Wednesday, August 1, 2018

#sahabatkeluarga : Pendidikan Literasi Media dari Rumah



Membaca artikel berjudul " Mempersiapkan Generasi yang Cerdas Digital"  di laman resmi Sahabat Keluarga Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/laman/index.php?r=tpost/xview&id=4899) membuat saya terinspirasi bahwa pendidikan literasi media sangatlah penting untuk anak-anak di masa kini. Adanya teknologi komunikasi memudahkan orang mengakses internet dan mendapatkan informasi dari dunia maya. Tak hanya orang dewasa, anak-anak dan remaja leluasa berselancar dan bertemu di ranah online yang acap kali tanpa pantauan orang tua. Inilah yang menjadi tantangan kekinian dalam hal mendidik dan mengajar anak-anak di era milenial dan serba digital seperti sekarang.

Dilansir dari penelitian Kaspersky Lab dan B2b International, satu dari 10 anak atau 12 persen anak di bawah umur 18 tahun mengalami kecanduan internet. Masih dari sumber yang sama, 44 persen anak-anak menghadapi paling sedikit satu ancaman saat sedang online. Satu dari sepuluh anak pernah mengakses konten yang berbahaya dan tak sesuai umur.


Konten yang beredar di dunia maya beragam dan patut diwaspadai. Tak hanya yang berbau pornografi dan kekerasan, isu hoax dan ujaran kebencian terhadap kelompok lain yang berbeda juga mudah menyebar.


Karena itulah, langkah yang mesti diambil orang tua agar anak tidak terpapar hal buruk di dunia maya adalah edukasi. Salah satunya dengan literasi media atau cara mengonsumsi media dengan cerdas. Pendidikan literasi media tentunya bertujuan memastikan anak-anak siap berinternet secara bertanggungjawab.


Menurut James W. Potter (2005), literasi media bisa menjadi semacam perangkat perspektif di mana khalayak bisa aktif memberdayakan diri sendiri dalam menafsirkan pesan-pesan yang diterima dan bagaimana mengantisipasinya. Literasi media sering diartikan sebagai cara cerdas mengonsumsi media, baik media sosial maupun media mainstream. Masyarakat diajak untuk dapat memahami bahwa informasi yang diterimanya bukanlah kebenaran yang bulat.


Sejatinya, literasi media merupakan pendekatan pendidikan yang tepat di abad 21 ini melihat adanya kemudahan mendapatkan informasi dari pelbagai bentuk media. Literasi media menyediakan kerangkan kerja untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan berpartisipasi dengan pesan yang disampaikan melaui media massa. Literasi media membangun pemahaman tentang kerja media dan pengaruh media di masyarakat. Artinya, liretasi media membuat masyarakat lebih melek media.


Dengan pendidikan literasi, anak-anak diajari cara mengonsumsi media massa dan berselancar di dunia maya yang benar. Tak hanya sekadar didampingi saat mengakses internet tetapi pendidikan literasi mengajarkan anak memilah memilih kabar secara tepat dan sebaliknya tak gampang membocorkan informasi pribadi di media sosial. Tentu saja, pendidikan literasi media membutuhkan peran kolektif orang
  tua dan guru sebagai pengawas dan role model sehari-hari.


Orang Tua Tak Selalu Tau


Orang tua pasti sudah mahfum bahwa informasi yang ada di internet tak selalu tepat. Namun masih sedikit orang tua yang paham bagaimana cara memilih media yang benar. Orang
 cenderung memilih media yang mempunyai informasi yang  dia sukai, bukan media yang terakreditasi dan sesuai etik. Mereka berkilah media yang tak menulis sesuai keinginanya itu tidak netral dan memuat berita untuk melayani pemilik atau bahkan penguasa.

Data Dewan Pers tahun 2017 mencatatkan, ada 43.300 media  online di Indonesia saat ini namun kurang dari satu persen  yang dinyatakan terverifikasi. Media online yang tak terverifikasi sering kali menghasilkan produk yang tak memenuhi kode etik jurnalistik. Media ini menyajikan informasi sensasional untuk menarik pembaca. Judul yang click bait (jebakan klik) tanpa disertai isi yang sesuai. Berita itu kemudian disebarkan melalui media sosial dan menjadi perdebatan di ranah publik. Alih-alih memberikan pencerahan, banyak orang yang percaya informasi palsu atau hoax kemudian berujung pada ujaran kebencian terhadap kelompok lain.


Lantas bagaimana mungkin orang tua mampu mengajarkan pendidikan literasi kepada buah hatinya bila dia sendiri tak tahu cara mengonsumsi yang tepat?


Berbicara mengenai literasi media, ada seperangkat alat yang bisa digunakan untuk menilai baik buruknya sebuah berita. Bila informasi itu berasal dari televisi, regulasinya ialah Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran milik Komisi Penyiaran Indonesia. Sedangkan jika informasi itu berasal dari media massa, standarnya mengacu pada aturan Dewan Pers, UU Pers, dan kode etik jurnalistik. 


