena tak ahli menggocek bola. Kiper kerap ditempati anak-anak kecil yang tak punya kemampuan tapi ingin ikut bermain. Kalau ibumu dianggap kiper, artinya dianggap tak capable mengelola sesuatu.

Makmu kiper ini bisa digunakan untuk melawan Ahok saat sang petahana berkata “Pemahaman nenek lu”. Karena sama-sama menyangkut harkat dan martabat keluarga, perlu dibela sepenuh harga diri.

Dengkulmu sempal

Saya tak bisa membayangkan bagaimana rasanya mempunyai dengkul yang tak presisi, alias sempal. Idiom “dengkulmu sempal” itu setara dengan “otakmu dipakai tidak”, “matamu ditaruh mana”, dan lain sebagainya. Penggunaan di Surabaya bisa diganti dengan kata lain asal melibatkan anggota tubuh. Bentuknya seperti “matamu suwek”, “untumu njepat”. Jujur saya sendiri juga bingung mengartikan idiom-idiom ini ke dalam Bahasa Indonesia. Bagaimana bentuk mata yang sobek atau gigi yang melenting ke atas?

Risma bisa menggunakan ini ketika Ahok lagi-lagi dianggap meremehkannya Kota Surabaya. “Dengkulmu sempal, Hok, masak Surabaya dianggap kota kecil.”***

Tulisan ini pernah dimuat di Mojok.co tertanggal 13 Agustus 2016

Tips Punya Rumah Bagi Pasangan yang Baru Menikah

Masalah para jomblo tak akan selesai setelah menikah. Benar, ratusan problematika bermunculan dalam rumah tangga. Salah satunya mau tinggal di mana, ngontrak, beli rumah, atau tinggal di pondok mertua indah. Perkara rumah adalah perkara yang umum bagi pasangan yang baru saja menikah, tentu selain perkara momongan alias anak.


Pertanyaan soal anak, biasanya langsung membuat saya mengkeret tinggal beberapa centi di pojokan. Tapi kalau soal rumah, setidaknya masih bisa bernafas lega. Sebagai pasangan muda tapi tidak berbahaya, saya dan suami, di usia pernikahan kurang setahun sudah punya rumah mungil meski nyicilnya hampir separuh orde baru. Mandiri, tanpa sumbangan orang tua dan mertua, bukan hasil saweran nikahan. Pastinya juga bukan hasil jalean alias amplopan wartawan. Sorry ya, bro, itu haram bagi kami. Prinsip!

Sebagai pasangan muda yang baru saja menikah, entah mengapa, saya kok ya merasa punya beban moral untuk sekadar berbagai tips kepada pasangan muda lainya untuk bisa punya rumah sendiri.

Nah, berikut ini adalah tips punya rumah (meski tak mewah) untuk pasangan muda yang baru menikah.

Pertama, Tentukan Skala Prioritas

Nasehat yang sangat klise tapi manjur. Coba hitung pakai kalkulator, berapa gaji kita? Idealnya, kebutuhan cicilan maksimal adalah sepertiga gaji gabungan. Kalau mau ambil rumah, artinya cicilan KPR tak boleh lebih dari itu. Pentingnya menentukan skala prioritas, kalau pengen rumah tak usah melirik-lirik kebutuhan yang lain.

Seorang teman punya gaji di atas sepuluh juta setiap bulan, belum terhitung lembur. Dengan gaji sebesar itu mestinya sudah bisa menyicil rumah tanpa menggabung penghasilan pasangan. Nyatanya, dia selalu mengeluh keinginnanya punya rumah. Pantas saja, penghasilannya habis untuk nyicil mobil dan sewa apartemen di bilangan Kuningan, Jakarta. Iya Kuningan, salah satu lokasi paling ngehits di Jakarta yang sewa kamar sempit saja bisa habis Rp 2 juta per bulan. Ini kisah nyata lho.