Masyarakat perlu mencerna informasi berdasarkan regulasi-regulasi yang telah ada. Apakah berita itu berasal dari media yang terpercaya? Apakah si jurnalis turun langsung ke sumber berita atau mengutip dari media lain? Tentu saja tak ada media yang benar-benar independen, tapi apakah media tersebut sudah menerapkan
cover both side, menampilkan pendapat kedua belah pihak yang bertentangan?

Bagaimana bila informasi tersebut menyebar dari individu-individu di media sosial? Tentu saja proses menelaah membutuhkan waktu tak singkat. Netizen perlu menggali lebih lanjut apakah penulis merupakan sumber utama atau hanya sekadar penyebar saja. Hindari akun tak jelas identitasnya. Jika pun itu mengaku korban atau saksi kejadian langsung, ketahui keterangan dari pihak yang berseberangan sebelum menyebarkan ke media sosial. Dengan demikian, kita mendapatkan informasi dari dua sisi.


Kepakaran juga perlu diperhatikan. Misalnya saat membicarakan perang saudara di Suriah, pakar resolusi konflik atau hubungan internasional tentu lebih patut didengar daripada seorang dokter yang merupakan selebtwit atau selebgram dengan jumlah follower bejibun. Orang tua yang peduli dengan pencarian informasi seperti ini tentu lebih mudah mengajari anak tentang bagaimana mengonsumsi media yang tepat.



Kurikulum Pendidikan Berbasis Literasi Media


Sejatinya, wacana tentang pendidikan literasi media bukanlah barang baru. Banyak pakar komunikasi yang telah membahas mengenai pendidikan literasi media namun tak berhasil membumi di kalangan masyarakat luas. Ide tentang pendidikan literasi media hanya sebatas diskusi kelompok akademisi belum berhasil dikampanyekan melalui media yang bisa menjangkau di akar rumput. Berharap pada media massa konvensional tentu sulit karena akan mengubah kebiasaan mereka memproduksi berita dan informasi.


Solusinya adalah memaksakan pendidikan literasi media melalui kurikulum sekolah sehingga dapat diterima anak didik secara formal. Upaya ini tak serta merta berhasil dalam waktu singkat, butuh waktu agar khalayak mampu mengonsumsi media secara kritis dan bijak. Publik di negara maju sudah paham dengan literasi media karena telah diajarkan sejak puluhan tahun sebelumnya.
  Eropa sudah mengajarkan literasi media sejak tahun 1930-an. Sementara warga Amerika mulai belajar  pada tahun 1970-an.

Kerja kolektif antara contoh sehari-hari orang tua di rumah dan kurikulum formal yang dipandu guru di sekolah menjadi solusi terbaik mengajarkan pendidikan literasi media kepada anak. Sejalan dengan yang disampaikan Ki Hajar Dewantara “Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah.”


#SahabatKeluarga #MediaLiterasi


Sunday, July 29, 2018

Ulasan Makanan: Martabak Arang Aphin di Bogor, enak sih tapi...

(Warning: mengandung curhatan) 


Sebagai tim martabak manis (terang bulan), kurang lengkap rasanya mencoba martabak-manis yang tersohor di Bogor. Awal bulan lalu, kami sudah mencoba martabak manis Air Mancur dan rasanya enak tak kemanisan meski kejunya porsi cukup. Adonanya lembut dengan harum aroma minyak samin. 

Karena suami tim martabak telur, besoknya langsung beli dan rasanya gurih dan dagingnya empuk meski tak setebal martabak telur Orins. Baiklah, tapi ini tak kalah lezat dan tetap cocok jadi lauk nasi. 

Sebelum mengulas martabak Aphin, mau disclaimer dulu bahwa aku mencoba seobjektif mungkin terlepas kejadian tak mengenakkan di gerainya. Sebagai contoh, meski cebong, aku kurang cocok dengan Markobar-nya Gibran Rakabuming. 

Markobar punya topping yang terlalu manis padahal hidupku kan sudah manis. Jadi buat apa makanan yang terlalu manis?!

Nah martabak Aphin ini sebenarnya opsi kedua karena martabak Encek Suryakencana belum buka dan kami mesti segera bergegas dengan urusan lain. Padahal sejak berbulan-bulan lalu, kami luar biasa penasaran ketika melihat antrian rombong martabak di pojokan yang begitu mengular. 

Berbeda dengan biasanya, Martabak Encek menggunakan arang sebagai bahan bakar.  Kemarin (28 Juli 2018), kami berencana membeli Martabak Encek. Sampai sana sekitar pukul 12.00 siang dan ternyata baru buka 14.00. Mau belanja bulanan dulu tapi takut kehabisan. 

Opsi lain martabak yang menggunakan arang adalah Martabak Aphin. Martabak Encek dan Martabak Aphin sama-sama berdiri sejak puluhan tahun dan asli Bangka. Melipir lah kami ke sana. Toh jaraknya tidak jauh. 

Sampai gerai Martabak Aphin Jalan Padjajaran sekitar pukul 12.30 dan ternyata belum beroperasi. Tampak pegawai masih bersiap-siap. 

Saat menghampiri gerai, tak ada pegawai yang menyambut. 

"Setengah jam lagi," teriak pegawai dari dalam ruangan. 

Akhirnya kami menunggu di bangku besi bawah pohon depan gerai. Perut sudah keroncongan karena lupa sarapan. Nampaknya perlu bersabar beberapa, semoga penantian tidak mengecewakan. 

Sekitar 15 menit kemudian, seorang ibu datang dan seorang pegawai perempuan menghampiri dan menuliskan pesanannya. Sontak suami langsung berdiri kaget karena yang dilayani terlebih dahulu malah sang pembeli baru. Segera suami menuju pegawai menyebutkan pesanan kami. 

Pegawai lain bergegas menata kursi plastik yang sedari tadi tertumpuk depan kasir. Siapa tahu ibunya mau duduk cantik di situ. Sementara kami, biarlah tetap di bangku besi reot.

"Saya tunggu di mobil saja, nanti dihantar ke sana ya," kata ibu segera berlalu. 

Aku mulai jengkel, kok pembeli baru yang lebih dulu dilayani. 

"Sebenarnya adonan belum siap, tapi ibunya keburu datang," kata suami menenangkan. 

Sepuluh kemudian, pegawai menghantarkan pesananya ibu ke mobil depan gerai. Kami kembali kaget, kok lebih dulu pesanan pembeli baru yang dilayani. Bergegas suami menanyakan pesanan ke pegawai laki-laki yang pertama kali ketemu waktu datang tadi. 

"Sudah pesan belum?" tanyanya sembari berteriak. 

"Sudah, saya juga sudah bayar," jawab suami. 

Sumpah, maksude iku lho opo? Kami sudah menunggu dari jam setengah 12 tadi lho. 

Selang beberapa menit, pesanan kami datang. Kami memesan martabak terang bulan dengan topping separuh keju separuh coklat kacang. Harganya Rp 75.000. Konon lebih mahal daripada Martabak Encek.

"Mbak, lain kali yang datang duluan tolong dilayani lebih dulu ya," kataku. Pegawai itu cuma nyengir kuda, ucapan maaf pun tak ada. 

Fiuh... Semoga rasanya setara dengan harga dan jengkelnya.

Karena Martabak Aphin tidak menyediakan ruang untuk makan di tempat, kami berlalu menuju toko swalayan , langganan belanja bulanan. Panas, lapar, dan rute Jalan Padjajaran-Yasmin Bogor yang macet, rasanya pengen ngamuk. 

"Makan aja dulu," kata suami. 

Gimana mau makan di atas motor? Pinggir jalannya juga ga enak. Sudah langsung saja. 

Sesampainya di L*******t Wholesale, kami langsung makan martabak sembari menunggu makanan datang. Rasanya, enak sih tapi tak ada bedanya dengan martabak biasa, lebih enakan Air Mancur malahan. 

Martabak Aphin ini memang lembut, coklatnya tak terlalu manis, dengan keju yang pas. Beli siang, makan habis magrib dan sudah masuk kulkas juga masih bagus. Cuma kalau dibanding Orins dan Air Mancur masih kalah walau aromanya lebih menggoda Aphin. 

Jadi, balik lagi atau tidak? Tentu saja tidak, selain ada yang lebih cocok di lidah juga tak mau mengulang pengalaman yang sama. Next, nanti mencoba Martabak Encek yang legendaris itu. 

Silakan mencoba ke sana, mungkin pengalaman dan lidahnya kita berbeda.
Foto: Diambil dari Pergikuliner.com, kelupaan foto gerai dan martabaknya 

Monday, May 14, 2018

Silakan Mencaci Tapi Jangan Lupa Membuka Hati #SuroboyoWani



Hari ini, di toilet kantor bilangan Senayan, saya menangis tergugu. Bom Sarinah di Jakarta, peristiwa Mako Brimob pekan lalu, hanya membuat saya marah sekaligus mengutuki para pelaku. Tapi Bom Surabaya ini beda, hati mencelos dan merana luar biasa.

Surabaya, serasa jadi rumah kedua sebenarnya setelah Kediri, bukan Jakarta tempat mencari nafkah. Bukan pula Bogor, di situ kami bertempat.

Alasan mengapa Surabaya selalu di hati sebagian sudah saya tulis di laman facebook. Namun lebih dari sekadar itu, Surabaya mematangkan seorang Ndari dari yang mentah di Kediri menjadi jauh lebih berkarakter. Di Surabaya, saya belajar bahwa atribut itu bukan masalah tapi roh di dalamnya yang lebih penting. Saya berteman dengan banyak orang mulai dari yang ber-rok mini hingga yang hanya terlihat mata saja.

Doesnt matter who you are, your religion, ethnic, tribe, the color of your skin, your gender, what choice you follow,  we're all human beings. Terserah apapun atribut yang disandang, dahulukan manusianya, manusianya. 


Pandangan-pandangan inilah yang membuat saya lolos seleksi keempat Tempo (dari 8 rangkaian seleksi). Waktu itu sang pewawancara, yang akhirnya saya ketahui bernama Mbak Ninil (Widiarsi Agustina)--ternyata kita mempunyai habitat asal yang hampir sama dan kelak dia menjadi salah satu mentor saya--bertanya. "Tanggapanmu tentang kasus penyerangan Ahmadiyah Cikeusik gimana?"