Kedua, Tegas dan Teliti

Dua hal ini perlu, tak sekadar memilih pacar atau pasangan, tetapi juga untuk memilih rumah. Istilahnya ya, rumah itu seperti jodoh. Pastikan ingin rumah pertama yang seperti apa, lokasinya, harganya, lingkungannya, lantas cari yang sesuai. Teliti sebelum membeli.

Bila semua sudah memenuhi kriteria, tunggu apa lagi? Jangan menunda-nunda. Berbeda dengan tingkat kerupawanan kita yang selalu menurun tiap tahun, harga rumah selalu naik dan kian mencekik. Belum tentu tabungan kita saat ini mencukupi uang muka tahun depan.

Ketiga, Lokasi Menentukan Prestasi

Harga rumah tengah kota jelas lebih mahal dibanding pinggiran. Tak masalah memilih di pinggir kalau isi kantong hanya cukup segitu. Asal, akses transportasi mudah, dekat stasiun kereta atau terminal. Lokasi jin buang anak bisa menjadi pilihan. Para jin bakal tergusur kalau perumahan manusia menjamur. Siapa tahu beruntung, rumah yang kita beli harganya melonjak seiring adanya pembangunan.

Seorang kerabat membeli rumah di lokasi jin buang anak, bilangan Cinere, tahun 2011. Awalnya membeli dengan harga Rp 500 juta untuk dua lantai. Sejauh mata memandang, hanya pohon bambu di kanan kiri halaman. Seiring perkembangan zaman, harganya melonjak menjadi Rp 3,5 miliar karena gerbang kompleks tepat berada dekat pintu tol Depok-Antasari.

Percayalah, Dengan tekad dan riset yang cermat. Kavling dan tanah selalu punya takdirnya masing-masing.

Keempat, Nikmatnya Uang Halal

Cari uang yang halal dan jujur, biar hidupnya barokah. Serius, bukan bercanda. Tuhan itu sering lucu, sering kasih kejutan kalau kita berbuat baik. Tips ini bukan seperti cara ustadz yang bilang kalau ingin cepat kaya harus banyak sedekah. Ada samanya, sih, tapi tidak persis-persis banget, semuanya tergantung niat.

Sebenarnya rasional, ketika bekerja dengan giat dan jujur, akan banyak orang yang percaya. Niscaya, akan semakin banyak order dan sumber pemasukan.

Kelima, Pasrah

Ini bagi yang sudah tak bisa berbuat apa-apa. Gaji cuma dibawah UMR, cari sabetan kanan kiri ga dapat. Apalagi solusinya selain pasrah seraya berdoa, “Ya Tuhan, kapan saya punya rumah?”

Tuhan pasti tahu yang terbaik. Jangan-jangan tak bisa beli rumah karena memang disuruh menemani orang tua. Belum boleh beli rumah, siapa tahu sebentar lagi dapat undian atau warisan.

Pada akhirnya, punya rumah adalah seperti sebuah pernikahan. Memilikinya belum tentu membuat bahagia. Begitulah pledoi jomblo dan tuna wisma dalam menghibur diri. Dan tak ada salahnya kita mencoba menghibur diri kita dengan penghiburan yang sama dengan mereka***

Tulisan ini pernah dimuat di Mojok.co tanggal 4 Agustus 2016

Jelita Mengalahkan Jelata

Perempuan cantik memang selalu lebih menarik. Begitu juga cerita putri cantik Wakil Ketua DPR Fadli Zon, Shafa Sabila Fadli. Ia membuat gempar jagad maya setelah bocornya surat berkop Sekretariat Jenderal DPR berisi permintaan fasilitas untuknya. 


Isi surat tersebut adalah meminta KBRI Washington DC memfasilitasi kunjungan Shafa di New York. KBRI juga diminta koordinasi sama KJRI agar memberikan “penjemputan dan pendampingan” untuk Shafa. Entahlah, penjemputan dan pendampingan apa yang dimaksud. Bahasa birokrasi memang punya banyak sayap.