"Secara pribadi, saya tidak sepakat dengan keyakinan umat Ahmadiyah. Namun ketidaksepakatan itu bukan berarti saya setuju dengan kekerasan yang ditimpakan oleh mereka. Bagaimanapun, setiap orang di negeri ini berhak hidup, mendapatkan pekerjaan yang layak, pendidikan, akses kesehatan, dan fasilitas umum lainnya. Jadi saya mengecam tindak kekerasan terhadap umat Ahmadiyah dan berharap pelaku mendapatkan sanksi yang seadil-adilnya."

Jawaban itu berlaku juga untuk LGBT, Syiah, atau bagi kamu "hai mbak/mas yang merasa saya terlalu liberal dan patut dimusuhi. Its okay, itu hakmu." Saya bukan Tuhan yang berhak menghakimi menentukan surga neraka seseorang. Coba saya tidak pernah singgah di Surabaya, mungkin tidak akan belajar apa itu yang namanya toleransi dari orang-orang di sana.

Kisah lain, di Surabaya, saya banyak bertemu dengan orang-orang baru. Senior-senior yang menganggap saya seperti adik mereka sendiri sampai turut campur urusan hati atau pacar. "Opo'o koen, jadian ambek arek iku? Ga onok sing luwih apik tha?" salah seorang senior --sebut saja Xiemen, bukan nama sebenarnya-- yang menanyakan kenapa saya mau pacaran sama adik lettingnya di jurusan. Dan, sepekan kemudian, kami putus. Salah satu faktornya karena pertanyaan itu, faktor lain karena ada yang menurut saya lebih baik.

Teman-teman lain, banyak juga, yang sering mengantar  pulang usai rapat atau cangkruk di Cak Di, mengantarkan ke Bungurasih jam 2 pagi. Sampai sahabat-sahabat (Dkolingkerz, dll) yang menguatkan saya saat ibu meninggal. Bahkan di saat saya tak bisa cerita, mereka selalu punya cara untuk mengoreknya.

Jadi ketika Surabaya dua hari ini dihantam teror bom bertubi-tubi, hati saya yang luluh lantak. Seorang adik letting nyaris menjadi korban bila dia tidak bangun kesiangan dan terlambat pergi ke gereja. Alhamdulilah, tak ada korban dari orang-orang yang saya kenal. Tapi bukan berarti saya bisa bernafas lega.

Korban jiwa melayang dan sejumlah orang luka-luka. Naasnya lagi, teroris itu membawa anak-anak kecil, menyabukkan bom di perut buah hati mereka sendiri. Bagaimana mungkin orang tua setega itu?

Belum tuntas rasa perih, luka ini seolah dikucuri jeruk nipis ketika membaca sejumlah orang mempertanyakan kebenaran teror bom Surabaya.

"Ya Allah, mengapa Islam difitnah lagi," ujarnya

Wait, jengah, tidak ada lho yang memfitnah Islam. Bahkan sejumlah orang berusaha meluruskan bahwa Islam yang benar tidak seperti itu. Seorang Ketum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengutuk peristiwa itu --bila kecaman dari petinggi NU tetap membuatmu bergeming, saya carikan yang lain. Lha kowe iku sopo? Bukankah lebih baik mengampanyekan tafsir Islam yang rahmattan lil alamin, bahwa Islam pembawa kedamaian, Islam yang rahman dan rahim.

Ada lagi seorang teman di facebook yang memasang youtube dengan giringan kalau keluarga pelaku pengeboman itu adalah kafir yang menyaru muslim. Berhubung tidak kenal dekat, seketika saya unfriend.

Bukankah sebelum mengunggah sebaiknya mencari informasi terlebih dahulu. Keluarga ini merupakan mantan 'mujahid' pendukung ISIS yang pulang kampung ke tanah air. Mereka telah mendapatkan pendidikan soal teror dan sistem sel. Jadi masih bilang ini bukan orang Islam meski tafsir soal jihad mereka yang salah. Para WNI alumni ISIS ini jumlahnya ratusan (Baca beritanya di sini: WNI Pendukung Isis). Mestinya ini yang kita waspadai dengan cara merapatkan shaf.

Jadi alih-alih mengutuki kegelapan, bukankah sebaiknya menyalakan lilin. Daripada merasa didholimi bukankah lebih baik menyebarkan Islam yang ramah untuk orang-orang di luar golongan kita, bukan justru sebaliknya.

Pada akhirnya, sayapun tak bisa memaksa orang mempunyai pemikiran yang sama soal ini. Tapi sebelum mencaci, lebih baik kita membuka hati.

#SuroboyoWani

Thursday, April 12, 2018

Kece Sejak Lahir?




Jumat pekan lalu, saya menghadiri pertemuan klub diskusi di bilangan Cikini. Salah seorang senior yang waktu itu belum hadir mengirim pesan, "Ada cicitnya Tirto Adi Suryo yang mau ikut,"

Spontan saya berujar, wah Tirto Adi Suryo, idola saya tuh. Saat itu, di ruangan hanya ada tiga orang, saya dan mbak senior, serta mas-mas yang saya lupa namanya setelah berkenalan. Penyakit ini saya alami juga saat bertemu pertama kali dengan suami, wajah dan nama sama sekali tak ingat.

Mas-mas di ruangan itu  enak banget diajak ngobrol. Informasi yang saya tampung, dia dosen filsafat budaya di UNUSIA. S1 nya di ISIP dan UIN, pernah kuliah juga di Sadra. Sedangkan S2 nya di FIB UI, satu almamater tapi beda fakultas dan tahun masuk keluar. Lulus SMA tahun 2004, setahun di atas saya.

Kami bercerita tentang seteru Filsafat UI dan Filsafat UGM. Dia juga bercerita tentang teman-temannya di Pascasarjana yang tak bisa membedakan mana cultural studies mana studies of cultural. Dan dia mengaku orang cultural studies.

Sebagai orang kontruktivis, ini tentu menarik mempelajari pola pikir orang. Saya sempat berseloroh ketika dia ngobrol dengan mahasiswanya. "Eh di sini ga ada posisi dosen dan mahasiswa ya, sama aja," katanya

"Iya, mas," jawab mahasiswanya.

"Kelihatan ya, mana yang dominan mana yang sub waktu kalian ngobrol," ujar saya.

Menjelang pukul 6 sore, saya pamit menuju kampus. Dalam perjalanan, senior saya japri di WA. "Ndari, itu yang ngobrol sama kamu tadi namanya Okky Tirto, cucunya Tirto Adi Suryo,"

Ya Tuhan, kenapa si masnya bermuka lempeng saat saya antusias bilang kalau ngefans sama Tirto Adi Suryo? Langsung saya jelajahi google untuk mengetahui sepak terjangnya. Selain dosen, ternyata dia aktivis dan mantan wartawan serta pernah melakukan advokasi ke beberapa kelompok. Nama lengkapnya pun ternyata masih terlihat "ndoronya".

Sejatinya, saya tak terlalu berkesan dengan keturunan aristokrat namun saya terkesan dari segi pemikirannya. Dan entah kenapa para orang-orang kece itu kebanyakan terlahir dari keluarga yang kece juga?

Seorang teman di Tempo berhasil menulis berita kriminal tentang kasus pembunuhan Raafi Aga Winasya Benjamin secara lengkap dan utuh mulai dari kronologis detik per detik penusukan sampai siapa sosok Raffi dan pihak yang menusuknya. Padahal waktu itu,  sang teman masih Calon Reporter. Kece bukan. Siapa dia? Ananda Badudu yang ketika ditelusuri ternyata adalah cucunya JS Badudu yang pakar bahasa itu.

Teman kuliah di Unair, waktu di kampus suka bisnis online shop dengan omzet yang lumayan sampai bisa foya-foya. Eh ternyata orang tuanya pebisnis sukses di kotanya.

Fenomena ini bukan satu-dua orang saya temui, tapi banyak banget. Istilahnya buah memang jatuh tak jauh dari pohonnya. Di sini saya percaya adanya faktor genetik yang membuat orang-orang itu kece dari lahir.

Ada satu yang penting, memang ada orang tua yang langsung beri modal nyoh duit nyoh nyoh kayak Bu Dendy tapi bukan berarti ke-kece-an mereka berasal  dari akses orang tua karena itu tak menjamin. Saya banyak menemukan orang tua kece tapi anak-anaknya biasa-biasa saja, malah ada yang underrate.

Kebanyakan kekecean mereka itu diturunkan dari pola pikir. Anak yang dibesarkan di lingkungan yang berpikiran terbuka, melihat orang tua menghasilkan karya baik benda terlihat atau pemikiran pasti akan terbiasa. Si anak belajar kebiasaan orang tuanya ini dari bayi lahir ceprot tanpa mereka sadari.

Misalnya Rain Chudori yang dibesarkan di ibu wartawan senior dan penulis novel pasti biasa dengan kegiatan menulis dan berdiskusi akhirnya dia menjadi penulis. Leila Chudori pun ternyata tak akan seperti sekarang bila bukan keturunan Muhammad Chudori, pendiri Jakarta Post.

Selain lingkungan yang membentuk juga akses. Dia akan terbiasa bertemu dengan teman-teman orang tuanya, yang otomatis teman orang tua menjadi teman mereka juga. Kalau pintar, di sini bisa memanfaatkan jaringan untuk mewujudkan 'mimpi-mimpi' mereka. Bukan KKN lho ya, tapi ini ngomongin trust.

Sisi ga enaknya, anak-anak yang punya orang tua kece adalah banyak orang SKSD biar bisa dikenalin ke orang tuanya. Dia juga harus siap bila orang lain membanding-bandingkan dengan orang tuanya. "Kok ga sekeren bapaknya ya?" Berusaha tidak menjadi bayang-bayang padahal dia tak mendapatkan jaminan bakal berhasil, jatuh bangun juga saat meraih mimpi. Ini curhatan teman yang bapaknya kece, untungnya dia juga kece.