Kabar ini sontak menimbulkan keramaian. Sindiran, sumpah serapah, bertebaran mulai dari media sosial hingga obrolan ala warung kopi. Namanya orang Indonesia. Ngobrol ngalor-ngidul, ujung-ujungnya masalah yang lain-lain. Mulai dari foto seksi Shafa Fadli Zon, sampai meme yang membandingkan antara anak Fadli Zon dan anaknya Jokowi, Gibran Rakabuming.

Soal baju seksi, sebenarnya terserah Shafa juga pakai baju apa, meski ujung-ujungnya, bapaknya yang bakal kena. Ihwal meme Mas Gibran, rasanya ya kurang tepat. Gibran kos di Singapura sebelum jadi anaknya presiden. Mungkin sebaiknya gambar meme diganti Kaesang yang saat ini ngekos di kamar biasa-biasa saja meski anak presiden.

But anyway, saya nulis tidak untuk komentar soal bajunya Shafa atau memenya Gibran. Saya cuma heran, orang Indonesia kok begitu latah dan mudah sekali dialihkan perhatiannya. Satu orang bicara tentang A, yang lain ngikut. Topik berganti tentang B, yang lain juga ngikut, padahal ada bahasan yang lebih penting.

Misalnya sama-sama tentang surat, ada lho surat yang lebih urgent kita bicarakan daripada suratnya Setjend DPR RI. Apa itu? Salah satunya surat jaminan Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, Nusron Wahid untuk Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Gus Nusron pasang badan agar Ralina (baca Ralino) bisa pulang dan berlebaran bersama keluarga. Ralina ini ABK korban kecelakaan kerja di Taiwan. Dia harus dioperasi ganti dan sambung saluran pencernaan dari tenggorokan hingga usus karena rusak parah.

Namun masalahnya bukan itu. Ralina dua kali operasi dan sudah selesai perawatan sejak tiga pekan yang lalu. Dia tertahan di RSCM karena PT yang memberangkatkan tidak mau bertanggung jawab dan klaim asuransi juga limit. Tagihan di RSCM Rp 106 juta, BNP2TKI bayar Rp 50 juta, asuransi Rp 10 juta, sisanya sedang diupayakan sama Migrant Care dan BNP2TKI.

Lah, selama ini kita di mana? Sudah tiga pekan Ralina ketahan tapi kita sibuk ngurusin yang lain. Kalau Mbak Anis Hidayah, Direktur Eksekutif Migrant Care, tak pasang foto surat di facebook, pasti saya sendiri juga tidak tahu. Berita di media massa soal Ralina juga relatif sepi. Mungkin yang jelata kurang menarik bila dibandingkan yang jelita. Coba kita ikut ngobrol soal Ralina dan suratnya Gus Nusron di facebook, siapa tahu ada dermawan-dermawan yang mau nyumbang, media-media itu juga mau meliput.

Tapi sejatinya, kabar jelita mengalahkan jelata ini tak cuma kali ini saja. Banyak perbandingan serupa di waktu lalu. Misalnya tahun 2009, model cantik Manohara Odelia Pinot kabarnya disiksa dan disekap suaminya, Pangeran Kelantan Malaysia. Kasus ini lantas menjadi ramai di pemberitaan tanah air, jauh lebih ramai dibandingkan kasus-kasus mbak-mbak jelata yang disiksa saat bekerja di Malaysia.

Padahal di waktu yang berdekatan, mbak TKW yang bernama Siti Hajar disiksa majikannya sampai luka parah. Michele, majikan Hajar, menyiram dengan air panas, menyiksa dengan martil dan gunting hingga menyebabkan cacat permanen. Meski kisah Manohara ikut mendongkrak kasus Siti Hajar, tapi rasanya obrolan di media sosial lebih banyak membahas perempuan yang pertama ketimbang yang kedua. Penyebabnya sekali lagi, Siti Hajar tak sejelita Manohara. Atau kalau mau dibalik, Manohara tak sejelata Siti Hajar.