Lantas bagaimana dengan kita yang terlahir bukan dari golongan aristokrat karena keturunan, kekayaan, atau pola pikir? Ya artinya kita harus kerja keras berkali-kali lipat dibandingkan mereka sudah kece dari lahir. Bila yang 'kece dari lahir itu' mengeluarkan usaha 10 untuk sampai titik itu, kita harus lebih dan lebih.

Menulis ini bukan maksud menyesal lahir dari keluarga biasa. Oh tidak, saya bersyukur dilahirkan dari orang tua yang bekerja keras sebagai identitas. Kerja keras dan ikhlas, nerima ing pandum. Tiga pekan yang lalu Bapak kecelakaan waktu nukang. Nadinya kena girindra sampai dibawa ke rumah sakit. Eh sepekan kemudian udah balik nukang lagi.

Saya baru tahu dua pekan setelah kejadian karena memang bapak menolak cerita biar ga kepikiran. "Emang duit pensiunan (PNS) kurang, kenapa dipaksain kerja lagi?" tanya saya.

"Engga, malah lebih. Kemarin baru beli motor cash. Mau utang tha? Tabunganku lho banyak," pamer.  Ih, menyebalkan.

Suami saya membela, "Biasa pensiunan, ga apa apa, nanti kalau kita tua juga bakal kayak gitu, cari kerjaan buat ngisi waktu."

Balik lagi ke unsur keturunan, kami sepakat untuk membangun diri sebagai orang yang kece meski tidak dari lahir. Kalau dari kekayaan dan kemahsyuran belum sampai, mungkin dari pemikiran terlebih dahulu. Berusaha menempa diri menjadi semakin baik. Banyak belajar, banyak bertemu dengan orang-orang baru, berdoa.

Kelak kalau Tuhan sudah menitipkan buah hati ke kami, saya harap mereka terlahir sebagai anak-anak yang kece dari lahir. Dari lahir, sudah keren. Amin.


Sumber foto: Lil Rascal

Friday, March 9, 2018

Pegadaian, Mengatasi Masalah Tanpa Masalah, Benarkah?

Pengalaman pertama gadai emas di Pegadaian Syariah



Alkisah kebutuhan modal dagang kopi, kami akhirnya memutuskan gadai satu keping emas ukuran 5 gram. Cari informasi, dan kemudian memilih di Pegadaian Syariah. Alasannya sederhana, dekat rumah dan depan klinik kesehatan tempat suami kemarin rawat jalan.

Jadi sekali dayung, dua tiga pulau terlewati. Sekali  jalan, klaim AXA dan gadai emas dilalui. Di pas-pas-in idiomnya, Kakak.

Perkiraanku, urusan ini bakal memakan waktu yang lama. Ternyata tidak, saudara-saudara. Tak sampai 30 menit, urusan kelar.

Pertama, bawa barang yang digadai dan KTP. Kedua isi formulir dan tulis alamat tempat tinggal saat ini. Kebetulan, alamat KTP  dan tempat tinggal berbeda.

Ketiga, petugas akan menaksir harga barang yang kita bawa. Untuk emas 5 gram, harga jual cuma Rp 2,7 juta, jadi ditaksir 2,55  juta, berkisar 94%. Aku nego, ternyata tak bisa dinaikkan. Ya siapa tahu ya, bisa dapat 2,6 juta atau 100 persen lah.

Informasi lain, tenor pelunasan empat bulan dengan jasa titip emas Rp 19.400 per 10 hari. Tenornya bisa diperpanjang bila nanti setelah empat bulan, kamu tidak bisa melunasi. Cicilan suka-suka asal empat bulan. Kalau mau diperpanjang, jasa titipnya juga mesti diperpanjang.

Selama menunggu proses, aku yang tukang nguping ini mendengar sejumlah pelanggan atau penggadai-- whatever-lah sebutannya-- berkomunikasi dengan petugas. Ternyata, HP Xiomi tidak bisa dijaminkan. Aku tak tahu, apakah ini berlaku untuk HP buatan China dan Taiwan laiinya.

Emas perhiasan kadar minimalnya 35 persen, di bawah itu tidak bisa. "Jadi mending, kalau ada rezeki beli emas batangan saja," kata seorang perempuan yang saking terobsesinya dengan yang batangan, dia menolak perhiasan untuk dijadikan mahar, lebih memilih yang batangan dan didapat dari Antam. Kok tahu, karena perempuan itu aku.

Selang beberapa kemudian, petugas memanggil untuk serah terima duit. Biaya administrasinya sekitar Rp 35.000. Dia nanya, mau dibayar langsung atau dipotong pas serah terima. Cicilan ini bisa dibayarkan di Pegadaian Syariah tempat kita gadai atau di Pegadaian Syariah lainnya.

Bisa transfer via bank, ga, Pak. "Sayangnya belum bisa, Bu." Pelangganpun kecewa.

Informasi lain, kita bisa terima duitnya via transfer bank. Namun karena aku lemah dengan duit cash, ya sudah, langsung raup itu uang di depan mata.  Maaf, lupa nanya, bank apa yang bisa digunakan.

Sebagai "orang yang mau tahu", julukan sewaktu kuliah di Surabaya, aku tanya soal cicilan emas. Ternyata kalau kita beli nyicil emas di Pegadaian, itu barang diambil langsung dari Antam. Harganya sama kayak emas Antam ditambah dengan jasa titip kita selama itu belum lunas.

Iseng nanya, bisa tidak kalau beli cash di Pegadaian. Lumayan kan, daripada mesti ke Pulogadung atau TB Simatupang nambah biaya transport, mending beli di sini kalau harganya sama. Ternyata tidak! Pelangganpun kecewa lagi.

Nah, itu pengalaman gadai emas di Pegadaian Syariah. Disclaimer, info ini belum tentu akurat kalau gadainya di Pegadaian umum atau yang digadaikan bukan emas batangan. Info ini juga sama sekali bukan endorsan dari pegadaian. Nyadar dirilah, blog-nya belum sampai jadi influencer.

Sekian dan terima kasih.

Sumber foto: Antam (Semoga dalam waktu lima tahun sudah punya emas sebanyak itu)

Thursday, March 8, 2018

January & February, Happy!!



Niatnya mau nulis journal syukur setiap awal bulan untuk mereview sebulan sebelumnya. Eh ternyata terlambat satu bulan lebih delapan hari. Alhasil, hidup terasa berat dan tak nikmat.

Dampak buruk keterlambatan ini juga menyebabkan beberapa kejadian positif di dua bulan Januari dan Februari terlupa atau menghambar. Padahal kalau dituliskan, perasaan bahagia tentu akan meluap dan bertahan lebih lama. Karena terpenting adalah mempertahankan syukur daripada sering mengutuki kenaasan kita.

Mari kita mulai untuk bulan Januari.

1. Januari ini bulan yang sangat menyenangkan karena rezeki melimpah ruah. Alhamdulilah. Saking melimpahnya, cicilan spp kuliah sampai terbayarkan 80 persen.

2. Bulan Januari ini wisata kuliner ini jalan terus. Pernah mencoba makanan bebek enak milik tetangga. Kelihatannya ini bakal menjadi langganan karena bebeknya tidak anyir.

3. Mewujudkan media maju satu langkah. Aku menemukan partner yang mana dan tak bukan adalah teman kuliah. Ini patut disyukuri karena begitu susahnya mencari rekan kerja yang di awal tak perlu dibayar dulu. Yes.

4. Dapat membayar semua cicilan dengan baik tanpa was-was. Ini tentu patut disyukuri.

5. Seorang senior mau membantu mencarikan rekomendasi dari salah satu anggota dewan. Semoga ini bisa benar-benar terwujud. Saya harap kuliah selama 3 semester ke depan tidak perlu bingung soal SPP.

Februari, kesenangan tetap berlanjut
1. Sisa pendapatan di bulan Januari bisa menutup pengeluaran di bulan Februari. Ini tentu patut disyukuri karena selama dua bulan, tidak ada pekerjaan dan penghasilan yang masuk.

2. Mendengar kabar Adin lulus kuliah di awal bulan ini. Semoga dia lekas mendapatkan pekerjaan yang tepat. Sementara, dia juga membantu mengerjakan tugas kuliah dengan rincian sekitar 50.000 per karya. Bapak juga merestui kalau dia pergi keluar kota. Artinya, inilah saatnya aku pulang.

3. Jualan kopi dengan omset di atas satu juta selama bulan Februari. Ukuran masih kecil, tapi setidaknya ini membantu kami tetap mengapung di bulan Maret. Semoga di bulan Maret, omset bisa mencapai 5 juta per bulan.

4. Pekerjaan di KPI dimulai. Kabar baik, artinya akan mendapatkan pemasukan untuk bulan-bulan ke depan.

5. Selama bulan Januari dan Februari, banyak serial di Fox Live yang menyadarkan betapa pentingnya keluarga bagi kita. Dan tentunya menambah hiburan.

Tuhan, terima kasih atas kasih (rahmat) yang telah Kau berikan. Bantu aku selalu bersyukur dan tetap mengapung di bulan ini.

Aku ingin mencapai tiga hal saja di bulan Maret.
1. Segala urusan kuliah, pekerjaan, dan rumah tangga lancar di bulan ini. Termasuk bayar cicilan terakhir SPP dan kewajiban rumah tangga di bulan Maret.
2. Keluarga sehat, suami, orang tua, dan mertua.
3. Dipenuhi kebahagiaan yang melimpah.

Wednesday, January 31, 2018

Mimpi yang Butuh Bara Api



Ada dua hal harapan yang bertahun-tahun hanya sekadar menjadi resolusi. Pertama, mempunyai anak, dan kedua mempunyai media sendiri. Rasanya, membutuhkan sedikit keajaiban dari Tuhan agar dua hal tersebut bisa tercapai.

Soal anak, aku sadar usaha kami belum maksimal. Banyak program hamil dilakukan dan putus di tengah jalan. Mulai dari pijat refleksi, ke dokter kandungan, hipnoterapi, jamu-jamuan, radiostesi, semua putus dan belum tuntas. Masalah apa kalau bukan biaya.

Akhirnya, aku mulai bersikap santai. Duit yang akan digunakan untuk terapi malah dipakai buat kuliah lagi. Setidaknya, kuliah lebih kelihatan hasilnya daripada terapi yang melelahkan itu.