Mengutip perkataan Hatta Rajasa, itulah bedanya jelita dan jelata.***

Tulisan ini pernah dimuat di Mojok.co tanggal 1 Juli 2016

Suber gambar: Tubgit

Monday, June 27, 2016

Mukena yang Tak Pernah Terbeli untuk Diri Sendiri *)

Biasanya berwarna putih. Mayoritas muslimat Indonesia menggunakannya sewaktu beribadah. Ada yang menjelujur dari atas ke bawah. Ada juga yang terdiri dari dua bagian, atas dan bawah. Hanya seraut muka yang ditampakkan bermeter-meter jahitan kain ini. Bordiran, sulaman pita, lukisan tangan, atau bunga-bunga cetak printing menambah cantik penampilannya. Ya, dialah mukena.

Mukena dipakai setiap hari. Namun, ramai dibeli menjelang Bulan Ramadhan dan Idul Fitri. Mayoritas muslimat pernah membelinya, tetapi tidak bagi saya. Dari kecil  sampai detik ini, saya tak pernah membeli mukena untuk diri sendiri, selalu hadiah dari kerabat atau teman.

Mukena pertama, saya peroleh sewaktu balita. Ibu menjahit sendiri. Bentuknya sederhana. Hanya dari sehelai kain putih dengan ujung bawah dan bagian kepala diberi renda. Hanya atasan saja, tetapi panjangnya sampai menyapu lantai.

Beranjak Kelas 3 Sekolah Dasar, mukena itu tak mampu menutupi semua kaki. Tubuh kian memanjang, akhirnya ibu membuat bawahan dari kain sarung bekas kakak laki-laki. Warnanya hijau daun, dengan motif batik di atasnya. Mukena putih dan sarung hijau saya pakai hingga awal SMP.

Menginjak SMP, sepupu menghadiahkan sebuah mukena menjelang hari raya. Warnanya putih, seluruh atasan dan bawahan dilapisi brokat putih dan dihiasi renda serta pita. Biasanya, saya menggunakan mukena ini saat bepergian . Sedangkan di rumah, selalu berbagi dengan mukena ibu. Hingga sekarang, masih saya pakai di rumah orang tua.

Mukena cantik ini menjadi perlengkapan sehari-hari sampai kuliah. Dia memperoleh teman pengganti untuk bepergian ketika 6 Oktober 2007. Saya ingat sekali tanggal itu, karena birthday surprise dari senior-senior di GMNI Fisip Unair berujung sekotak kado berisi mukena. Tak dilupakan, setelah dini hari sampai subuh dikerjain, mulai amukan sampai godaan membawa emosi, hingga guyuran air kembang menjelang sahur.

Kado dari mas-mas dan mbak-mbak ketemu besar saya pakai dan bawa sampai ke Jakarta. Bentuk mukena berbahan parasut tapi bukan seperti biasa. Kain parasutnya sangat lembut dan ringan dibanding yang dijual di pasar-pasar. Dihiasai sulaman benang berwarna merah muda berbentuk bunga.

Mukena ini sudah saya bawa ke mana-mana. Tak hanya di Jakarta, tetapi di pelosok Indonesia ketika meliput pelbagai berita. Sedihnya, mukena ini hilang tertukar ketika dilaundry. Berganti mukena butut dengan karet pinggang yang sudah melar. Kecewa ke jasa laundry percuma, mukena hadiah tak pernah kembali. Peristiwa ini terjadi di tahun 2013.

Sedih kehilangan mukena yang penuh dengan cerita menyenangkan, saya akhirnya memosting di media sosial. Hingga seorang Humas Kementerian Tenaga Kerja   menghubungi. Dia bercerita, istrinya bagi-bagi mukena menjelang puasa, apakah saya mau menerima? Ya, dengan senang hati saya terima.