Sejatinya, bukan jadi persoalan anak kandung atau adopsi. Kemarin, ada info seputar bayi tiga bulan yang dibuang orang tuanya di Bantul. Aku dan suami sudah pandang-pandangan mendengar info ini. "Ambil?" "Keuangan settle kah? kuliahmu gimana? masak ambil anak tapi dibiarkan di rumah sama pembantu". Dan setelah melihat aturan adopsi pun ternyata kami belum bisa karena perkawinan masih di bawah lima tahun.


Akhirnya, hasrat mempunyai anak tersalurkan dengan cara melihat instagaram Tatjana Bima (anaknya Surya Saputra-Cynthia Lamusu) dan Raphael Moeis (anaknya Sandra Dewi-Harvey Moeis).

Namun yang patut disyukuri, meski belum mempunyai anak, hubungan kami tetaplah harmonis. Kami juga masih bisa menikmati kesantaian-kesantaian tanpa perlu mengurus anak, seperti bangun siang hari, nglayap di akhir pekan, nonton film kategori dewasa di bioskop, mencicipi kuliner jalanan. Semua ini pasti sulit dilakukan kalau sudah punya anak.

Sementara anak belum ada, mestinya bisa bersusah payah untuk mencapai keinginan kedua. Nyatanya yang ini juga sulit diwujudkan. Ya Allah, bantulah aku mewujudkan keinginan kedua ini.

Aku sudah punya dua konsep, satunya media opini kalangan remaja atau teenager, dan satunya untuk media opini perempuan. Berulang kali di-PHP calon investor. Its okay. Tapi aku tak bisa kerja sendirian mewujudkan ini.  Butuh partner yang mau membesarkan bersama, dan suami bukan orang yang tepat.

Media ini proyek idealis yang rencananya aku buat. Idenya muncul gara-gara membaca Bluejeans Magazine girls empowerment waktu masih bekerja di Kosmonita. Artinya, ide ini sudah ada jauh-jauh hari sebalum aku bekerja di Tempo atau Kartini. Jauh hari sebelum ketemu suami. Sejak 2010, ide yang dipupuk hingga menyebabkan aku bekerja di Tempo untuk mengeatahui sistem yang baik, bekerja di Kartini untuk mengetahui bagaimana mengelola media yang segmented.

Dan malah membuat aku belajar, apa saja yang membuat suatu majalah legendaris nyaris gulung tikar. Masalahnya adalah tak ada sistem yang baik, dipegang oleh 'kepala' yang salah, dan menggabungkan urusan pribadi dengan kantor. Oh Tuhan, sampai saat ini aku terus mendoakan sejumlah teman di Kartini agar mendapatkan ganti pekerjaan yang lebih layak.


Okay, kembali membahas media yang ingin aku buat. Ide pertama adalah media untuk remaja. Diproduksi oleh remaja dan untuk mereka sendiri. Aku sudah punya nama, Genepos, singkatan dari generasi positif. Idenya muncul ketika melihat banyak remaja yang terpolar menjadi dua, kalau ga terlalu konservatif satunya terlalu liberal. Tak bisakah berada di tengah-tengah? Aku ingin membuat media untuk mengajak remaja berikiran terbuka, plural, tapi masih menjunjung nilai-nilai sopan santun. Generasi positif, kadang namanya berubah menjadi 'lontar'. Karena lontar adalah catatan peradaban di nusantara.

Ide kedua tentang media opini untuk perempuan. Bentuknya seperti Qureta, Kompasiana, Indonesiana, tapi isinya seperti Magdalene digabung Rockingmama. Aku ingin semua perempuan apapun kondisinya bisa menulis di sini. Mulai dari ibu-ibu yang cuma di domestik hingga perempuan yang memilih tak menikah dan melanjutkan karier. Semuanya bisa menulis di sini asal logikanya benar. Media ini aku beri nama Vanita.

Y Allah, ya Tuhanku maha pencipta apapun. Bisakah dua hal ini tercapai di tahun ini. Aku mohon dengan sangat.


Sadangkan mimpi suami adalah bikin kedai kopi yang bisa digunakan untuk diskusi. One stop coffe, ada kedai kopi, ada perpustakaan, dan tempat diskusi. Dia berharap kedai ini bisa menjadi tempat berkumpul dan menyebarkan ide-ide baik. Tentu saja ada barista yang handal dan terpelajar di sini. Kombinasi yang pas. Suami suka kopi dan diskusi.


Mimpi lain, suami pengen punya sawah atau ladang. Dia pengen jadi petani di desa. Gambaran idealnya, habis subuh, dia ke sawah jadi petani, siang nulis atau baca, sore balik lagi, dan malam ke kedai kopi untuk berdiskusi. Luar biasa nyaman bagi dia.


Berharap, suami mempunyai tubuh se-ideal ini. Heheheheh....

Tuhan, mimpi suami ini juga tolong dikabulkan. Aku tahu, Engkau lebih dari sekadar mampu mewujudkannya. Amin.

Sumber: semua foto diambil shutterstock