Esoknya, saya ke Kementerian Tenaga Kerja dengan membawa buku anak-anak. Rasanya kurang afdhol menerima tanpa memberi. Akhinya, saya mempunyai mukena bali untuk kali pertama. Motifnya, bunga anggrek unggu yang menyebar di kain atasan dan bawahan.

Tak diduga, seorang Tenaga Ahli Legislator RI juga memberi mukena. Rupa mukena itu, bawahannya batik berwarna coklat dengan atasan kain putih direndai kain batik senada. Praktis, mukena bali dan mukena batik saya gunakan pergantian hingga sekarang.

Mukena selanjutnya, saya peroleh dari suami. Masih berwarna putih, mukena bali dengan motif yang dilukis tangan. Sampai sekarang, mukena mas kawin pernikahan ini belum pernah saya pakai.

Mukena yang saya pakai keluar rumah malah berasal dari saudara suami sebagai kado pernikahan. Berbahan katun dengan motif batik kawung coklat untuk bawahan, sementara atasan putih direndai batik yang sama. Mukena batik ini, Insya Allah akan saya gunakan salat Idul Fitri 2016.

Apakah tahun depan saya akan membeli mukena untuk diri sendiri? Entahlah, saya tidak tahu. Masih ada dua mukena yang belum pernah saya pakai selain pemberian suami. Dua mukena itu pemberian dari Ibu Mertua. Mukena pertama berbentuk lurusan, model kesukaan almarhum ibu kandung dan ibu mertua. Mukena terusan itu diberikan karena khawatir saya menampakan tangan bagian dalam waktu salat.

Memang tak semua dapat menggunakan mukena dua bagian dengan benar. Tapi tentu saya tahu triknya. Setelah melihat bagaimana salat, Ibu Mertua memberi mukena dua bagian. Benar lho, saya seolah dites apakah cara solat  benar atau salah, sudah tumakninah atau belum, bagaimana posisi sujudnya.  Kekhawatiran beliau tak terbukti. Alhamdulilah tak ada yang perlu dikoreksi.

Justru saya kesulitan memakai mukena terusan karena kepala serasa dijambak ke belakang. Agar kaki tak kelihatan, saya selalu menginjak bagian belakang bawahan kuat-kuat. Jadi bukannya alergi, mukena terusan memang tak cocok untuk saya. Tiga mukena ini mungkin bisa membuat saya tak perlu membeli baru hingga sepuluh tahun.

Bagi saya, mukena pemberian orang itu lebih indah dan tak ternilai dibandingkan yang pernah saya jual atau beli untuk orang lain. Saya percaya, ketika kita membelikan hadiah untuk orang lain, sejatinya hati yang kita beri.

Di jahitan mukena pertama, ada cinta dan kasih dari Ibu saya. Di mukena dari teman-teman, ada perhatian dan sayang dari mereka. Di mukena dari suami, ada tanggung jawab untuk meluruskan urusan ibadah saya. Mukena dari Ibu Mertua, ada perhatian yang mungkin tak didapatkan oleh semua menantu di dunia ini. Dan di sebuah kain yang bernama mukena, ada bahagia yang saya dapatkan.



*) Gambar Mukena Menyusul

Friday, June 24, 2016

Parsel Indomie dan Kreativitas Tiada Henti


Pernah bekerja di Tempo memang menyisakan sejuta kenangan manis, asam, asin.  Saya akui, Tempo sangat memahami pekerjanya ketika saat Bulan Puasa dan Lebaran.  Di luar nasi kotak rutin, jajanan pasar dan kolak/dawet/es buah/biji salak selalu tersaji di meja redaksi selama puasa. Tak hanya itu, THR diberi di pekan pertama bulan Ramadhan plus ditambah hammpers alias parsel.

Saya ingat, parsel yang diberi Tempo setiap tahun mirip, dan cenderung sama. Isinya satu kaleng Wafer Tango, sebotol sirup, dan Indomie satu kardus. Sebotol sirup warna merah yang saya lupa mereknya itu selalu saya hibahkan ke orang. Bukan karena baik, tapi saya kurang suka dengan segala yang namanya sirup kecuali Nutrisari.

Ngomong-ngomong tentang Indomie satu kardus, saya akui ini ransum berguna selama puasa (dan sisanya untuk hari biasa). Satu kardus isi 40 bungkus. Saya jarang berbagi dengan teman kos, lhawong banyak orang Tempo. Indomie satu kardus yang diterima semua karyawan Tempo mempunyai rasa yang sama. Alih-alih berbagi, mungkin kami akan saling lempar.

Saya bersyukur mendapatkan Indomie satu kardus, tapi sekaligus pusing. Bagaimana caranya agar saya tidak lekas bosan dengan 40 bungkus Indomie dengan rasa yang sama? Sedikit keberuntungan kalau Indomie yang diterima rasa ayam bawang. Jenis ini mempunyai rasa yang cenderung plain dan cocok dengan tambahan apa saja.

Di bawah ini berbagai bahan yang bisa ditambahkan dengan semangkuk Indomie rasa ayam bawang:

1. Bon Cabe di Dalam Mie
Penyuka pedas bisa menggunakan campuran ini. Lebih nikmat bila ditambah dengan sayuran dan lauk lain. Caranya, cukup taburkan saja di semangkok Indomie anda.

2. Mie rebus ala kantin kampus
Nah, cara ini lazim digunakan di warung-warung. Saya pertama kali menjumpai metode ini di Bu Dalno, pemilik kantin FISIP Unair. Caranya, mie direbus dengan campuran sawi dan ceplokan telur. Rasa telur yang bercampur dengan kuah  menambah cita rasa.

3. Mie rebus jadi mie goreng
Cukup separuh saja. Setelah direbus, masukkan dalam penggorengan dengan sedikit minyak lalu tumis. Campur dan masukkan bumbu-bumbu bawaan dan kecap manis. Jangan menggunakan bumbu bubuk seluruhnya karena rasanya akan sangat tajam.

4. Omelet mie
Di daerah lain, cara memasak jenis ini disebut dengan pizza mie atau martabak mie. Caranya rebus mie, tiriskan. Campurkan dengn telur, aduk, lalu goreng. Tambahan seperti daun bawang, bawang bombay, cabe, atau jenis lain, bisa digunakan sesuai selera.


5. Mie Nyemek Bumbu Telur Asing
Jujur, penampilannya akan sedikit kemproh. Cara memasak seperti biasa, hanya saja airnya dikurangi setelah matang. Kemudian telur asin dicacah kasar, campurkan ke dalam mie, dan aduk. Hmmm, yummy.

6. Makan sebagai Nasi
Masak seperti biasa kemudian tinggal ditambah dengan lauk yang kita beli. Ayam goreng tepung di Pasar Kebayoran waktu itu masih Rp 5000. Jadi masih terhitung murah, khan?

7. Indomie Bakso
Cukup campurkan bakso saat merebus Indomie. Tambahan lain juga berlaku untuk kornet, sosis, dan lain-lain.

Resep di atas hanya berlaku untuk Indomie rasa ayam bawang. Saya tidak menjamin kelezatannya bila diterapkan di rasa yang lain. Apalagi "rasa yang pernah ada", "rasa yang telah terlupa", bahkan "rasakan pembalasanku".

Kini, setelah hampir dua tahun lulus dari Tempo, saya kembali merindukan parsel Indomie satu kardus. Tentu saja, juga rindu dengan kreatifitas saya.

Friday, June 17, 2016

Sundari, Jangan Rendah Diri



Bapak telah pulang dari Kantor Dinas Kependudukan Kota Kediri seusai mendaftarkan kelahiran putrinya.

Sesampai di rumah, belum selesai melepas semua kancing baju, Ibu bertanya, "Bapak kasih nama apa?"

"Sundari," jawab Bapak.

"Oalah Pak, kok ga pakai nama yang aku usulkan," Ibu geram.

"Simbok yang nyuruh," kilah Bapak.

"Kasihan, anak lahir di tahun 80-an tapi kok dikasih nama tahun 60-an," sesal Ibu. Nama anak pertamanya, ia

juga harus mengalah dengan mertua. Sekarang anak kedua, Ibu juga tak kuasa.

Ibu khawatir, nama yang terlampau singkat dan klasik, kalau tak boleh dikata kuno, akan membuat putrinya

rendah diri. Padahal dia sudah menyiapkan sebuah nama. Terdiri dari tiga suku kata. Biarlah dia akan

menceritakan kepada  Ndari saat protes nanti.

Iya, Sundari. Ini kisah nama saya. Awalnya tak pernah minder, namun tanggapan orang mengenai nama Sundari membuat hati saya jatuh ke bawah. Akhirnya, protes terselubung kepada Ibu. Berceritalah tentang orang-orang memandang nama saya.

Salah satunya, respon guru Bahasa Indonesia kelas 1 SMA. Guru yang juga mahir Bahasa Jerman itu spontan mengatakan nama saya terlalu jadul. "Saya tidak akan pernah memberi nama anak dengan nama yang tak sesuai tahun kelahirannya. Anak saya lahir tahun 90-an, masak saya kasih yang tahun 80-an, apalagi 70-an," ujarnya.

Saya langsung mencelos, tak bisa berkata, hanya memandang anting-anting panjang guru Bahasa Indonesia yang berayun saat bicara. Itu pertama kali saya malu dengan nama Sundari. Sebelumnya, saya sandang dengan percaya diri.

Menginjak kuliah, ada di suatu titik periode yang terlihat cantik dibandingkan masa yang lain. Mengikuti banyak organisasi dan aktivitas, berujuang memiliki teman lintas universitas dan kota bahkan provinsi. "Cantik-cantik kok namanya Sundari," kata seorang teman baru. Saya kembali tersentak.

Belum lagi ketika menyebut nama, olok-olok kembali mendera. "Sun... Sun... Sun dong...," gurauan mereka. Saya tertawa, mungkin maksud teman-teman hanya bercanda. Tapi jujur, saya merasa dilecehkan. Apalagi saat yang mengucapkan seperti itu adalah lawan jenis.

Semua cerita itu saya ulang ke ibu saya. Tak tahu yang berkecamuk di pikirannya, Ibu meminta maaf karena tak pernah bisa membela putri tunggalnya saat penentuan nama. Ibu menuturkan sejarah dan sebuah nama yang pernah dia buat. Tiga suku kata, kata terakhir persis panggilan saya "Ndari".

Kisah ibu melegakan tapi tak menyembuhkan. Hingga suatu titik saya memilih mengambil sudut pandang lain. Nama Sundari bukanlah suatu yang buruk. Mempunyai nama Sundari membuat saya mudah dikenal dan diingat orang. Ini penting menyangkut kiprah saya ke depannya nanti.

Nama Sundari, minim membuat kesalahan nama. Mungkin, nama mempunyai andil kesuksesan ikut pelbagai ujian masuk.

Ternyata saya juga tak sendiri. Seorang teman, dengan letting setahun di bawah juga pernah mengeluh. "Aku juga pernah digituin, Mbak, masak cantik-cantik namanya Endang." Memang dia cantik dan menggemaskan sih, beda dengan saya.

Namun setidaknya, perasaan senasib akhirnya saling menguatkan. Saya tak sendirian. Tak jadi soal siapapun namamu, terpenting adalah baktimu. Jangan biarkan pandangan orang menyakitimu. Andalah yang menentukan kadar kebahagiaan.


Suatu ketika, seorang senior berbagi foto di WA. Gambar sebuah jalan setapak di tengah hutan dengan kerlip cahaya. Indah,  Sundari adalah bahasa sansekerta dari cantik. Dan, saya pun tersenyum. Terimakasih.

Sumber Gambar: blog.8.share.com